Jakarta (ANTARA) - Seniman grafis Theresia Agustina Sitompul menyalurkan refleksi pengalamannya sebagai seorang ibu, pendidik, sekaligus perupa yang bekerja dari rumah dan menyaksikan aktivitas sekolah anaknya di rumah selama masa karantina dengan menghadirkan ruang instalasi "Kembara Biru" di Museum Macan, Jakarta.

Kembara Biru, kata Theresia, menyediakan ruang untuk anak-anak beraktivitas secara fisik dengan berkreasi menggunakan teknik cetak karbon secara manual sehingga dapat melatih motorik dan mengembangkan imajinasi mereka.

"Kembara Biru itu adalah mengembara, artinya mengeksplorasi apapun. Kembara Biru ini saya buat seperti langit biru. Langit itu tanpa batas. Saya berpikir bahwa kreativitas anak-anak itu juga tanpa batas," kata Theresia saat dijumpai ANTARA beberapa waktu lalu.

Melalui pameran seni ini, Theresia sejatinya mengajak anak-anak dan para orang tua agar beristirahat sejenak dari intensitas menatap gawai selama bersekolah dan bekerja dari rumah yang berlangsung sejak dua tahun terakhir.

"Sebenarnya kita bukan menolak teknologi atau gawai yang ada, tapi bagaimana menggunakan secara bijaksana. Kita nggak mungkin lepas dari itu," tuturnya.

Baca juga: Museum MACAN berkolaborasi dengan perupa Thailand Mit Jai Inn

Baca juga: Museum MACAN bisa "dijelajahi" meski Anda #dirumahaja

Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (Museum Macan) menghadirkan instalasi seni bertajuk "Kembara Biru" (Traveling Blues) karya seniman grafis Theresia Agustina Sitompul. (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)


Kembara Biru dibuka untuk publik mulai hari ini, Sabtu (9/4). Jika pengunjung hendak masuk ke ruangan dan berdiri di depan pintu masuk, mereka akan disambut dengan instalasi potongan-potongan lengan kemeja putih yang bergantungan di langit-langit ruangan yang membentuk formasi awan.

Instalasi lengan tersebut memenuhi seluruh sudut langit-langit Kembara Biru. Lengan kemeja menggunakan material kain kassa dan furing yang dibuat secara manual. Melalui instalasi ini, Theresia mengasosiasikannya dengan makna kreativitas tanpa batas walau manusia hanya memiliki dua tangan untuk bekerja.

"Kita punya dua tangan, tapi kamu bisa melakukan banyak hal, jadi jangan takut. Kalau anak-anak biasanya takut salah. Sebenarnya situasi-situasi seperti itu kita harus kasih pemahaman bahwa kreativitas tidak ada yang salah. Jadi kalian bisa membuat apapun," ujar Theresia.

Ruang Kembara Biru identik dengan warna serba biru tua dan putih yang berdampingan dan saling mengisi. Selain instalasi lengan, yang menjadi inti dari Kembara Biru adalah deretan awan dari kertas putih yang di dalamnya menampilkan grafis cetak karbon.

Awan-awan kertas itu diboyong Theresia dari kediamannya di Yogyakarta. Di atas kertas itu, kita dapat menemukan gambar cetakan unik seperti kaus kaki, kain berenda, hingga berbagai bentuk kaus anak-anak.

Dulunya, kertas karbon acapkali digunakan untuk menggandakan surat di mesin tik. Walau tak lagi jamak digunakan, kini penggunaan kertas karbon masih dijumpai untuk menggandakan bon pembayaran dan menggambar pola pakaian.

Menurut Theresia, teknik cetak karbon dapat menjadi alternatif bagi anak-anak yang tumbuh di masa sekarang untuk berkreasi. Teknik ini mudah dilakukan oleh siapapun dan di manapun, hanya memerlukan kertas kosong, benda-benda kecil yang ingin dicetak, sendok untuk menggosok kertas, dan tentu saja kertas karbon.

"Dalam teknik cetak karbon itu, kalau cetak-mencetak lalu kita menggosok, nanti seperti ada kejutannya juga. Anak-anak itu mungkin merasa, 'Wah, ini jadi apa ya nanti setelah digosok'," tuturnya.
Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (Museum Macan) menghadirkan instalasi seni bertajuk "Kembara Biru" (Traveling Blues) karya seniman grafis Theresia Agustina Sitompul. (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)


Beberapa di antara awan-awan kertas itu terdapat kantung-kantung yang dibuat dari kain kassa, berfungsi untuk menyimpan karya pengunjung yang turut membuat cetak karbon di ruang Kembara Biru.

Di tengah-tengah ruangan terdapat meja dan kursi kecil yang tersedia bagi anak-anak yang ingin belajar dan berkreasi dengan benda-benda dan peralatan yang sudah disediakan. Nantinya akan ada tim dari Museum Macan yang selalu bersiap di dalam ruangan untuk mengenalkan cetak karbon dan mengajak anak-anak untuk membuat karya.

Adapun untuk keamanan dan kenyamanan berkunjung di tengah pandemi, pihak Museum Macan menerapkan serangkaian protokol kesehatan sesuai anjuran pemerintah. Apabila anak belum divaksin, maka setidaknya harus didampingi oleh orang tua yang telah divaksin. Selain itu, tim Museum Macan juga secara rutin membersihkan ruangan dan peralatan yang tersedia.

Kembara Biru sendiri merupakan bagian dari proyek Ruang Seni Anak UOB Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (Museum Macan) yang ketujuh. Sebelumnya, Ruang Seni Anak telah menggandeng seniman-seniman lainnya untuk memamerkan karya yang didedikasikan untuk edukasi anak.

Usai dua proyek Ruang Seni Anak sebelumnya menghadirkan tema teknologi, Kurator Edukasi dan Program Publik Museum Macan Nin Djani mengatakan pameran kali ini hadir dengan konsep back to basic yang menggali teknik manual dengan bahan-bahan yang mudah dijumpai di rumah.

Nin Djani menilai bahwa eksplorasi medium pada karya-karya Theresia sangat luas. Seni grafis yang Theresia kerjakan, tambahnya, tidak terbatas pada satu teknik saja. Selain itu secara tematik, karya-karya Theresia juga selalu mengandung unsur yang personal, termasuk isu domestik yang dirasakan perupa.

"Waktu itu kebetulan kami juga melihat, 'Oh, ya, kami kan selama ini belum pernah kerja sama dengan seniman grafis, jadi pas banget, nih'," cerita Nin Djani.
Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (Museum Macan) menghadirkan instalasi seni bertajuk "Kembara Biru" (Traveling Blues) karya seniman grafis Theresia Agustina Sitompul. (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)


Nin Djani mengatakan sejak awal Museum Macan memiliki visi misi terkait pendidikan dengan menghadirkan seni yang interaktif, kolaboratif, inovatif, dan inklusif untuk sebanyak mungkin khalayak yang bisa dicapai.

Oleh sebab itu, Ruang Seni Anak Kembara Biru turut mengusung konsep lokakarya daring menghubungkan siswa dan pendidik dari sekolah di berbagai wilayah di Indonesia, tidak hanya terfokus pada area Jabodetabek.

Jika situasi pandemi memungkinkan, Nin Djani mengatakan pihaknya berencana untuk menghampiri sejumlah sekolah di dekat Jakarta dengan mengadakan lokakarya secara luring.

"Sewaktu pandemi itu kan terbatas di lingkungan Jabodetabek saja, ternyata dengan adanya pandemi ini–mungkin bisa dibilang hikmahnya–ternyata kami terbantu dengan teknologi sehingga bisa menjangkau rekan-rekan edukator dan murid-murid sekolah yang berada di luar Jakarta, bahkan di luar Jawa," katanya.

Kembara Biru juga hadir dalam cakupan yang lebih luas melalui video tutorial pembuatan karya dengan teknik cetak karbon yang akan tersedia di kanal media sosial dan YouTube Museum Macan sehingga memungkinkan siapapun terlibat dalam kegiatan kreatif di rumah masing-masing.

Nin Djani berharap proyek Kembara Biru dapat mengembara sejauh mungkin dan melibatkan lebih banyak orang untuk berpartisipasi. Proyek ini juga diharapkan dapat memberi inspirasi para guru bahwa pendidikan seni sebetulnya bisa dimulai dari elemen-elemen sederhana.

"Mengenai Kembara Biru, kami berharap orang-orang bisa terinspirasi bahwa ternyata untuk membuat karya itu tidak harus punya alat yang rumit dan banyak dulu, tapi bisa dimulai dari benda-benda yang kita temukan dalam keseharian kita," pungkasnya.

Baca juga: Museum Macan hadirkan pameran ruang seni "Kembara Biru"

Baca juga: "Macan" berusia tiga ribu tahun lebih menarik perhatian di Museum Jiangxi

Baca juga: Museum MACAN siapkan pameran luring dan program virtual tahun depan