Artikel
Kehadiran Pemerintah Indonesia dalam kasus tumpahan minyak Montara
Suasana acara Optimalisasi Penyelesaian Kasus Montara yang dihadiri Ketua Yayasan Peduli Timor Barat Ferdi Tanoni (paling kiri), Ketua Montara Task Force Purbaya Yudhi Sadewa (kedua dari kiri), Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (tengah), Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Alue Dohong (kedua dari kanan), dan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Cahyo R. Muzhar (paling kanan), di gedung Kementerian Koordinator Maritim dan Invetasi, Jakarta Pusat, Jumat (1/4/2022). ANTARA/Putu Indah Savitri
Sudah lebih dari satu dekade, tepatnya 13 tahun lalu, sejak tragedi meledak dan terbakarnya Unit Pengeboran West Atlas milik ladang minyak Montara. Ledakan tersebut lantas menyebabkan bocornya minyak mentah selama 74 hari ke Laut Timor.
Dikutip dari dokumen pertimbangan putusan Majelis Hakim Pengadilan Federal Australia Nomor Berkas NSD 1245 of 2016, volume kebocoran minyak mencapai lebih dari 2.500 barel per hari.
Perhitungan tersebut berbeda jauh dengan klaim perusahaan pengelola ladang minyak Montara, yakni PTT Exploration and Production (PTTEP), yang mengklaim bahwa volume kebocoran minyak berkisar 400 barel per hari.
Tragedi ini dikenal sebagai salah satu bencana lingkungan terbesar di Australia yang berdampak begitu buruk bagi para petani rumput laut dan nelayan di wilayah Kabupaten Kupang dan Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur.
Kurang lebih terdapat 15.481 orang petani rumput laut dan nelayan di 13 kabupaten dan kota yang mengalami kerugian akibat kebocoran minyak ini.
Ketua Yayasan Peduli Timor Barat Ferdi Tanoni menjelaskan efek domino dari dampak tersebut, seperti masyarakat terjangkit berbagai jenis gangguan kesehatan akibat lingkungan tercemar tumpahan minyak, perekonomian keluarga petani terpuruk akibat kehilangan mata pencaharian, dan anak-anak putus sekolah akibat ketidakmampuan keluarga membiayai pendidikan mereka.
Baca juga: Kasus Montara tak akan rusak hubungan Indonesia-Australia
Meskipun pada Maret 2021 Pengadilan Federal Australia telah memenangkan gugatan class action 15.481 petani rumput laut dan nelayan dan Pengadilan Federal Australia meminta PTTEP membayar 34.000 dolar Australia sebagai biaya ganti rugi, para petani dan nelayan masih belum mendapatkan sepeser pun biaya ganti rugi dari perusahaan tersebut.
PTTEP justru mengajukan banding kepada Pengadilan Federal Australia pada Desember 2021. Menanggapi hal ini, Pemerintah Indonesia optimistis bahwa Indonesia dapat memenangkan banding.
Luhut menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi siap untuk terus mendukung semua proses penyelesaian kasus ini.
Pemerintah bahkan telah menyiapkan peraturan presiden (perpres) dalam rangka memperkuat task force atau satuan tugas Montara. Sebagai strategi untuk melakukan akselerasi penuntasan kasus Montara, Indonesia akan mengajukan gugatan kepada PTTEP di dua tingkat, yakni domestik dan internasional.
Gugatan domestik
Indonesia akan melayangkan gugatan kepada PTTEP ke pengadilan dalam negeri. Luhut mengatakan bahwa upaya ini akan berada di bawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Terkait gugatan dalam negeri, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Alue Dohong menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan penuntutan perdata yang berdasarkan kepada kerusakan ekologi di wilayah Indonesia akibat dari tragedi tumpahan minyak Montara.
Alue membagi kerugian yang dialami oleh Indonesia menjadi tiga jenis, yakni kerugian ekonomi, kerugian ekologi, serta kerugian kesehatan.
Nilai yang baru dituntut oleh petani adalah Rp5-6 triliun, kata Alue. Akan tetapi, nilai tersebut tidak termasuk biaya perbaikan kerusakan ekologi yang diderita Indonesia.
Setelah perpres terbit, Alue mengatakan bahwa pihaknya akan memastikan kembali jumlah kerugian yang diderita oleh Indonesia untuk melakukan penuntutan. Hal ini termasuk mengidentifikasi beberapa tergugat baru dari yang pernah Indonesia lakukan pada proses hukum yang sebelumnya.
Jajaran pimpinan KLHK akan menerbitkan surat kuasa khusus, baik untuk aparatur sipil negara (ASN) di internal KLHK, Kejaksaan Agung, maupun advokat untuk membantu pemerintah dalam menyusun tuntutan atau gugatan.
Baca juga: Luhut: Pemerintah ajukan gugatan dalam negeri tuntaskan kasus Montara
Inisiatif untuk melibatkan Kejaksaan Agung dan advokat yang telah berpengalaman merupakan bentuk kolaborasi untuk memaksimalkan proses penanganan kasus ini.
Lebih lanjut, Alue mengatakan bahwa pihaknya akan sesegera mungkin menerjunkan tim scientific committee untuk mengumpulkan fakta-fakta tambahan dan membantu dalam penyusunan gugatan. Menurut Wamen LHK ini, perpres harus mengatur mengenai scientific expert team.
Setelah langkah-langkah tersebut terpenuhi, KLHK akan menyiapkan dan melengkapi alat bukti. Alue mengungkapkan, awalnya KLHK mengestimasikan tuntutan terkait kerusakan ekologi sebesar Rp21 triliun. Adapun kerusakan ekologi yang masuk perkiraan adalah kerusakan rumput laut, biota perairan, padang lamun, bakau, dan lain sebagainya.
Tuntutan ganti rugi kedua adalah terkait biaya rehabilitasi kerusakan, yaitu sekitar Rp6 triliun. Dengan demikian, mulanya terdapat estimasi total tuntutan ganti rugi sebesar Rp27 triliun yang harus dibayarkan PTTEP kepada Indonesia.
Estimasi tersebut yang akan dikonfirmasi oleh KLHK setelah perpres diterbitkan. Ketika melakukan pemutakhiran data dan memastikan jumlah tuntutan ganti rugi, Alue memastikan KLHK memberi bukti-bukti ilmiah dan melibatkan para ahli lingkungan untuk menghasilkan tuntutan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Setelah menyusun dan membahas materi gugatan dengan para ahli hukum, ahli ekonomi, dan ahli ekologi, KLHK akan mendaftarkan gugatan tersebut ke pengadilan di Jakarta. Langkah-langkah tersebut akan diupayakan pemerintah terkait tuntutan perdata di skala domestik atau dalam negeri terhadap PTTEP.
Gugatan Internasional
Apabila gugatan domestik akan berada di bawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, gugatan internasional berada di bawah koordinasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Cahyo R. Muzhar mengatakan bahwa Indonesia akan menuntut pertanggungjawaban Australia atas kasus kebocoran minyak Montara.
Baca juga: Luhut: pemerintah tegas gugat kasus Montara untuk rakyat NTT
Cahyo berpandangan bahwa kemenangan Indonesia di Pengadilan Federal Australia merupakan salah satu tolok ukur yang membuktikan bahwa kasus kebocoran minyak Montara masih layak untuk masuk ke tahap pengadilan dan tidak mengalami kedaluwarsa meski telah 13 tahun berlalu sejak ledakan itu terjadi.
Oleh karena itu, Cahyo optimistis bahwa kasus Montara bisa diajukan Indonesia ke tribunal internasional, tepatnya International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS), sebagaimana yang tercantum di dalam The United Nations Convention on the Law of the Sea atau UNCLOS 1982.
Sebelum mengajukan ke ITLOS, Indonesia dan Australia akan menyepakati forum apa yang akan mereka gunakan. Akan tetapi, apabila tidak kunjung menemukan kesepakatan, maka Indonesia akan mengajukan ke ITLOS.
Hingga saat ini, permasalahan mengenai kebocoran minyak Montara masih belum diajukan Indonesia ke tribunal internasional karena masih mengupayakan diplomasi dengan Australia.
Ini perlu digarisbawahi, kata Cahyo. Kebocoran minyak Montara adalah suatu tindak pelanggaran yang dilakukan entitas swasta, suatu perusahaan yang induknya berada di Thailand, kemudian anak perusahaannya ada di Australia.
Merupakan sebuah kewajiban dan tanggung jawab bagi Australia untuk memantau bagaimana perusahaan ini, tepatnya PTTEP, beroperasi. Baik dari segi perizinan dan pengawasan. Seluruhnya merupakan tanggung jawab Australia.
Dengan demikian, Cahyo menegaskan bahwa yang diinginkan Indonesia adalah tanggung jawab Australia sebagai negara yang menaungi anak perusahaan PTTEP.
Pemerintah Indonesia ingin agar Pemerintah Australia memberikan tekanan kepada PTTEP untuk membayarkan ganti rugi kepada masyarakat Indonesia yang terdampak kebocoran minyak Montara ini.
Cahyo menjelaskan setelah perpres mengenai kasus Montara ini ditandatangani, maka Kemenkumham akan langsung bergerak. Mulanya, Kemenkumham akan memulai dengan negosiasi final antara Indonesia dengan Australia.
Akan tetapi, apabila upaya negosiasi yang dilakukan Indonesia dengan Australia tidak kunjung menemukan titik terang, maka Indonesia di bawah koordinasi Kementerian Hukum dan HAM akan mengajukan perkara ini ke pengadilan internasional atau arbitrase internasional.
Dalam melakukan ini, Kemenkumham akan melibatkan advokat internasional yang terdiri atas gabungan tim penasihat hukum Republik Indonesia dari kementerian atau lembaga ditambah dengan pengacara internasional yang berpengalaman di bidangnya, khususnya di tribunal internasional.
Ketika memilih pengacara atau advokat internasional, tutur Cahyo, tentu pihaknya akan melakukan pemeriksaan latar belakang untuk melihat rekam jejak permasalahan apa saja yang pernah ditangani advokat tersebut dan memastikan bahwa pengacara atau advokat tersebut pro-Indonesia.
Cahyo optimistis didukung dengan koordinasi yang baik antara KLHK, Kemenkumham, Kemenko Marves, dan tim class action, strategi ini akan berhasil untuk menekan PTTEP agar membayar kompensasi kepada masyarakat yang mengalami kerugian akibat kebocoran minyak Montara.
“Kami optimistis kita akan memenangkan gugatan ini,” kata Cahyo.
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022