Kepala BMKG peringatkan pemerintah untuk tekan laju perubahan iklim
13 April 2022 09:12 WIB
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati saat memberi sambutan dalam acara Webinar Talkshow Dewan Pembelajar BMKG Corporate University & Ekspos Inovasi Aksi Perubahan Alumni di Jakarta, Kamis (7/4/2022). ANTARA/HO-BMKG.
Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengingatkan pemerintah untuk segera melakukan langkah mitigasi secara komprehensif dan terukur guna menekan laju perubahan iklim.
Dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Rabu, Dwikorita mengatakan bila situasi saat ini terus dibiarkan maka kenaikan suhu di seluruh pulau utama di Indonesia dapat mencapai 4 derajat Celcius pada tahun 2100, empat kali dibandingkan zaman pra industri.
Akibat kenaikan suhu ini pula, tambahnya, puncak Jaya Wijaya di Papua yang pada tahun 2020 memiliki ketebalan es sebesar 31,49 meter, di tahun 2025 mendatang diperkirakan es tersebut akan hilang sepenuhnya.
"Mitigasi harus dilakukan segera, tidak bisa ditunda-tunda karena situasi kekinian sangat mengkhawatirkan. Contohnya, Siklon Seroja yang terjadi di NTT tahun lalu, semestinya siklon tersebut tidak terjadi di wilayah tersebut, tapi akibat perubahan iklim siklon tersebut muncul," ujar Dwikorita saat Seminar Dinamika Atmosfer Regional Provinsi Utara dalam rangka peringatan Hari Meteorologi Dunia (HMD) ke-72, Selasa (12/4).
Dwikorita mengatakan, peningkatan suhu tersebut akan memicu terjadinya cuaca ekstrem dan anomali iklim yang semakin sering. Intensitasnya pun semakin kuat dengan durasi panjang.
Baca juga: WMO: Dampak perubahan iklim terlihat dari cuaca ekstrem di dunia
Baca juga: BMKG ingatkan perubahan iklim telah berdampak terhadap Indonesia
Kondisi tersebut, lanjut Dwikorita, tentu akan mengakibatkan kerugian bagi Indonesia. Tidak hanya bersifat materiil seperti infrastruktur, namun juga korban jiwa.
"Jadi jangan heran jika saat musim kemarau juga terjadi hujan dan banjir, atau musim kemarau akan terasa lebih panas dan kering. Pun saat musim hujan, jauh lebih lebat sehingga memicu bencana hidrometeorologi," imbuhnya.
Dwikorita mengungkapkan, bencana hidrometeorologi di Indonesia meningkat, menjadi bencana terbesar dengan prosentase 95 persen.
Selama tahun 2021, bencana mencapai 5.402 kasus yang notabene merupakan sebagai dampak perubahan iklim global.
Dwikorita menegaskan, pemerintah bersama semua elemen masyarakat harus bekerjasama dan gotong royong dalam melakukan aksi mitigasi. Mulai dari penghematan listrik, air, pengelolaan sampah, pengurangan energi fosil dan menggantinya dengan kendaraan listrik, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, menanam pohon, restorasi mangrove, dan lain sebagainya.
Sementara itu, Gubernur Sumatera Utara, Edy Rachmayadi mengatakan bahwa mitigasi bencana merupakan urusan bersama, yakni pemerintah, dunia usaha hingga masyarakat.
Menurutnya, bencana merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dan masa depan kesejahteraan anak bangsa, karenanya harus diurus bersama.
Baca juga: BMKG: Konsentrasi gas rumah kaca cenderung naik
Baca juga: Perubahan iklim berpotensi sebabkan kerugian ekonomi akibat krisis air
Dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Rabu, Dwikorita mengatakan bila situasi saat ini terus dibiarkan maka kenaikan suhu di seluruh pulau utama di Indonesia dapat mencapai 4 derajat Celcius pada tahun 2100, empat kali dibandingkan zaman pra industri.
Akibat kenaikan suhu ini pula, tambahnya, puncak Jaya Wijaya di Papua yang pada tahun 2020 memiliki ketebalan es sebesar 31,49 meter, di tahun 2025 mendatang diperkirakan es tersebut akan hilang sepenuhnya.
"Mitigasi harus dilakukan segera, tidak bisa ditunda-tunda karena situasi kekinian sangat mengkhawatirkan. Contohnya, Siklon Seroja yang terjadi di NTT tahun lalu, semestinya siklon tersebut tidak terjadi di wilayah tersebut, tapi akibat perubahan iklim siklon tersebut muncul," ujar Dwikorita saat Seminar Dinamika Atmosfer Regional Provinsi Utara dalam rangka peringatan Hari Meteorologi Dunia (HMD) ke-72, Selasa (12/4).
Dwikorita mengatakan, peningkatan suhu tersebut akan memicu terjadinya cuaca ekstrem dan anomali iklim yang semakin sering. Intensitasnya pun semakin kuat dengan durasi panjang.
Baca juga: WMO: Dampak perubahan iklim terlihat dari cuaca ekstrem di dunia
Baca juga: BMKG ingatkan perubahan iklim telah berdampak terhadap Indonesia
Kondisi tersebut, lanjut Dwikorita, tentu akan mengakibatkan kerugian bagi Indonesia. Tidak hanya bersifat materiil seperti infrastruktur, namun juga korban jiwa.
"Jadi jangan heran jika saat musim kemarau juga terjadi hujan dan banjir, atau musim kemarau akan terasa lebih panas dan kering. Pun saat musim hujan, jauh lebih lebat sehingga memicu bencana hidrometeorologi," imbuhnya.
Dwikorita mengungkapkan, bencana hidrometeorologi di Indonesia meningkat, menjadi bencana terbesar dengan prosentase 95 persen.
Selama tahun 2021, bencana mencapai 5.402 kasus yang notabene merupakan sebagai dampak perubahan iklim global.
Dwikorita menegaskan, pemerintah bersama semua elemen masyarakat harus bekerjasama dan gotong royong dalam melakukan aksi mitigasi. Mulai dari penghematan listrik, air, pengelolaan sampah, pengurangan energi fosil dan menggantinya dengan kendaraan listrik, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, menanam pohon, restorasi mangrove, dan lain sebagainya.
Sementara itu, Gubernur Sumatera Utara, Edy Rachmayadi mengatakan bahwa mitigasi bencana merupakan urusan bersama, yakni pemerintah, dunia usaha hingga masyarakat.
Menurutnya, bencana merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dan masa depan kesejahteraan anak bangsa, karenanya harus diurus bersama.
Baca juga: BMKG: Konsentrasi gas rumah kaca cenderung naik
Baca juga: Perubahan iklim berpotensi sebabkan kerugian ekonomi akibat krisis air
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022
Tags: