Jakarta (ANTARA) - Lahir dalam balutan semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadikan bangsa Indonesia dianugerahi oleh keberagaman etnis, budaya, golongan, agama, bahkan kondisi geografis yang mampu hidup bersama sebagai suatu kesatuan.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Bina Ideologi, Karakter, dan Wawasan Kebangsaan Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI Drajat Wisnu Setyawan, bangsa Indonesia memang terlahir sebagai bangsa yang multikultural dan plural.

Ia juga mengatakan negara ini, melalui penerapan demokrasi Pancasila, memberikan ruang dan tempat terhormat bagi perbedaan pendapat.

Perbedaan tersebut ditujukan untuk memperkaya pandangan dan wawasan kebangsaan guna menyegarkan semangat rakyat Indonesia sebagai bangsa dalam memperoleh jawaban-jawaban terbaik atas masalah-masalah yang dihadapi bersama.

Meskipun begitu, seiring dengan perjalanan waktu dan zaman, keberagaman yang ada di Tanah Air ini dihadapkan pada sejumlah tantangan.

Peneliti Setara Institute Iif Fikriyati Ihsani mengatakan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh pihaknya saat menilai indeks kota toleransi, ditemukan bahwa daerah-daerah di Indonesia memiliki dua kecenderungan.

Pertama adalah ada kota yang menjadi heterogen, yaitu memiliki banyak etnis dan agama. Kedua, ada pula kota yang menjadi homogen, yaitu terdiri atas kelompok mayoritas dan minoritas.

Baca juga: Yayasan Hakka: Warga Tionghoa di Aceh nyaman dengan syariat islam

Masing-masing daerah tersebut ditantang oleh keadaan bahwa masyarakat Indonesia mulai lepas dari akar tradisinya. IIf memberikan contoh keadaan ketika seseorang yang merupakan keturunan Jawa menikah dengan seseorang dari Sulawesi. Selanjutnya, pasangan tersebut menetap di wilayah baru sehingga mereka memiliki keturunan yang berpotensi terlepas dari nilai-nilai kearifan lokal.

Padahal, kemajemukan dan kebinekaan yang hadir di Indonesia hadir melalui nilai-nilai kearifan lokal yang hidup atau mengakar di kebangsaan kita. Saat mereka terlepas dari akar tradisinya, keadaan itu diperparah oleh fenomena globalisasi yang menyebabkan identitas seseorang bercampur aduk sehingga Indonesia pun dihadapkan dengan identitas kebangsaan baru.

Identitas baru ini perlu inilah yang perlu difasilitasi oleh negara, dalam hal ini oleh pemerintah. Pemerintah perlu merekayasa segala sesuatu di dalam masyarakatnya agar mereka kembali ke dalam fitrahnya sebagai bangsa yang majemuk. Jadi, mereka yang tadinya terpisah ke dalam identitas baru itu akan menyatu menjadi satu bangsa Indonesia.

Tata kelola pemerintahan inklusif

Salah satu rekayasa yang ditawarkan oleh Setara Institute kepada pemerintah, terutama pemerintah daerah untuk menyatukan kembali segala kemajemukan dalam bangsa Indonesia adalah dengan menerapkan tata kelola pemerintahan inklusif.

Hal senada disampaikan pula oleh Deputi Bidang Pengendalian dan Evaluasi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Rima Agristina. Menurutnya, tata kelola pemerintahan inklusif dibutuhkan untuk hadir di tengah-tengah masyarakat pada saat ini, terlebih dengan segala tantangan perubahan yang ada. Rima mengatakan pemerintahan yang inklusif dapat merawat keberagaman di Indonesia.

Lebih lanjut, IIf menjelaskan Setara Institute mendefinisikan tata kelola pemerintahan inklusif sebagai tata kelola yang mendukung kesetaraan, partisipasi, serta toleransi dengan mengikutsertakan lingkungan keterlibatan, rasa hormat, dan koneksi dari berbagai kelompok.

Di samping itu, tata kelola pemerintah ini juga melibatkan kekuatan yang beragam, yakni terdiri atas perbedaan etnis, agama, budaya, gender, serta memberdayakan masyarakat yang terpinggirkan atau marjinal.

Iif menjelaskan pula ada beberapa landasan konseptual yang menyebabkan tata kelola pemerintahan inklusif diperlukan oleh Indonesia. Selain fitrah bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbeda-beda, tetapi tetap satu jua, sebagaimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang perlu dirawat, negara Indonesia pun telah memilih untuk menjadi negara demokrasi.

Baca juga: Memupuk semangat toleransi di Singkawang melalui Silang Inap

Dengan demikian, Iif mengatakan tata kelola pemerintahan inklusif menjadi penting karena hal tersebut adalah bagian dari variabel untuk membina dan mewujudkan kerukunan dan inklusi sosial di kehidupan suatu negara demokrasi.

Selanjutnya, adanya gaung agenda pemerintah pada tahun 2030 untuk pembangunan berkelanjutan. Agenda tersebut merupakan suatu kesepakatan pembangunan baru yang mendorong terjadinya perubahan-perubahan yang bergeser ke arah pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan pada hak asasi manusia (HAM) dan kesetaraan demi terciptanya pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup.

Dari tiga landasan tersebut, Setara Institute menilai pemerintah daerah merupakan pihak yang menjadi variabel paling dominan untuk membentuk toleransi, kerukunan, dan kedamaian di tengah masyarakat yang majemuk. Dengan demikian, mereka perlu menerapkan tata kelola pemerintahan inklusif.

