Anak Gaddafi cari pesawat untuk menyerah
27 Oktober 2011 22:06 WIB
Saif Al Islam, putra mantan pemimpin Libya mendiang Muammar Gaddafi, berbicara dengan pewarta di Tripoli, Minggu (23/10). Saif Al-Islam dan mantan pemimpin intelijen Libya Abdullah as-Senussi berniat menyerahkan diri mereka ke Pengadilan Kriminal Internasional, menurut keterangan pejabat senior NTC, Rabu (26/10). Saif melarikan diri sejak pasukan Libya menguasai kampung halaman Gaddaf Sirte, ditengarai ia berada di suatu tempat dekat Libya yang berbatasan dengan Nigeria. (FOTO ANTARA/REUTERS/Paul Hackett/Files/djo/11)
Dubai (ANTARA News) - Anak Muamar Gaddafi yang menjadi buron, Saif al-Islam dikabarkan sedang mencari pesawat untuk membawanya dari gurun di Libya sehingga dia bisa menyerahkan diri kepada pengadilan kejahatan di Den Haag, Belanda.
Seorang sumber dari Dewan Transisi Nasional (NTC) mengatakan pada Kamis bahwa Saif al-Islam, 39, lari ke gurun ketika ayahnya dibunuh dengan cara yang mengerikan, sepertinya di tangan gerilyawan Libya yang pendendam.
Saif dan mantan kepala intelejen Abdullah al-Senussi mengindikasikan bahwa mereka siap menyerahkan diri, kata pejabat NTC itu, demikian Reuters.
Kedua orang tersebut telah menjadi subjek dari surat perintah penangkapan Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC), di mana para pejabat belum bisa memastikan bagaimana cara menangkap mereka. Saif dan Abdullah dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan dalam perlakuan mereka terhadap pemberontakan pada Februari.
Laporan lain justeru mengatakan bahwa Saif dan Senussi berada di Niger. Laporan-laporan yang bertentangan tersebut muncul sejak Saif lenyap dari benteng Gaddafi, Bani Walid, di wilayah utara Libya.
Pendukung Gaddafi yang masih hidup masih belum mengkonfirmasi hal tersebut. Salah seorang pengacara internasional, yang mengaku sebagai wakil keluarga Gaddafi, mempertanyakan kemampuan NTC namun menolak berkomentar tentang laporan bahwa Saif akan menyerahkan diri.
Sumber NTC mengatakan bahwa Said al-Islam masih berada di Libya dan dilindungi oleh tokoh penting suku nomadis Tuareg di gurun, yang keuangannya telah Gaddafi bantu di masa lalu.
Daerah tandus dan kering yang berada di dekat perbatasan Niger dan Aljazair itu merupakan pintu keluar keluarga Saif dari Libya.
Namun tuduhan ICC membuat Saif sulit pergi keluar negeri sebagaimana keluarganya.
Dia dikabarkan takut ketika meninggalkan Bani Walid, dan saat melihat video penangkapan ayahnya, Saif terlihat membayangkan bagaimana perlakuan yang akan dia terima jika tetap berada di Libya.
"Saif sangat memperhatikan keamanan dirinya," kata seorang sumber dari NTC.
"Dia percaya bahwa menyerah pada ICC adalah langkah terbaik untuknya," kata sumber tersebut.
Sumber itu mengatakan bahwa Saif menginginkan keterlibatan negara ketiga -- yang diperkirakan Aljazair atau Tunisia -- dalam kesepakatan menuju Den Haag.
"Dia menginginkan pesawat karena ingin keamanan dirinya terjamin," kata sumber itu melalui telepon dari Libya.
Menurut sumber itu, keberadaan dan rencana Saif telah dilacak dari satelit yang bisa memantau telepon genggam dan juga dari informasi intelejen NTC.
NTC tidak mempunya kemampuan logistik yang memadai untuk menangkap pelarian yang bersembunyi di gurun. NTC meminta NATO untuk membantu lebih lanjut setelah misi sekutu dari Barat itu selesai dengan kematian Gaddafi.
Bagaimanapun juga, pejabat NATO mengatakan bahwa mereka akan menarik mundur pasukannya.
Saif sering digambarkan para analis sebagai penerus ayahnya yang potensial membuat perubahan karena dia berpendidikan tinggi. Namun komentar Saif yang haus darah tentang para gerilyawan memaksa para analis itu berpikir kembali.
Petugas keamanan yang merupakan pengikut setia Gaddafi di Bani Walid mengatakan kepada Reuters minggu ini bahwa sang anak sering menghubungi ayahnya melalui telepon dan takut terkena bom yang datang.
