Jakarta (ANTARA News) - Beberapa minggu lalu, dua warga negara Amerika Serikat --Joshua Fattal dan Shane Bauer-- dilepas dari penjara Iran setelah ditahan selama dua tahun.
Pemerintah Iran menuduh kedua pendaki gunung itu melakukan spionase.
Dalam jumpa pers di Manhattan, New York, keduanya menceriterakan pengalaman mereka sejak dituduh, ditahan, dan dipenjara selama dua tahun.
Apapun alasan pemerintah Iran menahan keduanya, bagi Bauer jelas: “Alasan utamanya adalah adanya rasa permusuhan antara AS dan Iran yang telah berlangsung selama 32 tahun.”
Jadi, mereka merasa menjadi korban permusuhan antarkedua negara.
Ironisnya, kedua warga AS itu adalah aktivis yang sering mengecam kebijakan luar negeri AS. Mereka amat kritis berteriak di tanah airnya sendiri, sebelum mereka pergi ke Iran dan ditangkap pemerintah Iran.
Mereka telah lama mengamati dan menyerang kebijakan AS di luar negeri, termasuk perang melawan terorisme yang tak berdasar itu.
Mereka juga mengkritik serangan terhadap Irak dan Afghanistan, serta penjara Guantanamo yang tak berprikeadilan dan prikemanusiaan itu.
Tentu saja mereka mengakui di penjara Iran pun keadaan sama tidak menyenangkan. Namun mereka “dipaksa” menerima ketidaknyamanan itu karena para penjaganya mempunyai dalih untuk menahannya.
“Di dalam penjara, setiap kali kami mengeluhkan kondisi kami, para penjaga akan mengingatkan kami akan kondisi di Teluk Guantanamo. Mereka akan mengingatkan kami tentang penjara-penjara CIA di seluruh dunia, dan kondisi yang dialami orang-orang Iran dan tahanan-tahanan lain di penjara-penjara Amerika,” kata mereka.
Sayang, bagian ini hilang di media masa arus utama Amerika Serikat.
Media arus utama AS lebih suka memberitakan kebobrokan sistem hukum dan pemerintahan Iran, serta kisah-kisah menyeramkan di penjara Iran, baik yang diceriterakan oleh kedua pendaki gunung itu maupun hasil dramatisasi media AS sendiri.
Kedua orang itu menggelar jumpa pers bukan untuk menjelek-jelekkan sistem penjara Iran, tapi demi mengingatkan umat manusia tentang nilai-nilai kemanusiaan.
Dan, kata mereka, itu harus diawali di rumah sendiri, di Amerika.
Lalu, mengapa gagasan murni, tulus, obyektif, netral dan jujur ini tidak dimuat media massa AS? Apakah AS pascaBush masih menerapkan kebijakan patriotis, bahwa salah atau benar tetap negaraku?
Prilaku media yang tidak mempublikasikan peristiwa penting (atau memotong bagian pentingnya) ini tergolong framing (pembingkaian) dan beragenda atau agenda-setting.
Pesannya begini, "apapun isi jumpa pers, hasilnya tetap Iran buruk dan AS baik. Guantanamo? Tidak relevan!
Keadaa ini seperti terjadi pada permohonan PK Antasari Ashar di Indonesia yang menunjukkan betapa media –sengaja atau malas- berusaha memilih-milih fakta.
Baiklah, fakta memang terlalu banyak, sedangkan kolom atau durasi terlalu sempit. Namun media telah memilih fakta mana yang disajikan kepada khalayak, dan fakta mana yang dianggap tak penting, lalu dibuang.
Dalam kasus Fattal dan Bauer, yang hilang adalah pernyataan narasumber tentang “perlunya bangsa Amerika Serikat menilik kembali kebijakan penjara Guantanamo”.
Dalam hal permohonan PK Antasari Ashar, banyak sekali missing-link, data penghubung yang hilang. Syukur, meskipun dulu media tak begitu antusias menggali kebenaran kasus Antasari, sekarang mereka sudah memberi banyak ruang kepada Antasari untuk berbicara.
Dalam kasus Nazarudin vs Chandra Hamzah, media massa abai atau lalai menyampaikannya kepada publik, yaitu tanggal berapa Chandra ketemu Nazarudin, lalu mencocokkan tanggal itu dengan status Nazarudin pada masa itu.
Meskipun pertemuan diakui terjadi, namun status Nazarudin pada waktu pertemuan itu adalah anggota DPR, maka pertemuan DPR dan KPK tidak menyalahi prosedur, karena mereka seyogyanya bermitra, bertukar pandangan tentang banyak hal.
Media massa terlalu disibukkan klaim sepihak dari Nazarudin bahwa “Chandra ketemu saya empat kali.” Media memotong informasi penting tentang sifat pertemuan itu. Baru ketika Chandra memaparkan secara sistematis kronologi hubungan dan pertemuannya dengan Nazarudin, media meliputnya.
Itupun sebatas liputan jumpa pers. Tak ada investigasi, tak ada eksplorasi, tak ada kedalaman (in-depth). Berita sepenting itu (yang mematahkan banyak informasi Nazarudin) lewat begitu saja sebagai “ah hanya jumpa pers kok”.
Dan ketika diberitakan pun porsinya kurang adil dibandingkan saat Chandra menjadi bulan-bulanan Nazarudin.
Bila tuduhan menempati halaman-halaman pertama, jawaban Chandra menempati halaman dalam. Bila tuduhan disiarkan berulang-ulang dengan frekuensi dan durasi yang tinggi, paparan Chandra –dengan presentasi power pointnya- hanya ditayangkan sekali dan sekilas saja.
Pertanyaan tentang ketidaknetralan media massa muncul di Universitas Trunojoyo, Madura, beberapa waktu lalu.
Dalam Rakernas mahasiswa ilmu komunikasi se-Indonesia itu, seorang mahasiswa bertanya: “Bagaimana Media Watch memantau dan mengkritisi hal-hal yang tidak muncul alias tidak diberitakan?”
Memang biasanya Media Watch memantau produk tayangan atau yang dimuat media, namun prilaku media yang dilatarbelakangi framing atau agenda-setting juga dapat ditengarai dari produk yang dihasilkannya.
Mengapa Jawa Pos kerap memberi ruang yang begitu besar pada Direktur PLN? Mengapa narasumber talkshow di TV berkisar hanya antara Effendi Gozali dan Tjipta Lesmana? Mengapa Metro kerap menayangkan Surya Paloh dan Nasional Demokrat?
Tapi serapi-rapinya media membingkai agenda setting, peristiwa-peristiwa penting yang tak terberitakan oleh media massa pasti akan muncul juga.
Mengapa? Karena kini ada pilar kelima demokrasi, yaitu media sosial (facebook, blog, twitter), yang akan dengan tangkas menggantikan peran media tradisional (cetak, siaran) bila yang terakhir ini tak menjalankan fungsinya dengan baik.
Banyak informasi yang “tak terkabarkan atau sengaja tidak dikabarkan” media arus utama, kita peroleh dari media sosial.
Bila ingin hidup lebih lama lagi, sebaiknya media massa segera menyadari ancaman ini. (*)
(*) Indonesia Media Watch
Kabar yang tidak dikabarkan
Oleh Sirikit Syah(*)
16 Oktober 2011 10:44 WIB
Sirikit Syah (koransuroboyo.com)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011
Tags: