Artikel
Menyudahi kejahatan jalanan di Yogyakarta
Oleh Luqman Hakim
12 April 2022 21:43 WIB
Kabid Humas Polda DIY Kombes Pol Yuliyanto dan Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda DIY Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi menunjukkan barang bukti saat jumpa pers di Mapolda DIY, Senin (11/4/2022). ANTARA/Luqman Hakim/aa.
Yogyakarta (ANTARA) - Sebuah gir berdiameter 21 cm yang diikat sabuk bela diri berwarna kuning sepanjang 224 cm menjadi saksi bisu aksi kejahatan jalanan di Yogyakarta.
Penggerak roda sepeda motor yang diubah menjadi senjata itu ditunjukkan polisi sebagai salah satu barang bukti peristiwa kelam pada Minggu (3/4) dini hari di Jalan Gedongkuning, Kota Yogyakarta yang menewaskan seorang siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 2.
Gir bertali itu digunakan seorang tersangka yang masih duduk di bangku SMK untuk menyerang korban dengan mengayunkan ke arah sasaran.
Korban yang membonceng sepeda motor temannya mendapat hantaman besi bergerigi tersebut pada bagian kepala yang mengakibatkan nyawanya tak tertolong, kendati sempat dilarikan polisi ke rumah sakit.
Peristiwa itu berlangsung singkat. Bermula dari ketersinggungan dua kelompok remaja ketika berpapasan di jalan.
Didahului saling ejek, memberi isyarat untuk saling menantang, mengeluarkan kata-kata makian, kejar-mengejar, hingga berujung penyerangan yang mengakibatkan seorang korban meninggal dunia.
Sepekan setelah kejadian, polisi menangkap lima orang yang diduga terlibat aksi itu. Mereka memiliki rentang usia 18 hingga 20 tahun yang terdiri atas dua pelajar setingkat SMA, dua mahasiswa, dan seorang pengangguran.
Baca juga: Polda DIY panggil orang tua pelaku dan korban "klitih"
Aparat kepolisian meyakinkan publik bahwa korban dalam setiap kasus kejahatan jalanan tidak acak atau tidak menyerang sembarang orang tanpa motif.
Yang berpotensi menjadi pelaku maupun korban, menurut polisi, adalah anak-anak muda, laki-laki usia pelajar yang berkelompok, kemudian saling ejek saat berpapasan di jalan.
"Jadi korban Itu bukan acak. Bukan masyarakat biasa," ucap Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi.
Kendati dipicu ketersinggungan sesaat, faktanya geng pelajar itu telah membawa gir serta barang bukti lain berupa parang dan golok.
Kelimanya dijerat dengan Pasal 353 ayat 3 KUHP tentang Penganiayaan Berat Berencana subsider 351 ayat 3 tentang Penganiayaan yang Mengakibatkan Korban Meninggal Dunia atau Penganiayaan Berat. Penganiayaan berencana ancaman maksimal 9 tahun penjara, dan penganiayaan berat ancaman maksimal 7 tahun penjara.
Geng Pelajar
Hampir setiap tahun kasus kekerasan remaja usia sekolah berulang dan mengemuka di Yogyakarta.
Selama 2021, Polda DIY mencatat sebanyak 58 laporan terkait kejahatan jalanan. Jumlah itu meningkat dibandingkan 2020 sebanyak 52 laporan.
Embrio kasus kejahatan jalanan oleh geng pelajar, menurut sosiolog dari Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta Dr Mukhijab sudah ada di Kota Gudeg sejak era 80-an.
Dari tahun ke tahun memiliki pola yang sama, yaitu melakukan kekerasan, menimbulkan korban luka hingga nyawa.
Sejumlah geng pelajar terus melakukan regenerasi, bahkan mulai era 90-an ada yang menjalin hubungan dengan sayap partai politik tertentu di DIY.
Menurut dia, pelajar tertarik bergabung dengan geng pelajar, antara lain sebagai wahana eksistensi diri karena tidak mendapat ruang pengakuan baik di lingkungan keluarga maupun sekolah.
Meski belum dapat menyebut angka pasti, Kepala Bidang Humas Polda DIY Komisaris Besar Yuliyanto menyebut hampir seluruh sekolah khususnya setingkat SMA/SMK di DIY dapat dijumpai geng pelajar. "Ada (geng pelajar) yang masih 'manis-manis' dan ada yang brutal," ucap dia.