"Dia takut," kata Sharif al-Senussi, seorang letnan dalam pasukan Gaddaffi yang juga merupakan ajudan Saif.
"Dia terlihat bingung," kata dia.
Sharif al-Senussi, yang tidak punya hubungan dengan kepala keamanan Abdullah al-Senussi, mengatakan bahwa rombongan Saif terkena bom pesawat NATO ketika meninggalkan Bani Walid. Namun dia selamat.
(Uu.SDP-14/M016)
Seorang sumber dari Dewan Transisi Nasional (NTC) mengatakan pada Kamis bahwa Saif al-Islam, 39, lari ke gurun ketika ayahnya dibunuh dengan cara yang mengerikan, sepertinya di tangan gerilyawan Libya yang pendendam.
Saif dan mantan kepala intelejen Abdullah al-Senussi mengindikasikan bahwa mereka siap menyerahkan diri, kata pejabat NTC itu, demikian Reuters.
Kedua orang tersebut telah menjadi subjek dari surat perintah penangkapan Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC), di mana para pejabat belum bisa memastikan bagaimana cara menangkap mereka. Saif dan Abdullah dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan dalam perlakuan mereka terhadap pemberontakan pada Februari.
Laporan lain justeru mengatakan bahwa Saif dan Senussi berada di Niger. Laporan-laporan yang bertentangan tersebut muncul sejak Saif lenyap dari benteng Gaddafi, Bani Walid, di wilayah utara Libya.
Pendukung Gaddafi yang masih hidup masih belum mengkonfirmasi hal tersebut. Salah seorang pengacara internasional, yang mengaku sebagai wakil keluarga Gaddafi, mempertanyakan kemampuan NTC namun menolak berkomentar tentang laporan bahwa Saif akan menyerahkan diri.
Sumber NTC mengatakan bahwa Said al-Islam masih berada di Libya dan dilindungi oleh tokoh penting suku nomadis Tuareg di gurun, yang keuangannya telah Gaddafi bantu di masa lalu.
Daerah tandus dan kering yang berada di dekat perbatasan Niger dan Aljazair itu merupakan pintu keluar keluarga Saif dari Libya.
Namun tuduhan ICC membuat Saif sulit pergi keluar negeri sebagaimana keluarganya.
Dia dikabarkan takut ketika meninggalkan Bani Walid, dan saat melihat video penangkapan ayahnya, Saif terlihat membayangkan bagaimana perlakuan yang akan dia terima jika tetap berada di Libya.
"Saif sangat memperhatikan keamanan dirinya," kata seorang sumber dari NTC.
"Dia percaya bahwa menyerah pada ICC adalah langkah terbaik untuknya," kata sumber tersebut.
Sumber itu mengatakan bahwa Saif menginginkan keterlibatan negara ketiga -- yang diperkirakan Aljazair atau Tunisia -- dalam kesepakatan menuju Den Haag.
"Dia menginginkan pesawat karena ingin keamanan dirinya terjamin," kata sumber itu melalui telepon dari Libya.
Menurut sumber itu, keberadaan dan rencana Saif telah dilacak dari satelit yang bisa memantau telepon genggam dan juga dari informasi intelejen NTC.
NTC tidak mempunya kemampuan logistik yang memadai untuk menangkap pelarian yang bersembunyi di gurun. NTC meminta NATO untuk membantu lebih lanjut setelah misi sekutu dari Barat itu selesai dengan kematian Gaddafi.
Bagaimanapun juga, pejabat NATO mengatakan bahwa mereka akan menarik mundur pasukannya.
Saif sering digambarkan para analis sebagai penerus ayahnya yang potensial membuat perubahan karena dia berpendidikan tinggi. Namun komentar Saif yang haus darah tentang para gerilyawan memaksa para analis itu berpikir kembali.
Petugas keamanan yang merupakan pengikut setia Gaddafi di Bani Walid mengatakan kepada Reuters minggu ini bahwa sang anak sering menghubungi ayahnya melalui telepon dan takut terkena bom yang datang.
"Dia takut," kata Sharif al-Senussi, seorang letnan dalam pasukan Gaddaffi yang juga merupakan ajudan Saif.
"Dia terlihat bingung," kata dia.
Sharif al-Senussi, yang tidak punya hubungan dengan kepala keamanan Abdullah al-Senussi, mengatakan bahwa rombongan Saif terkena bom pesawat NATO ketika meninggalkan Bani Walid. Namun dia selamat.
(Uu.SDP-14/M016)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011
Tags: