IMF: Mekanisme baru diperlukan guna atasi tekanan utang negara miskin
12 April 2022 08:05 WIB
Logo Dana Moneter Internasional (IMF) tampak di luar gedung kantor pusat di Washington AS. ANTARA/REUTERS/Yuri Gripas/am.
Washington (ANTARA) - Harga pangan dan energi global yang meningkat tajam akibat perang di Ukraina memukul negara-negara miskin, dan mekanisme yang lebih baik untuk mengatasi tekanan utang negara diperlukan untuk mencegah gagal bayar atau default, kata Dana Moneter Internasional (IMF), Senin (11/4/2022).
"Perang di Ukraina menambah risiko pada tingkat pinjaman publik yang belum pernah terjadi sebelumnya sementara pandemi masih membebani banyak anggaran pemerintah," tulis direktur departemen urusan fiskal IMF Vitor Gaspar dan kepala strategi IMF Ceyla Pazarbasioglu dalam sebuah blog baru.
"Dengan meningkatnya risiko utang negara dan kendala keuangan kembali menjadi pusat perhatian kebijakan, pendekatan kooperatif global diperlukan untuk mencapai penyelesaian masalah utang yang tertib dan mencegah default yang tidak perlu."
Lonjakan harga pangan dan energi sangat memukul negara-negara berpenghasilan rendah, dan mereka mungkin membutuhkan lebih banyak hibah dan pembiayaan yang sangat lunak. Negara-negara harus melakukan reformasi untuk meningkatkan transparansi utang dan memperkuat kebijakan pengelolaan utang untuk mengurangi risiko.
Sekitar 60 persen negara berpenghasilan rendah sudah berada dalam, atau berisiko, kesulitan utang, kata para penulis. Naiknya suku bunga di negara-negara ekonomi utama dapat menyebabkan melebarnya spread untuk negara-negara dengan fundamental yang lebih lemah, sehingga lebih mahal bagi mereka untuk meminjam.
Krisis kredit diperburuk oleh penurunan pinjaman luar negeri dari China, yang bergulat dengan masalah solvabilitas di sektor real-estat, penguncian COVID-19 dan masalah dengan pinjaman yang ada ke negara-negara berkembang, kata mereka.
Tindakan yang diambil oleh ekonomi-ekonomi utama tidak cukup, kata mereka, mencatat bahwa pembekuan pembayaran utang bilateral resmi yang diadopsi pada awal pandemi telah berakhir, dan tidak ada restrukturisasi yang telah disepakati di bawah kerangka kerja yang ditetapkan oleh Kelompok 20 (G20).
Pilihan diperlukan untuk lebih banyak negara, yang sekarang belum memenuhi syarat untuk keringanan utang.
"Penyelewengan akan memperbesar biaya dan risiko bagi debitur, kreditur dan, lebih luas lagi, stabilitas dan kemakmuran global," tulis mereka. "Pada akhirnya, dampaknya akan paling tajam dirasakan oleh rumah tangga yang paling tidak mampu."
Baca juga: IMF khawatirkan negara kelas menengah terdampak pandemi
Baca juga: Sri Mulyani: 3 negara minta keringanan utang ke G20
Baca juga: Utang negara miskin naik 12 persen jadi 860 miliar dolar AS pada 2020
"Perang di Ukraina menambah risiko pada tingkat pinjaman publik yang belum pernah terjadi sebelumnya sementara pandemi masih membebani banyak anggaran pemerintah," tulis direktur departemen urusan fiskal IMF Vitor Gaspar dan kepala strategi IMF Ceyla Pazarbasioglu dalam sebuah blog baru.
"Dengan meningkatnya risiko utang negara dan kendala keuangan kembali menjadi pusat perhatian kebijakan, pendekatan kooperatif global diperlukan untuk mencapai penyelesaian masalah utang yang tertib dan mencegah default yang tidak perlu."
Lonjakan harga pangan dan energi sangat memukul negara-negara berpenghasilan rendah, dan mereka mungkin membutuhkan lebih banyak hibah dan pembiayaan yang sangat lunak. Negara-negara harus melakukan reformasi untuk meningkatkan transparansi utang dan memperkuat kebijakan pengelolaan utang untuk mengurangi risiko.
Sekitar 60 persen negara berpenghasilan rendah sudah berada dalam, atau berisiko, kesulitan utang, kata para penulis. Naiknya suku bunga di negara-negara ekonomi utama dapat menyebabkan melebarnya spread untuk negara-negara dengan fundamental yang lebih lemah, sehingga lebih mahal bagi mereka untuk meminjam.
Krisis kredit diperburuk oleh penurunan pinjaman luar negeri dari China, yang bergulat dengan masalah solvabilitas di sektor real-estat, penguncian COVID-19 dan masalah dengan pinjaman yang ada ke negara-negara berkembang, kata mereka.
Tindakan yang diambil oleh ekonomi-ekonomi utama tidak cukup, kata mereka, mencatat bahwa pembekuan pembayaran utang bilateral resmi yang diadopsi pada awal pandemi telah berakhir, dan tidak ada restrukturisasi yang telah disepakati di bawah kerangka kerja yang ditetapkan oleh Kelompok 20 (G20).
Pilihan diperlukan untuk lebih banyak negara, yang sekarang belum memenuhi syarat untuk keringanan utang.
"Penyelewengan akan memperbesar biaya dan risiko bagi debitur, kreditur dan, lebih luas lagi, stabilitas dan kemakmuran global," tulis mereka. "Pada akhirnya, dampaknya akan paling tajam dirasakan oleh rumah tangga yang paling tidak mampu."
Baca juga: IMF khawatirkan negara kelas menengah terdampak pandemi
Baca juga: Sri Mulyani: 3 negara minta keringanan utang ke G20
Baca juga: Utang negara miskin naik 12 persen jadi 860 miliar dolar AS pada 2020
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022
Tags: