Semarang (ANTARA) - Anak bukanlah robot, sekolah bukanlah pabrik, apalagi semua orang memiliki kemampuan atau bakat luar biasa dalam berpikir dan mencipta. Bisa dikatakan semua orang adalah genius.

Namun, kata Albert Einstein (fisikawan teoretis kelahiran Jerman), bila ikan yang pandai berenang dipaksa memanjat pohon, dia akan merasa dirinya bodoh sepanjang hidupnya. Apalagi, bila kelulusannya ditentukan dari keterampilan memanjat pohon.

Di sinilah pentingnya penyesuaian program pembelajaran dengan kondisi setiap siswa hingga memunculkan istilah Customized Education Program (CEP). Perbedaan kondisi siswa ini mencakup tingkat pengetahuan, tingkat keterampilan, gaya belajar, tahapan perkembangan, serta minat dan bakat.

Pandemi COVID-19 seolah menghentakkan pemangku kepentingan di dunia pendidikan ketika menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Pembelajaran di rumah (BDR) ini, kata penemu talents observation Andri Fajria, sekaligus menyadarkan stakeholder akan program tersebut.

Dengan kondisi PJJ ini, Pemerintah membuat "kurikulum darurat" yang mengizinkan sekolah membuat turunannya sebagai "kurikulum adaptif" yang menyesuaikan dengan kondisi setiap sekolah.

Sekolah yang sebagian besar muridnya tidak bisa mengakses internet membuat program "kunjungan ke rumah siswa", baik sekadar mengantarkan modul, atau bahkan melakukan pembelajaran di rumah siswa meski frekuensinya tentu tidak setiap hari.

Pendiri Sekolah Menengah (SM) Surau Merantau Tangerang Andri Fajria menceritakan bahwa SM Surau Merantau telah menerapkan CEP sejak 2016 dengan mengadakan pelbagai kegiatan belajar yang beragam sehingga siswa dapat melakukan kegiatan yang sesuai dengan dirinya.

Baca juga: Digitalisasi bantu dorong program "Merdeka Belajar" siswa dan guru

Baca juga: Kemarin pemerintah bahas PJJ permanen, tatanan normal baru desa


Apa itu CEP?

Apa itu Customized Education Program (CEP)? Terus bagaimana implementasinya? Benarkah CEP hanya diperuntukkan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) saja?

Penerapan CEP ini untuk mencapai dua tujuan, yakni untuk mengejar ketertinggalan siswa pada satu atau beberapa aspek dan mengasah potensi siswa.

Guna mengejar ketertinggalan siswa, guru melakukan kegiatan belajar mengajar (KBM) secara klasikal di kelas, kemudian mengamati setiap siswa saat kegiatan berlangsung dan mencatatnya.

Dalam rapat guru, kata Andri Fajria, tim guru melakukan analisis untuk mengidentifikasi penyebab ketertinggalan berdasarkan temuan setiap guru yang berinteraksi dengan siswa tersebut.

Pada tahap selanjutnya, guru membuat program individu untuk siswa tersebut, kemudian menyampaikannya kepada semua guru yang berinteraksi dengannya.

Guru yang mengajar memberikan "pijakan" khusus kepada siswa tersebut saat pembelajaran berlangsung. Selanjutnya, dalam rapat guru berikutnya, guru melakukan evaluasi untuk mengetahui kemajuannya. Begitu seterusnya.

Untuk mengejar ketertinggalan ini, siswa melakukan kegiatan yang sama dengan temannya. Namun, ada program khusus yang akan dicapai. Akan tetapi, bila ada siswa yang ketertinggalannya sangat jauh, perlu dilakukan kegiatan khusus.

Bagaimana penerapan CEP untuk melesatkan potensi siswa? Untuk mengasah potensi siswa, pertama-tama guru melakukan pengamatan terhadap perilaku mereka sehari-hari (talents observation) dan melakukan wawancara (talents interview) untuk mengidentifikasi potensi siswa.

Hasil pengamatan dan wawancara ini menjadi bahan pembahasan dalam rapat guru, lalu menganalisisnya untuk mengidentifikasi potensi siswa dengan memperhatikan catatan perkembangan siswa 3—5 tahun sebelumnya. Langkah selanjutnya, guru membuat proyek khusus untuk siswa.

Dalam rapat guru berikutnya, dilakukan evaluasi. Bila sesuai, guru mencari narasumber yang relevan (kegiatan baguru). Bila sesuai, guru memberikan kegiatan magang di tempat yang sesuai dengan bakatnya. Pada setiap kegiatan tersebut, guru melakukan evaluasi.

Dalam penerapan CEP dengan tujuan melesatkan potensi ini, siswa melakukan kegiatan yang berbeda dengan temannya, sesuai dengan bidang minat bakatnya masing-masing.

Dalam melakukan CEP ini, kata Andri Fajria, ada beberapa prinsip yang harus dipenuhi, yaitu pembelajaran harus berpusat pada siswa, adanya kerja sama yang baik dengan orang tua, dan adanya evaluasi yang berkelanjutan.

Selain itu, menggunakan sumber belajar yang kaya dan beragam, termasuk melibatkan para praktisi dan pakar di bidang tertentu. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah saling keterkaitan antara satu kegiatan dan kegiatan lain.
Fabian berjualan papercraft untuk mengumpulkan dana merantau. Dana yang terkumpul sudah melebihi Rp3 juta. ANTARA/HO-SM Surau Merantau


Baca juga: Inovasi Merdeka Belajar

Baca juga: Kemendikbudristek bawa Merdeka Belajar pada pertemuan G20


Perspektif Orang Tua

Penerapan CEP mendapat respons positif dari sejumlah orang tua siswa SM Surau Merantau Tangerang, termasuk Group Head SME Business Bank Syariah Indonesia Dedy Suryadi dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara Prof. Dr. H. Ahmad Soediro, S.H., M.H, M.Kn, M.M.

Via kanal YouTube Surau Merantau, Minggu (10/4), Ahmad Soediro menilai kegiatan belajar di SM Surau Merantau Tangerang lebih awal menerapkan kurikulum "Merdeka Belajar", atau sebelum lahirnya Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

Dalam topik "Customized Education Program", Ahmad Soediro mengatakan pula bahwa perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap kualitas pendidikan yang terus meningkat dan berkembang pada era Disrupsi 4.0.

Di sinilah pentingnya metode pendidikan dan pembelajaran seharusnya lebih fleksibel dengan menerapkan kurikulum "Merdeka Belajar".

Kurikulum ini berdasarkan gaya belajar, bakat dan minat, serta kebutuhan setiap siswa, kemudian menerapkan metode pembelajaran student centred learning, lalu melakukan evaluasi pembelajaran yang fleksibel sesuai dengan minat dan bakat serta kebutuhan siswa.

Peningkatan dan pengembangan kerja sama dan kolaborasi yang strategis dengan para mitra ahli dan/atau praktisi yang memiliki kompetensi sesuai dengan minat dan bakat, serta kebutuhan setiap siswa.

Pada kesempatan yang sama, Dedy Suryadi mengingatkan generasi stroberi sebentar lagi akan datang mengisi perusahaan-perusahaan yang berbeda karakteristiknya dengan generasi saat ini.

Mereka terbiasa belajar secara kolaborasi dan bekerja secara fungsional. CEP sangat sesuai dengan karakteristik generasi stroberi tersebut. Model pendidikan CEP ini diharapkan pula akan menjadi alternatif model pendidikan masa depan.

Baca juga: Kurikulum Merdeka berikan kesempatan siswa belajar berkolaborasi

Baca juga: Mendikbudristek luncurkan Merdeka Belajar Dana Indonesiana