Sosiolog kriminalitas Universitas Gadjah Mada (UGM) Suprapto yang pernah melakukan penelitian fenomena "klitih" atau kejahatan jalanan sejak 2004 hingga 2009 di Yogyakarta menyimpulkan bahwa kejahatan jalanan oleh kalangan remaja atau pelajar bisa terus berkelanjutan hingga kini karena terorganisasi sehingga memungkinkan proses regenerasi.
Baca juga: Wali Kota: Yogyakarta aman "klitih" karena sudah ditangani optimal
Selain terorganisasi, mereka ada yang melatih mulai dari penyiapan senjata tajam, pembagian tugas antara yang mengemudi sepeda motor, mengeksekusi sasaran, hingga antisipasi ketika ada patroli kepolisian.
Jika dipetakan, menurut Suprapto, ada tiga unsur di dalam geng pelajar yang berpotensi melakukan kejahatan jalanan, yakni pertama, pengurus inti yang murni diduduki pelajar mulai dari ketua, wakil, hingga anggota. Kedua, unsur alumni, dan ketiga, kelompok eksternal yang memungkinkan diisi kelompok lain seperti preman atau pemesan.
"Mereka punya peraturan, mereka hanya menyerang sebaya yang berpotensi merespons pancingan mereka," ujar Suprapto yang melakukan penelitian dengan metode observasi partisipasi.
Menyudahi kejahatan jalanan
Untuk memutus mata rantai kejahatan jalanan diperlukan upaya sinergi multipihak secara berkelanjutan.
Orang tua, sekolah, Dinas Pendidikan, kepolisian, dan unsur pemerintah daerah perlu duduk bersama menyusun program pencegahan untuk jangka pendek, menengah, dan panjang.
"Kalau perlu ada lembaga khusus untuk menangani kenakalan anak-anak muda ini dengan dukungan alokasi dana khusus," kata Dr Mukhijab.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X melalui Surat Bernomor 050/5082 meminta seluruh bupati/wali kota segera melakukan berbagai upaya pencegahan.
Sejumlah langkah yang diminta Sultan, yakni pertama, melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, Ketua LPMK, kampung, RW, RT, PKK, hingga Karang Taruna untuk menyosialisasikan kepada warga tentang pentingnya setiap keluarga mengetahui keberadaan anggota keluarganya.
Poin kedua, menginisiasi aktivitas positif dan bermanfaat bagi remaja. Ketiga, menggiatkan patroli lingkungan dengan melibatkan linmas dan gerakan jaga warga.
Keempat, bekerja sama dengan TNI/Polri guna meningkatkan monitoring pergerakan massa yang masih beraktivitas hingga lewat tengah malam.
Baca juga: Pemkot Yogyakarta optimalkan FKDM cegah aksi "klitih"
Terakhir, menganggarkan aktivitas-aktivitas pencegahan dan penanganan kejahatan jalanan dalam APBD masing-masing.
Tidak hanya itu, Sultan HB X bakal menelusuri latar belakang keluarga para pelaku kejahatan jalanan.
Pasalnya, tidak semua keluarga pelaku bersedia menerima mereka kembali sehingga harus ditampung dan dibina Dinas Sosial dan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk DIY.
Jika pelaku kejahatan jalanan dikeluarkan dari sekolah, Pemda DIY siap menampung mereka dan menyekolahkan kembali dengan menggandeng para orang tua asuh.
Membiarkan mereka putus sekolah, menurut Ngarsa Dalem, justru semakin menambah masalah, bukan menyelesaikan masalah.
"Kalau mereka nganggur nanti kriminalitasnya kan semakin tinggi, kejahatan juga bisa semakin tinggi," tutur Sultan.
Direktur Ditreskrimsus Polda DIY Kombes Pol Roberto Gomgom Manorang Pasaribu berjanji bakal menindak tegas pelaku kejahatan jalanan sekalipun masih di bawah umur.
Polisi bakal menggencarkan patroli malam, pembinaan, dan penyuluhan secara berkala kepada pelajar SMP/SMA terkait dengan kejahatan jalanan melalui bhabinkamtibmas serta melakukan razia tas bawaan pelajar.
Jika kasus kejahatan jalanan ini masih terus berulang, tentu yang rugi bukan hanya masyarakat, namun reputasi Yogyakarta sebagai kota pelajar sekaligus destinasi pariwisata unggulan di Tanah Air.
Karena itu, yang perlu ditekankan adalah penanganan dan pencegahan secara konsisten dan berkelanjutan, bukan sekadar saat kasus muncul di permukaan.
Penggerak roda sepeda motor yang diubah menjadi senjata itu ditunjukkan polisi sebagai salah satu barang bukti peristiwa kelam pada Minggu (3/4) dini hari di Jalan Gedongkuning, Kota Yogyakarta yang menewaskan seorang siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 2.
Gir bertali itu digunakan seorang tersangka yang masih duduk di bangku SMK untuk menyerang korban dengan mengayunkan ke arah sasaran.
Korban yang membonceng sepeda motor temannya mendapat hantaman besi bergerigi tersebut pada bagian kepala yang mengakibatkan nyawanya tak tertolong, kendati sempat dilarikan polisi ke rumah sakit.
Peristiwa itu berlangsung singkat. Bermula dari ketersinggungan dua kelompok remaja ketika berpapasan di jalan.
Didahului saling ejek, memberi isyarat untuk saling menantang, mengeluarkan kata-kata makian, kejar-mengejar, hingga berujung penyerangan yang mengakibatkan seorang korban meninggal dunia.
Sepekan setelah kejadian, polisi menangkap lima orang yang diduga terlibat aksi itu. Mereka memiliki rentang usia 18 hingga 20 tahun yang terdiri atas dua pelajar setingkat SMA, dua mahasiswa, dan seorang pengangguran.
Baca juga: Polda DIY panggil orang tua pelaku dan korban "klitih"
Aparat kepolisian meyakinkan publik bahwa korban dalam setiap kasus kejahatan jalanan tidak acak atau tidak menyerang sembarang orang tanpa motif.
Yang berpotensi menjadi pelaku maupun korban, menurut polisi, adalah anak-anak muda, laki-laki usia pelajar yang berkelompok, kemudian saling ejek saat berpapasan di jalan.
"Jadi korban Itu bukan acak. Bukan masyarakat biasa," ucap Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi.
Kendati dipicu ketersinggungan sesaat, faktanya geng pelajar itu telah membawa gir serta barang bukti lain berupa parang dan golok.
Kelimanya dijerat dengan Pasal 353 ayat 3 KUHP tentang Penganiayaan Berat Berencana subsider 351 ayat 3 tentang Penganiayaan yang Mengakibatkan Korban Meninggal Dunia atau Penganiayaan Berat. Penganiayaan berencana ancaman maksimal 9 tahun penjara, dan penganiayaan berat ancaman maksimal 7 tahun penjara.
Geng Pelajar
Hampir setiap tahun kasus kekerasan remaja usia sekolah berulang dan mengemuka di Yogyakarta.
Selama 2021, Polda DIY mencatat sebanyak 58 laporan terkait kejahatan jalanan. Jumlah itu meningkat dibandingkan 2020 sebanyak 52 laporan.
Embrio kasus kejahatan jalanan oleh geng pelajar, menurut sosiolog dari Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta Dr Mukhijab sudah ada di Kota Gudeg sejak era 80-an.
Dari tahun ke tahun memiliki pola yang sama, yaitu melakukan kekerasan, menimbulkan korban luka hingga nyawa.
Sejumlah geng pelajar terus melakukan regenerasi, bahkan mulai era 90-an ada yang menjalin hubungan dengan sayap partai politik tertentu di DIY.
Menurut dia, pelajar tertarik bergabung dengan geng pelajar, antara lain sebagai wahana eksistensi diri karena tidak mendapat ruang pengakuan baik di lingkungan keluarga maupun sekolah.
Meski belum dapat menyebut angka pasti, Kepala Bidang Humas Polda DIY Komisaris Besar Yuliyanto menyebut hampir seluruh sekolah khususnya setingkat SMA/SMK di DIY dapat dijumpai geng pelajar. "Ada (geng pelajar) yang masih 'manis-manis' dan ada yang brutal," ucap dia.
Sosiolog kriminalitas Universitas Gadjah Mada (UGM) Suprapto yang pernah melakukan penelitian fenomena "klitih" atau kejahatan jalanan sejak 2004 hingga 2009 di Yogyakarta menyimpulkan bahwa kejahatan jalanan oleh kalangan remaja atau pelajar bisa terus berkelanjutan hingga kini karena terorganisasi sehingga memungkinkan proses regenerasi.
Baca juga: Wali Kota: Yogyakarta aman "klitih" karena sudah ditangani optimal
Selain terorganisasi, mereka ada yang melatih mulai dari penyiapan senjata tajam, pembagian tugas antara yang mengemudi sepeda motor, mengeksekusi sasaran, hingga antisipasi ketika ada patroli kepolisian.
Jika dipetakan, menurut Suprapto, ada tiga unsur di dalam geng pelajar yang berpotensi melakukan kejahatan jalanan, yakni pertama, pengurus inti yang murni diduduki pelajar mulai dari ketua, wakil, hingga anggota. Kedua, unsur alumni, dan ketiga, kelompok eksternal yang memungkinkan diisi kelompok lain seperti preman atau pemesan.
"Mereka punya peraturan, mereka hanya menyerang sebaya yang berpotensi merespons pancingan mereka," ujar Suprapto yang melakukan penelitian dengan metode observasi partisipasi.
Menyudahi kejahatan jalanan
Untuk memutus mata rantai kejahatan jalanan diperlukan upaya sinergi multipihak secara berkelanjutan.
Orang tua, sekolah, Dinas Pendidikan, kepolisian, dan unsur pemerintah daerah perlu duduk bersama menyusun program pencegahan untuk jangka pendek, menengah, dan panjang.
"Kalau perlu ada lembaga khusus untuk menangani kenakalan anak-anak muda ini dengan dukungan alokasi dana khusus," kata Dr Mukhijab.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X melalui Surat Bernomor 050/5082 meminta seluruh bupati/wali kota segera melakukan berbagai upaya pencegahan.
Sejumlah langkah yang diminta Sultan, yakni pertama, melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, Ketua LPMK, kampung, RW, RT, PKK, hingga Karang Taruna untuk menyosialisasikan kepada warga tentang pentingnya setiap keluarga mengetahui keberadaan anggota keluarganya.
Poin kedua, menginisiasi aktivitas positif dan bermanfaat bagi remaja. Ketiga, menggiatkan patroli lingkungan dengan melibatkan linmas dan gerakan jaga warga.
Keempat, bekerja sama dengan TNI/Polri guna meningkatkan monitoring pergerakan massa yang masih beraktivitas hingga lewat tengah malam.
Baca juga: Pemkot Yogyakarta optimalkan FKDM cegah aksi "klitih"
Terakhir, menganggarkan aktivitas-aktivitas pencegahan dan penanganan kejahatan jalanan dalam APBD masing-masing.
Tidak hanya itu, Sultan HB X bakal menelusuri latar belakang keluarga para pelaku kejahatan jalanan.
Pasalnya, tidak semua keluarga pelaku bersedia menerima mereka kembali sehingga harus ditampung dan dibina Dinas Sosial dan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk DIY.
Jika pelaku kejahatan jalanan dikeluarkan dari sekolah, Pemda DIY siap menampung mereka dan menyekolahkan kembali dengan menggandeng para orang tua asuh.
Membiarkan mereka putus sekolah, menurut Ngarsa Dalem, justru semakin menambah masalah, bukan menyelesaikan masalah.
"Kalau mereka nganggur nanti kriminalitasnya kan semakin tinggi, kejahatan juga bisa semakin tinggi," tutur Sultan.
Direktur Ditreskrimsus Polda DIY Kombes Pol Roberto Gomgom Manorang Pasaribu berjanji bakal menindak tegas pelaku kejahatan jalanan sekalipun masih di bawah umur.
Polisi bakal menggencarkan patroli malam, pembinaan, dan penyuluhan secara berkala kepada pelajar SMP/SMA terkait dengan kejahatan jalanan melalui bhabinkamtibmas serta melakukan razia tas bawaan pelajar.
Jika kasus kejahatan jalanan ini masih terus berulang, tentu yang rugi bukan hanya masyarakat, namun reputasi Yogyakarta sebagai kota pelajar sekaligus destinasi pariwisata unggulan di Tanah Air.
Karena itu, yang perlu ditekankan adalah penanganan dan pencegahan secara konsisten dan berkelanjutan, bukan sekadar saat kasus muncul di permukaan.
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022
Tags: