Jakarta (ANTARA) - Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan membidik mahasiswa sebagai agen perubahan guna meningkatkan pemahaman tentang perlindungan konsumen.

“Mahasiswa sebagai agen perubahan dapat menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam perlindungan konsumen dan garda depan konsumen cerdas dan berdaya," kata Direktur Jenderal PKTN Veri Anggrijono dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.


Hal itu disampaikan Veri terkait acara Penyuluhan Perlindungan Konsumen untuk Mahasiswa di Kota Bandung, Jawa Barat.

Menurut dia, mahasiswa diharapkan mampu memberi informasi dan edukasi, baik melalui media sosial maupun terjun langsung ke masyarakat.



"Diharapkan masyarakat menjadi lebih berhati-hati dalam melakukan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) sehingga tidak lagi terjadi kasus-kasus yang dapat merugikan masyarakat,” ujar Veri.



Mahasiswa dibidik agar menjadi influencer (orang berpengaruh) dalam perlindungan konsumen di kalangan generasi Z. Para mahasiswa mendapatkan materi perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan penyuluhan perlindungan konsumen untuk mahasiswa di Bandung.



Mahasiswa sebagai generasi yang terdidik dengan baik (well-educated) dan cepat tanggap terhadap pergeseran teknologi tidak asing dengan teknologi atau platform perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau e-commerce.


Mereka dinilai dapat memotivasi lingkungannya agar menjadi konsumen cerdas yang terinformasi dengan baik (well-informed).

Dalam acara itu, mahasiswa mendapatkan pemahaman dari berbagai narasumber, antara lain Direktur Pemberdayaan Konsumen Ivan Fithriyanto, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jabar Iendra Sofyan, Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Sinta Dewi, dan pendiri Blankenheim Beny Sofara.


​​​​​Bertindak sebagai moderator yaitu Kepala Bidang Perlindungan Konsumen Disperindagprov Jabar Erik Wahyu.

Acara bertema “Perlindungan Konsumen Pada Perdagangan Melalui Sistem Elektronik” ini dipilih karena berdasarkan data pengaduan konsumen yang diterima Direktorat Pemberdayaan Konsumen pada 2021, sebanyak 8.949 pengaduan atau 95,3 persen merupakan pengaduan mengenai PMSE.



Jumlah tersebut meningkat 10 kali lipat dibandingkan pada 2020 yang hanya tercatat 931 pengaduan.

Ivan menjelaskan, Jawa Barat dinilai dapat mendorong konsumen untuk lebih berdaya. Hal ini berdasarkan hasil survei Keberdayaan Konsumen di Jawa Barat pada 2021 yang berada di atas Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) Nasional, yaitu pada indeks 53,24 yang berarti sudah dalam level “Mampu”.



“Namun, masih terdapat dua dimensi terendah, yaitu perilaku komplain (30,33) dan kecenderungan untuk bicara (51,15). Selain itu, Jawa Barat juga pernah menerima penghargaan sebagai Pemerintah Daerah yang Peduli Konsumen peringkat kedua pada 2014, serta meraih peringkat pertama pada 2017 dan 2018,” ungkap Ivan.



Di Jawa Barat, telah terbentuk dan beroperasi 17 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dari 26 kabupaten/kota yang ada.


​​​​​Berdasarkan laporan yang disampaikan kepada Kementerian Perdagangan, diperoleh jumlah pengaduan sebanyak 454.


Kasus terkait dengan PMSE secara umum meliputi penipuan yang mayoritas melibatkan barang tidak terkirim ataupun barang yang diterima tidak sesuai dengan pesanan. Kasus lain terjadi dengan modus mengajak pembeli melakukan transaksi di luar platform PMSE.

“Banyak konsumen belum memahami untuk tidak menerima ajakan transaksi di luar platform. Selain itu, ada juga kejahatan pencurian akun dan mengambil saldo uang digital yang ada di akun konsumen,” ungkap Ivan.

Ivan juga menekankan pengutamaan produk lokal oleh pelaku usaha PMSE.



“Pelaku usaha diwajibkan mendukung program pemerintah dengan tiga cara. Pertama, mengutamakan perdagangan barang dan/atau jasa produksi dalam negeri. Kedua, meningkatkan daya saing barang dan/atau jasa produksi lokal. Ketiga, menyediakan fasilitas promosi barang dan/atau jasa produksi dalam negeri,” kata Ivan.