Jakarta (ANTARA News) - Apa makna 150 juta dolar Amerika Serikat yang akan diterima Inisiasi Segitiga Karang (Coral Triangle Initiative-CTI) bagi 2,25 juta nelayan yang bergantung pada persediaan ikan di laut yang kabarnya menampung 76 persen dari seluruh spesies karang di dunia ini?

"Ada dana sekitar 150 juta dolar AS untuk melindungi karang-karang kita," kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip Sutardjo saat konferensi pers seusai Pertemuan Menteri ke-3 (MM3) CTI Terumbu Karang, Perikanan, dan Ketahanan Pangan (CFF) di Jakarta, Jumat.

Dana tersebut, menurut Sharif, berasal dari negara donor seperti Amerika Serikat dan Australia serta beberapa organisasi nonpemerintah seperti, Bank Pembangunan Asia (ADB), "Global Environment Facility" (GEF), "World Wildlife Fund" (WWF), "The Nature Conservancy" (TNC), dan "Conservation International" (CI).

Namun persoalannya tentu tidak berhenti di situ, ada beberapa pertanyaan mengenai untuk apa dana tersebut digunakan? Bagaimana CTI menggunakan uang sebanyak itu untuk melindungi kawasan yang merupakan sumberdaya pendukung kehidupan sosioekonomi bagi 120 juta orang dikawasan tersebut?

Sebelumnya, sampai tahun 2009 pada pertemuan enam negara yang berada di bawah payung CTI di Manado, ADB sendiri telah mendonorkan 350 juta dolar AS untuk melestarikan ekosistem laut terkaya di dunia itu.

Kelangsungan segitiga terumbu karang yang berada di kawasan perairan Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon dan Timor Leste ini memang sedang berada dalam ancaman.

Ancaman utama, bagi kelangsungan kawasan ini menjadi tempat bagi 35 persen terumbu karang dunia dan menjadi "rumah" bagi 3.000 lebih spesies ikan tersebut, menurut WWF adalah penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan, perubahan iklim, polusi, perencanaan pembangunan yang buruk, dan bertambahnya populasi manusia.

CTI yang dibentuk untuk menangani persoalan itu kini telah menyepakati pendirian sekretariat regional di Manado, Sulawesi Utara. Keenam negara anggota juga telah menunjuk Malaysia sebagai pemimpin CTI untuk dua tahun ke depan.

Maximus Ongkili, wakil dari Malaysia, dalam pertemuan dengan para wartawan itu hanya menyampaikan rasa terimakasih pada Indonesia selaku pemimpin CTI sebelumnya.

Tidak terbahas dalam pertemuan itu strategi apa yang akan digunakan CTI untuk menangkal pemanasan global yang menyebabkan suhu di kawasan segitiga karang meningkat 0.09-0.12 derajat Celcius per tahun.

Pemanasan ini penting mengingat, C. Wilkinson, penulis "Status of Coral Reefs of The World: 2008" mengatakan bahwa kenaikan lebih dari dua derajat akan menyebabkan kerusakan sistem terumbu karang.

Pengungkapan strategi ini juga penting untuk melihat pada siapa CTI berpihak, apakah kepada nelayan, perusahaan wisata laut, atau perusahaan yang dituduh mencemari laut? Untuk siapa 150 juta dolar AS yang akan mereka terima itu dialokasikan?

Strategi penyelamatan segitiga karang menjadi sulit karena melibatkan 120 juta manusia yang hidupnya bergantung pada wilayah itu, mereka mempunyai kepentingan yang saling tumpang tindih sehingga memaksa CTI harus memilih.

Nelayan dan perusahaan wisata laut adalah contoh bagaimana kepentingan atas penggunaan segitiga karang saling bertentangan. Nelayan di satu sisi menginginkan ikan bisa mereka tangkap sebanyak mungkin sedangkan perusahaan wisata laut ingin ikan itu menjadi tetap di laut sehingga wisatawan akan tertarik untuk melihat.

Pada masa lalu, CTI sepertinya lebih memihak pada perusahaan wisata. Industri wisata dalam Rencana Aksi Nasional CTI 2009 adalah tujuan awal. Pada tahun tersebut Indonesia sebagai pemilik 89,15 persen wilayah segitiga karang berkomitmen untuk menetapkan 20 juta ha kawasan itu sebagai wilayah konservasi.

Penetapan tersebut, menurut Koordinator Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim, Siti Maemunah, berkaitan dengan promosi pariwisata bahari yang bekerja sama dengan pihak swasta. Menurut dia, nelayan di wilayah tersebut akan dilarang mencari ikan dan di sisi lain di sisi lain investor-investor pariwisata laut akan berdatangan.

Mungkin pemihakan terhadap industri wisata tersebut tidak terlepas dari kepentingan lembaga pendonor CTI. Aliansi Manado yang merupakan organisasi nelayan dan masyarakat sipil lokal mengatakan bahwa TNC memiliki 60 persen saham PT Putri Naga Komodo yang mengelola Taman Nasional Komodo.

Di samping itu, misi WWF dalam kaitan dengan segitiga karang ini juga hampir sama. Tertulis dalam laman resminya bahwa mereka menginginkan 50 persen area itu harus menjadi kawasan koservasi pada 2020, juga menghentikan penurunan sumber utama habitat karang, kura-kura, tuna, dan ikan karang--yang sebagian terutama tuna adalah tangkapan nelayan.

Persoalan lain yang juga tidak dibahas dalam jumpa pers itu adalah pencemaran laut oleh perusahaan-perusahaan besar.

Juli lalu, ratusan nelayan dari desa Hakatutobu dan Tambea di Sulawesi Tenggara berhenti mencari ikan karena laut tempat mereka mencari penghidupan tercemar limbah.

Para nelayan ini menuduh PT. Dharma Rosadi Internasional bertanggung jawab atas terjadinya pencemaran itu dan akhirnya menyandera dan memblokade jalan puluhan truk perusahaan yang tengah bekerja.

Pencemaran tidak hanya di satu tempat, tahun ini di Laut Timor, kilang minyak Blok Montara, PTTEP Australasia, meledak dan menurut pemerhati masalah laut itu, Ferdi Tanoni, menyebabkan rusaknya 90 persen terumbu karang di Laut Sawu yang berdekatan dengan lokasi kilang minyak.

Jika memang demikian, tentu 350 juta dolar AS yang diterima CTI sampai tahun 2009 tidak bermakna apa-apa terhadap 2,25 juta nelayan yang menggantungkan hidupnya pada laut di segitiga karang.

Namun mereka pasti berharap bahwa kali ini akan mendapatkan 150 juta dolar AS yang akan didapatkan CTI dalam waktu dekat.

Apalagi sang menteri sudah menjamin bahwa pelayan tidak akan dirugikan oleh program CTI. "Nelayan tidak akan rugi," kata dia.

Namun kata-kata hanya akan bermakna jika ada tindakan nyata. Dan nelayan mungkin tidak akan menunggu.(*)


SDP-14/Z002