Jakarta (ANTARA) - Euforia membanjiri berbagai platform media sosial ketika DPR menyetujui untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang.

Ucapan terima kasih dan berbagai jenis apresiasi terhadap kinerja DPR menunjukkan betapa masyarakat Indonesia menantikan undang-undang ini. Akhirnya, setelah tertatih selama satu dekade, tepatnya sejak 2012, RUU yang sebelumnya dikenal dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menemukan titik terang.

Bagi para aktivis dan kaum pejuang hak korban kekerasan seksual, UU TPKS merupakan buah manis dari jerih payah mereka. Kekhawatiran dan keraguan akan komitmen pemerintah yang sempat membayangi masyarakat, kini telah terjawab.

Melihat dari substansi, UU TPKS mengatur hak korban dengan komprehensif. UU ini mengatur hak prosedural dalam penanganan, hak pelindungan yang menjamin perlakuan aparat penegak hukum yang tidak merendahkan korban atau menyalahkan korban, serta hak pemulihan.

Restitusi, kompensasi, dan Victim Trust Fund atau Dana Bantuan Korban pun telah diatur oleh pemerintah di dalam UU TPKS untuk menjamin efektifnya pemulihan bagi korban.

Di sisi lain, UU TPKS memiliki peran penting dalam menjadi payung hukum yang menaungi seluruh dimensi kekerasan seksual di Indonesia, berbeda dengan berbagai peraturan sebelumnya yang mengatur jenis-jenis kekerasan seksual secara terpisah dan spesifik.

Misalkan, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTTPO), maupun Undang-Undang Pornografi. Undang-undang tersebut mengatur kekerasan seksual dalam perkara yang begitu spesifik. Oleh karena itu, kehadiran UU TPKS dapat menjadi payung hukum untuk segala jenis kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat.

UU TPKS memegang peran yang krusial dalam hal menguatkan pengaturan tentang perlakuan dan tanggung jawab negara untuk mencegah, menangani kasus kekerasan seksual, serta memulihkan korban dengan efektif.

Akan tetapi, ini bukan berarti kekerasan seksual akan lenyap begitu saja dari Indonesia. Masih terdapat berbagai jenis pekerjaan rumah yang harus dituntaskan untuk memastikan efektivitas dari implementasi UU TPKS.

Pengesahan UU TPKS merupakan langkah awal, bukan garis akhir dari perjuangan melawan kekerasan seksual.

Baca juga: DPR RI setujui RUU TPKS disahkan jadi undang-undang

Penguatan dan harmonisasi aturan
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati memaparkan sejumlah catatan untuk mendukung implementasi UU TPKS, khususnya terkait dengan aspek hukum.

Catatan pertama adalah mengenai jaminan penguatan rumusan perkosaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). UU TPKS mencantumkan perkosaan sebagai jenis tindak pidana kekerasan seksual lain yang telah ada atau diatur di undang-undang lain, sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 4 ayat (2) UU TPKS.

Maidina menegaskan bahwa penguatan perumusan RKUHP harus segera dilakukan dengan jaminan rumusan RKUHP mengatasi permasalahan yang ada dalam rumusan perkosaan di KUHP saat ini, yaitu harus mengatur tentang netralitas terhadap gender, unsur paksaan yang menjangkau relasi kuasa atau kekerasan psikis, tidak terbatas pada penetrasi penis-vagina, dan tidak hanya dapat terjadi di luar perkawinan.

Lebih lanjut, ia juga meminta agar penyusun RKUHP menegaskan bahwa perkosaan merupakan bentuk kekerasan seksual sehingga menjadi jaminan agar hak-hak korban yang telah diatur di dalam UU TPKS berlaku pada korban perkosaan.

Selain itu, Maidina juga meminta agar pemerintah memberi jaminan adanya sinkronisasi antara UU TPKS dengan revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Secara progresif, tutur Maidina, Pemerintah dan DPR juga memasukkan Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) dalam Pasal 14 UU TPKS.

Norma tersebut melarang perekaman, transmisi, serta penguntitan orang lain atau konten pribadi orang lain tanpa persetujuan. Oleh karena itu, konsen atau persetujuan harus menjadi dasar dari pengaturan tentang penyebaran konten pribadi.

