Jakarta (ANTARA) - Analis Kebijakan Publik Wahana Visi Indonesia Lia Anggiasih mengatakan pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) merupakan momen bersejarah dalam upaya perlindungan anak dari kekerasan seksual.

Melalui siaran pers Wahana Visi Indonesia (WVI) di Jakarta, Rabu, Lia mengatakan UU ini memberikan jaminan perlindungan cukup menyeluruh bagi anak.

"Kekerasan seksual terhadap anak bukan lagi delik aduan, tapi menjadi delik laporan. Selama ini penegak hukum mendasarkan pemeriksaan berdasar adanya aduan atau tidak. Nantinya jika kontak seksual tersebut dilakukan terhadap anak atau kelompok disabilitas, aparat sudah bisa bergerak tanpa menunggu aduan," ujarnya.

Baca juga: ICJR: UU TPKS penting karena berorientasi pada korban

Selain itu, UU TPKS secara tegas mengatur tentang peniadaan persetujuan kontak seksual terhadap anak, pemaksaan perkawinan dan dana bantuan korban.

Wahana Visi Indonesia juga berterima kasih kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang senantiasa menerima masukan dari organisasi fokus anak terkait pasal-pasal dalam RUU TPKS serta LSM, jaringan dan aliansi yang tergabung dalam Indonesia Joining Forces to End Violence Against Children, Jaringan Aksi dan Aliansi PKTA.

Namun, pihaknya mengingatkan bahwa implementasi UU tetap perlu dikawal agar layanan perlindungan terhadap anak, terutama di daerah di daerah terdepan, terpencil dan tertinggal (3T) benar-benar efektif.

Lia menjelaskan bahwa anak-anak di daerah 3T saat ini belum mendapatkan fasilitas dan pelayanan perlindungan anak yang memadai.

Baca juga: Komnas: Pengawas independen penting untuk awasi pelaksanaan UU TPKS

"Terutama Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di lingkup kepolisian serta UPTD PPA yang masih sangat banyak belum terbentuk di kabupaten/kota. Kedua unit ini merupakan layanan terdepan. Demikian juga halnya dengan kesadaran lingkungan untuk segera merespons jika mengetahui ada kasus kontak seksual terhadap anak," katanya.

Perjuangan WVI dalam proses perumusan RUU TPKS dimulai sejak akhir tahun 2019.

Lia menjelaskan upaya ini merupakan upaya gabungan antara Divisi Perlindungan Anak dan Advokasi, baik di tingkat nasional maupun area program WVI.

Baca juga: KSP: UU TPKS jadi terobosan penyusunan produk hukum yang progresif

Data-data insiden safeguarding dan laporan-laporan kisah kekerasan seksual yang dikumpulkan oleh tim di area program menjadi acuan dan landasan dalam perumusan poin undang-undang.

Selain itu, WVI juga ikut tergabung dengan Indonesia Joining Forces (IJF), Jaringan Aksi dan Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) dalam melakukan advokasi RUU TPKS.