Medan (ANTARA News) - Guru besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof Dr Runtung Sitepu,SH, mengatakan isu mengenai masih adanya kolusi dan nepotisme dalam penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) di kejaksaan masih kuat.

"Kita juga tidak dapat mempercayai sepenuhnya isu tersebut, karena pada isu semacam itu sering datangnya dari orang tertentu untuk menutupi kelemahannya," katanya dalam Seminar Pembaharuan Undang-undang Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI di Medan, Kamis.

Namun, isu itu tetap perlu dan harus dihargai, karena hal ini dapat dijadikan bahan untuk evaluasi dan instrospeksi diri.

Untuk meminimalisir timbulnya isu yang dapat mengganggu nama baik lembaga Kejaksaan RI, menurut dia, perlu dilakukan penataan mulai dari rekruitmen pegawai negeri sipil (PNS) kejaksaan, hingga pendidikannya dan pengangkatan jadi jaksa.

Runtung mengatakan, dalam mewujudkan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam penerimaan PNS kejaksaan tersebut, ada baiknya pelaksanaan seleksinya tidak dilakukan oleh kejaksaan sendiri, tetapi dilakukan oleh lembaga yang independen mulai dari pembuatan soal, pemeriksaan jawaban, dan perangkingan nilai hasil ujian.

"Pola ini sudah diterapkan di beberapa lembaga pemerintahan,di antaranya Kementerian Dalam Negeri," kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara itu.

Sedangkan, dalam proses pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa tetap dilakukan oleh Kejaksaan RI, karena materinya sudah menyangkut mengenai hal-hal yang bersifat teknis dan praktis di bidang fungsi dan tugas pokok kejaksaaan.

Dia juga menjelaskan, untuk menghasilkan jaksa yang mempunyai penguasaan keilmuan yang baik dan berbakat, maka sebelum seorang peserta itu lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa perlu dilakukan test bakat oleh psikolog. Dan hasil test psikolog ini dijadikan sebagai salah satu komponen untuk penilaian akhir.

Melalui ketentuan tersebut, dalam persyaratan dapat diangkat menjadi jaksa yang tertuang dalam pasal 9 ayat (1) huruf g Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 perlu ditambah syarat "berbakat" sebagai jaksa.

Sebab, katanya, jika seorang jaksa itu hanya memenuhi syarat berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela, tetapi tidak memiliki bakat sebagai jaksa, tidak patut diangkat menjadi jaksa.

"Dimasukkannya syarat berbakat, tentu konsekuensinya bagi PNS yang mengikuti pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa yang tidak memiliki bakat menjadi jaksa, harus dinyatakan tidak diterima menjadi jaksa," kata Runtung.

Pada kegiatan seminar Pembaharuan Undang Undang Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI dibuka oleh Jaksa Agung Basrief Arief yang dihadiri oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara AK Basyuni Masyarif, Pelaksana Tugas Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Wisjnu Amat Sastro dan para akademisi. (ANT)