Jakarta (ANTARA News) - Mantan presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengaku kasihan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena oleh sebagian masyarakat dituduh dibayar untuk mengeluarkan fatwa haram bagi golput.
"Sedih saya, MUI berbuat begini (mengeluarkan fatwa golput haram) dikira dibayar," kata Gus Dur kepada wartawan di Jakarta, Rabu.
Gus Dur sendiri menyatakan tidak mempermasalahkan fatwa tersebut, dan ia tetap memilih memboikot pemilu 2009 dengan tidak menggunakan hak pilihnya.
"Orang bikin fatwa silakan. Kalau terjadi pelanggaran peraturan dalam pemilu maka kita boikot, dan saat ini sangat banyak pelanggaran," katanya.
Secara terpisah, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) meminta pemerintah menghormati dan menjamin warga negara yang memilih golput.
Ketua Badan Pengurus YLBHI Patra M Zen mengatakan, prinsip HAM universal menempatkan hak memilih atau dipilih sebagai bagian dari hak dasar manusia yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan juga dijamin dalam konstitusi UUD 1945.
Negara, kata Patra, harus tetap berdiri di atas kepentingan semua warga negara dan tidak meneruskan fatwa haram golput itu sebagai bagian dari kebijakan negara yang mengikat semua warganegara.
YLBHI merasa berkepentingan untuk menyampaikan kepada publik untuk tidak terjebak dalam debat tentang golput yang amat potensial memecah-belah bangsa serta mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM.
Dalam disiplin hak asasi manusia, kata Patra, tidak ada standar dan norma apa pun yang menyatakan bahwa setiap orang wajib memilih dan dipilih.
Sebaliknya yang diatur adalah kewajiban negara untuk memastikan hak ini dijamin pemenuhannya secara bebas.
"Apabila dikaitkan dengan keberadaan golput, YLBHI berpandangan bahwa negara tetap berkewajiban untuk menghormati dan melindungi warga negara yang mengambil pilihan untuk berpartisipasi secara pasif dalam bentuk golput tersebut," katanya.(*)
Gus Dur: Kasihan MUI Dituduh Dibayar Karena Fatwa Golput
28 Januari 2009 21:17 WIB
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009
Tags: