Makassar (ANTARA) - Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto menyatakan kerugian terbesar dalam proyek RS Batua karena mangkraknya pembangunan sejak 2019 hingga saat ini.

"Bagi saya, kerugian terbesar RS Batua bukan proses pembangunannya, melainkan mangkraknya proyek itu sejak tahun 2019," ujar Ramdhan Pomanto saat menjadi saksi dalam sidang perkara dugaan korupsi pembangunan RS Batua, di Pengadilan Tipikor Makassar, Senin.

Dia mengatakan perencanaan proyek RS Batua Tahap I itu dilakukan sejak 2018 dan dinyatakan selesai pada akhir 2019. Namun, dalam prosesnya proyek tersebut ditemukan adanya indikasi kerugian negara sesuai dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

Danny, sapaan akrab Ramdhan Pomanto, menjelaskan pembangunan RS Batua Tahap I adalah peningkatan status dari puskesmas menjadi RS rujukan program home care atau pelayanan rumah sakit dari rumah.

Ia mengaku, RS Batua itu direncanakan untuk menampung dan mengobati semua pasien, baik yang tidak memiliki biaya ataupun tanpa kepesertaan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

"Untuk tahap pertama ini memang dirancang peningkatan kualitas pelayanan dan kelas dari puskesmas menjadi rumah sakit," katanya pula.

Ketua majelis hakim Farid Hidayat Sopamena mencecar pertanyaan kepada Wali Kota terkait pembangunan yang menurut hasil temuan BPK masuk dalam kategori total loss atau dengan kata lain tidak bisa digunakan.

Ia pun menyanggah pernyataan tersebut karena menurut dia, secara konstruksi fisik bangunan sangat kokoh dan dirancang melalui sistem aplikasi modelling yang dikembangkan oleh para peneliti di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.

"Saya sebagai konsultan dan arsitek meyakini pembangunan rumah sakit itu secara fisik sudah kokoh, karena dirancang melalui aplikasi modelling yang dikembangkan peneliti di Unhas," katanya pula.

Menurut dia, tiga kali terjadi gempa di perairan sekitar Kabupaten Takalar, kemudian gempa di Selayar dan NTT dan banyak merobohkan bangunan itu, justru bangunan RS Batua tidak mengalami retakan.

"Kalau itu dikatakan tidak kokoh, harusnya waktu gempa besar di NTT dan Selayar dan dampaknya keras sekali di Makassar, pastinya itu akan rusak dan merobohkan bangunan. Tapi nyatanya baik-baik saja dan tidak ada retakan," kata dia lagi.
Baca juga: Polda Sulsel rampungkan pemberkasan kasus korupsi RS Batua
Baca juga: Polisi tahan 13 tersangka kasus korupsi RS Batua Makassar



Sebelumnya, dalam kasus korupsi berjamaah itu telah merugikan keuangan negara sebesar Rp22 miliar. Proyek pembangunan rumah sakit tipe C terletak di Jalan Abdulah Daeng Sirua dianggarkan APBD sebesar Rp25,5 miliar, dan dimulai pada 2018.

Kasus ini mulai diusut pada Desember 2020 oleh pihak kepolisian, berdasarkan hasil pemeriksaan BPK RI.

Adapun terdakwa dalam kasus itu dimulai dari mantan Kadinkes Makassar Naisyah Tun Azikin selaku kuasa pengguna anggaran (KPA).

Kemudian tersangka Sri Rahmayani Malik, PNS Pemkot Makassar yang berperan sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK).

Berikutnya ialah Muh Alwi, PNS Pemkot Makassar selaku pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK), lalu Firman Marwan PNS Pemkot Makassar atau pejabat pemeriksaan hasil pekerjaan (PPHP).

Selanjutnya ada tersangka Hamsaruddin, Mediswaty, dan Andi Sahar selaku Pokja ULP Makassar.

Kemudian tersangka Andi Erwin Hatta Sulolipu selaku Direktur PT Tri Mitra Sukses Sejahtera. Muhammad Kadafi Marikar selaku Direktur PT Sultana Nugraha.

Lalu tersangka Andi Ilham Hatta Sulolipu sebagai kuasa Direktur PT Sultana Nugraha. Lalu, Anjas Prasetya Runtulalo, Dantje Runtulalo, dan Ruspiyanto selaku konsultan dan inspektur pengawasan CV Sukma Lestari.

Dalam kasus itu, mereka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHP.
Baca juga: Wali Kota Makassar tampik keterlibatannya di proyek RS Batua
Baca juga: Polisi melimpahkan berkas perkara RS Batua Makassar ke Kejati Sulsel