Jakarta (ANTARA) - Ketua Masyarakat Sadar Risiko Indonesia (Masindo) Dimas Syailendra menilai bahwa penerapan konsep pengurangan risiko pada konsumsi tembakau dinilai penting dan mendesak demi menurunkan prevalensi penyakit tak menular di Indonesia.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sejumlah penyakit tidak menular seperti diabetes, kanker, kardiovaskuler dan jantung menyumbang sebesar 66 persen angka kematian di Indonesia.

Dimas menyebutkan, penurunan prevalensi dan dampak penyakit tidak menular memerlukan peran aktif seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, komunitas, hingga masyarakat.

Hal itu bertujuan untuk mengenal dan menyadari faktor pemicu penyakit tidak menular serta menyampaikan informasi terkait cara-cara mengurangi risiko terhadap penyakit tersebut dan implementasinya.

"Tingginya angka kematian akibat penyakit tidak menular ini tak lepas dari masih rendahnya kesadaran masyarakat akan penyebab penyakit dan cara-cara untuk mengurangi risiko dari penyakit tersebut," kata dia dalam keterangan resmi, Jumat.

Baca juga: Peneliti & akademisi perlu sosialisasi hasil riset tembakau alternatif

"Oleh karena itu, mari kita jadikan Hari Kesehatan Dunia yang jatuh pada bulan ini untuk membangun kembali kesadaran akan faktor pemicu dan aksi pengurangan risikonya,” ujar Dimas.

Menurut Dimas, terlepas dari sebaik apapun sarana kesehatan di suatu negara, konsep pengurangan risiko, yang mengedepankan metode pencegahan dengan menerapkan pola hidup minim risiko, akan jauh lebih efektif dalam menjaga taraf kesehatan dan angka harapan hidup masyarakat.

"Kita tahu bahwa mencegah selalu lebih baik daripada mengobati," tegasnya.

Salah satu perilaku pengurangan risiko yang bisa diterapkan adalah dengan berhenti merokok. Seperti diketahui konsumsi rokok, yang melalui proses pembakaran, memicu terbentuknya beragam senyawa kimia berbahaya yang berpotensi menimbulkan beragam penyakit.

Merokok merupakan salah satu faktor risiko penyebab penyakit tidak menular. Kendati demikian, Dimas menyadari bahwa berhenti merokok secara total bukan merupakan sebuah hal yang mudah dilakukan.

Oleh karena itu, perokok dewasa dapat mempertimbangkan produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik, produk tembakau yang dipanaskan, dan kantung nikotin untuk beralih jika sulit berhenti secara langsung. Sejumlah penelitian mengungkapkan produk tembakau alternatif mampu mengurangi risiko hingga 90 persen-95 persen daripada rokok konvensional.

“Saat ini teknologi sudah sangat maju, ada beragam pilihan produk tembakau alternatif yang secara ilmiah sudah terbukti memiliki profil risiko yang jauh lebih kecil dibanding rokok. Perokok dewasa yang mengalami kesulitan berhenti, bisa menggunakan produk ini sebagai alternatif pemenuhan asupan nikotin sembari mengurangi risiko dan eksternalitas yang mereka hadapi,” tambah Dimas.

Dalam kesempatan terpisah, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Nurul Falah Eddy Pariang menyebutkan beberapa negara telah membuktikan bahwa pendekatan konsep pengurangan risiko membawa manfaat bagi kesehatan masyarakat, khususnya terkait penyakit tidak menular.

Kendati demikian, minimnya riset terkait konsep ini menyebabkan terbatasnya informasi, sehingga riset terkait konsep itu dan implementasinya perlu terus digalakkan.

Menurut Nurul, tanpa penelitian, akan sulit mengambil kesimpulan yang konklusif demi memaksimalkan penerapan pendekatan pengurangan risiko bagi kesehatan masyarakat.

“Oleh karena itu, seluruh pihak terkait harus satu suara dan serius dalam mendorong penelitian yang mumpuni dan menyebarluaskan hasilnya. Kalau perlu, dilakukan kebijakan khusus sehingga konsep ini bisa dipahami dan diterapkan oleh masyarakat untuk tujuan yang lebih besar bagi peningkatan kesehatan dan harapan hidup masyarakat akibat penyakit tidak menular," paparnya.

Baca juga: Asosiasi: Tembakau alternatif bukan untuk anak di bawah 18 tahun

Baca juga: Peneliti: Tembakau alternatif perlu regulasi berbasis profil risiko

Baca juga: Merokok dapat sebabkan masalah kesehatan mata