Selanjutnya, Iif menyampaikan bahwa lingkup operasional tata kelola pemerintahan inklusif meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.

Ketiga tahapan tersebut menjadi langkah-langkah terpadu bagi Pemerintah dalam mendukung kesetaraan, partisipasi masyarakat, toleransi, kerukunan, dan merawat nilai-nilai kebangsaan.

Kerangka kerja

Pada praktiknya, Iif menekankan pengelolaan dan kerangka kerja tata kelola pemerintah inklusif harus berorientasi kepada masyarakat. Artinya, dalam hal ini pemerintah daerah harus mengelola bagaimana agar masyarakatnya menjadi toleran dan menerima kemajemukan dengan membangun nilai kolektif, bahasa universal, serta ideologi bersama.

Dengan demikian, masyarakat akan muncul sebagai kelompok yang memiliki pengalaman, perasaan, keadaan, dan kebutuhan kolektif bersama. Ketika pemerintah daerah tidak mengelolanya, yang terjadi adalah keadaan di mana identitas individu masuk ke dalam suatu kelompok sehingga akan menciptakan kelompok identitas.

Selanjutnya, pemerintah daerah dalam menerapkan tata kelola pemerintahan inklusif pun perlu menyediakan ruang publik berupa forum dialog atau ruang perjumpaan antarkelompok agar mereka bisa berbagi ketertarikan, pengalaman, perasaan, dan keadaannya. Dengan demikian, masyarakat akan memiliki rasa kemajemukan dan kebangsaan yang lebih kuat.

Baca juga: Khofifah ingatkan saling menghormati keberagaman, termasuk di Semeru

Selain memperkenalkan kerangka kerja, Setara Institute pun menawarkan empat area yang dapat dikelola dalam tata kelola pemerintah inklusif kepada para pemerintah daerah.

Pertama, pemerintah daerah dapat merancang rancangan pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) yang di dalamnya perencanaan anggaran memuat perihal pengarusutamaan kerukunan dan kebangsaan.

Kedua, kebijakan pemerintah daerah perlu diarahkan untuk merawat kerukunan dan nilai-nilai kebangsaan di tengah masyarakatnya. Salah satunya adalah dengan tidak menggambarkan diskriminasi.

Ketiga, pemerintah daerah perlu memperkuat peran organisasi perangkat daerah (OPD), seperti Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), lembaga pemberdayaan perempuan dan anak, dan aparatur ketertiban umum, seperti Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Iif menilai OPD tersebut berperan untuk mempertemukan segala macam kelompok masyarakat, baik komunitas, mayoritas, minoritas, maupun kelompok marjinal.

Keempat, organisasi masyarakat sipil pun perlu diperkuat oleh pemerintah daerah. Penguatan peran organisasi masyarakat itu dapat berbasis kerukunan, kemajemukan, dan kebangsaan. Organisasi tersebut dapat bekerja sama dengan OPD sehingga mereka bisa tumbuh bersama-sama membangun ruang publik dan tata kelola pemerintah inklusif.

Dalam pelaksanaan tata kelola pemerintahan inklusif, ada beberapa sasaran yang akan dituju oleh pemerintah daerah. Pertama, pemerintah daerah dapat membangun kerukunan dan kebangsaan Indonesia dengan melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan, menguatkan identitas kebangsaan, melestarikan kemajemukan, dan memajukan toleransi di tengah masyarakatnya.

Kedua, tata kelola pemerintahan ini juga akan menyasar pada partisipasi publik, yakni pelibatan berbagai kelompok, etnis, agama, budaya, pengarus-utamaan gender dan pelindungan anak, serta pelibatan masyarakat yang terpinggirkan di daerah-daerah di Indonesia.

Baca juga: Mahfud MD: Keberagaman kita diuji intoleransi dan pemaksaan kehendak

Lalu, ruang publik juga akan tersedia untuk mempertemukan komponen masyarakat yang berbeda dan menciptakan forum masyarakat sipil berbasis kemajemukan.

Keempat, melalui tata kelola pemerintahan inklusif, pemerintah daerah pun dapat membawa seluruh elemen masyarakatnya untuk menjunjung hak asasi manusia.

Kunci keberhasilan

Ketika telah menerapkan tata kelola pemerintah inklusif, Setara Institute selanjutnya merumuskan beberapa kunci dalam mengukur keberhasilan penerapannya.

Pertama, dari sisi RPJMD. Iif mengatakan penerapan tata kelola pemerintahan inklusif dapat dikatakan berhasil guna menjaga toleransi, kerukunan, dan kemajemukan di dalam kehidupan bermasyarakat apabila dua persen dari total anggaran RPJMD digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan inklusif, seperti kegiatan kerukunan dan kebangsaan.

Kedua, dari kebijakan. Kunci keberhasilan penerapan tata kelola pemerintahan inklusif adalah saat pemerintah menyediakan kebijakan inklusif, seperti penyelenggaraan kebebasan beribadah.

Ketiga terkait dengan organisasi perangkat daerah. Tata kelola pemerintahan inklusif dapat dikatakan berhasil diterapkan apabila pemerintah telah menyediakan organisasi perangkat daerah yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan program kegiatan yang inklusif.

Yang terakhir, kunci keberhasilan penerapan tata kelola pemerintahan inklusif dapat dilihat dari tingkat keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam program, kegiatan, dan agenda inklusif dari pemerintah.