Ketika seseorang melakukan penyebaran konten tanpa persetujuan dari pemilik konten, maka pemilik konten harus dinyatakan sebagai korban dan bukan pelaku. Dengan kondisi tersebut, Maidina mengatakan bahwa Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang berorientasi pada konten dan bukan persetujuan pemilik konten harus dihapuskan di dalam revisi UU ITE.

Sedangkan, terkait dengan larangan penyebaran konten kesusilaan yang dikehendaki sudah dijangkau dengan UU Pornografi. Oleh sebab itu, bagi Maidina, tidak ada kepentingan untuk mempertahankan Pasal 27 ayat (1) UU ITE.

Terkait dengan alat bukti yang selama ini menjadi salah satu kendala korban untuk menjalankan proses hukum, Maidina juga menegaskan perlunya sinkronisasi dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHP).

Ia meminta kepada pemerintah untuk mengatur hakim pemeriksa pendahuluan agar menilai kelayakan alat bukti perkara pidana. UU TPKS dalam Pasal 24 ayat (1) huruf c memperkenalkan aturan yang menyebutkan bahwa barang bukti juga dapat menjadi alat bukti. Untuk memungkinkan barang bukti menjadi alat bukti, sistem hukum suatu negara harus memiliki hakim pemeriksa pendahuluan yang menguji relevansi barang bukti untuk dapat digunakan di dalam perkara atau tidak.

Sedangkan, RKUHP masih belum mengatur konsep hakim pemeriksa pendahuluan. Keadaan ini yang kemudian menjadi urgensi dasar agar pemerintah segera melakukan pembahasan revisi KUHAP. Apabila tidak segera diatur, Maidina khawatir seseorang akan mudah dipersalahkan dengan bukti yang minim.

Penguatan dan harmonisasi aturan merupakan pekerjaan rumah bagi Pemerintah dan DPR untuk menjamin lancarnya implementasi dari UU TPKS. Namun, mencegah kekerasan seksual maupun melangsungkan proses hukum yang menjamin hak-hak dari korban kekerasan seksual tidak dapat dilakukan hanya melalui aturan tertulis.

Masyarakat dan juga para aparat penegak hukum sebagai eksekutor di lapangan juga memegang peran yang krusial.

Baca juga: Sosiolog: UU TPKS perlu sosialisasi secara masif

Edukasi publik
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat atau yang akrab disapa Rerie telah mengingatkan bahwa pemahaman aparat penegak hukum dan masyarakat umum merupakan kunci dari efektivitas implementasi UU TPKS.

Melihat dari berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, penting bagi masyarakat untuk mengetahui berbagai jenis kekerasan seksual yang mungkin pernah mereka alami, bagaimana prosedur hukum yang mereka jalani juga menjamin hak perlindungan bagi para korban, serta bagaimana mereka memperoleh akses terhadap pemulihan.

Pemahaman publik penting untuk memastikan UU TPKS dapat terimplementasikan sebagaimana mestinya, karena undang-undang ini bersinggungan langsung dengan kepentingan masyarakat umum.

Di sisi lain, aparat penegak hukum juga harus memperoleh edukasi mengenai bagaimana prosedur untuk menangani laporan atau kasus yang melibatkan korban kekerasan seksual.

Terlebih, UU TPKS mengatur tentang hak pelindungan yang menjamin perlakuan aparat penegak hukum yang tidak merendahkan korban atau menyalahkan korban.

Dengan demikian, edukasi aparat penegak hukum mengenai perilaku yang tidak merendahkan atau menyalahkan korban merupakan salah satu kebutuhan untuk menjamin lancarnya proses hukum yang harus dilalui oleh korban kekerasan seksual.

Edukasi publik dapat diberikan melalui sosialisasi, terlebih di berbagai institusi yang rentan terjadi praktik kekerasan seksual akibat relasi kuasa.

Publik harus memahami bagaimana cara kerja undang-undang tersebut agar efek pencegahan kekerasan seksual dan jaminan hak korban kekerasan seksual dapat segera dirasakan secara luas.

Oleh karena itu, euforia pengesahan UU TPKS tidak boleh melemahkan perjuangan untuk mengentaskan kekerasan seksual di Indonesia. Masih terdapat berbagai pekerjaan rumah yang menanti untuk diselesaikan guna memaksimalkan implementasi dari undang-undang ini.

Baca juga: Ketua DPR dorong aturan turunan UU TPKS segera disusun