Chatib: Pemberian BLT minyak goreng tepat karena sasar warga rentan
4 April 2022 15:21 WIB
Presiden Joko Widodo dalam keterangannya terkait pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) Minyak Goreng bagi masyarakat, di Istana Merdeka, Jakarta, pada Jumat (1/4/2022). ANTARA/HO-Biro Pers Setpres/am.
Jakarta (ANTARA) - Ekonom Senior Chatib Basri menyatakan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng kepada 20,5 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) dan 2,5 juta Pedagang Kaki Lima (PKL) makanan sudah tepat.
“Jadi langkah pemerintah sudah benar, harga mengikuti pasar dan kemudian memberikan BLT,” katanya dalam Indonesia Macroeconomic Updates 2022 di Jakarta, Senin.
Chatib mengatakan keputusan pemerintah untuk memberikan BLT minyak goreng akan lebih menyasar kelompok masyarakat yang benar-benar rentan dibandingkan dengan subsidi melalui penetapan harga eceran tertinggi (HET).
Menurutnya, kebijakan pemberian subsidi melalui penetapan HET pada minyak goreng beberapa waktu lalu justru kurang tepat karena seluruh kalangan masyarakat dapat menikmati sehingga minyak goreng menjadi langka.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sempat menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit sebelum akhirnya dicabut.
Chatib melihat sejauh ini ada dua upaya yang ditempuh pemerintah dalam menghadapi kenaikan harga energi akibat krisis yakni pertama adalah menyubsidi harganya melalui HET atau price control.
Langkah kedua adalah melepas harga tersebut sesuai mekanisme pasar yang meningkatkan inflasi namun dimitigasi melalui pemberian subsidi yang lebih targeted kepada masyarakat miskin.
Ia mengingatkan, langkah pertama yakni menyubsidi harga melalui HET bukan merupakan keputusan yang tepat karena akan menyebabkan barang tersebut langka dan sudah sudah dibuktikan di hampir semua negara termasuk Polandia dan Amerika Latin.
“Price control itu di mana-mana tidak akan bisa jalan. Itu adalah the first lesson of the economic, jangan sekali-kali melakukan price control. Kalau harganya di-set di bawah biaya produksi, barangnya akan hilang,” jelas Chatib.
Oleh sebab itu, ia menuturkan keputusan pemerintah untuk mencabut subsidi minyak goreng melalui HET dan mengalihkannya kepada BLT sudah sangat tepat.
Pemberian BLT minyak goreng juga akan memberikan beban yang lebih kecil kepada APBN dibandingkan memberi subsidi melalui HET karena jumlah penikmatnya lebih sedikit dan sesuai.
“Kenapa benar? Karena beban dari BLT itu lebih kecil dari subsidi seluruh barang. Bayangkan kalau seluruh minyak goreng atau BBM disubsidi maka yang kaya juga menikmati,” tegasnya.
Terlebih lagi, jika pemerintah menaikkan penerima BLT minyak goreng ini kepada 40 juta rumah tangga pun tidak akan memberi tekanan terlalu besar kepada APBN.
BLT minyak goreng sendiri akan diberikan pada April, Mei dan Juni sebesar Rp100 ribu per bulan per KPM yang dibayarkan sekaligus pada April 2022.
“Itu lebih dari 60 persen penduduk Indonesia dikasih BLT. Jadi impact itu sebenarnya bisa dimitigasi dan akan lebih baik kalau price follow movement,” ujarnya.
Chatib pun mengingatkan kenaikan harga tidak terhindarkan baik minyak goreng maupun BBM sehingga jika harga dipertahankan maka orang akan mengimpor BBM dan kemudian diekspor melalui penyelundupan.
“Kita negara kepulauan dan itu tidak akan mungkin dikontrol. Studi dari berbagai tempat, orang yang menikmati BBM adalah kelas menengah atas, kenapa harus disubsidi?,” kata Chatib.
Baca juga: Pemerintah siapkan Rp6,9 triliun untuk BLT minyak goreng April-Juni
Baca juga: Pemerintah akan salurkan BLT minyak goreng Rp300 ribu
“Jadi langkah pemerintah sudah benar, harga mengikuti pasar dan kemudian memberikan BLT,” katanya dalam Indonesia Macroeconomic Updates 2022 di Jakarta, Senin.
Chatib mengatakan keputusan pemerintah untuk memberikan BLT minyak goreng akan lebih menyasar kelompok masyarakat yang benar-benar rentan dibandingkan dengan subsidi melalui penetapan harga eceran tertinggi (HET).
Menurutnya, kebijakan pemberian subsidi melalui penetapan HET pada minyak goreng beberapa waktu lalu justru kurang tepat karena seluruh kalangan masyarakat dapat menikmati sehingga minyak goreng menjadi langka.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sempat menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit sebelum akhirnya dicabut.
Chatib melihat sejauh ini ada dua upaya yang ditempuh pemerintah dalam menghadapi kenaikan harga energi akibat krisis yakni pertama adalah menyubsidi harganya melalui HET atau price control.
Langkah kedua adalah melepas harga tersebut sesuai mekanisme pasar yang meningkatkan inflasi namun dimitigasi melalui pemberian subsidi yang lebih targeted kepada masyarakat miskin.
Ia mengingatkan, langkah pertama yakni menyubsidi harga melalui HET bukan merupakan keputusan yang tepat karena akan menyebabkan barang tersebut langka dan sudah sudah dibuktikan di hampir semua negara termasuk Polandia dan Amerika Latin.
“Price control itu di mana-mana tidak akan bisa jalan. Itu adalah the first lesson of the economic, jangan sekali-kali melakukan price control. Kalau harganya di-set di bawah biaya produksi, barangnya akan hilang,” jelas Chatib.
Oleh sebab itu, ia menuturkan keputusan pemerintah untuk mencabut subsidi minyak goreng melalui HET dan mengalihkannya kepada BLT sudah sangat tepat.
Pemberian BLT minyak goreng juga akan memberikan beban yang lebih kecil kepada APBN dibandingkan memberi subsidi melalui HET karena jumlah penikmatnya lebih sedikit dan sesuai.
“Kenapa benar? Karena beban dari BLT itu lebih kecil dari subsidi seluruh barang. Bayangkan kalau seluruh minyak goreng atau BBM disubsidi maka yang kaya juga menikmati,” tegasnya.
Terlebih lagi, jika pemerintah menaikkan penerima BLT minyak goreng ini kepada 40 juta rumah tangga pun tidak akan memberi tekanan terlalu besar kepada APBN.
BLT minyak goreng sendiri akan diberikan pada April, Mei dan Juni sebesar Rp100 ribu per bulan per KPM yang dibayarkan sekaligus pada April 2022.
“Itu lebih dari 60 persen penduduk Indonesia dikasih BLT. Jadi impact itu sebenarnya bisa dimitigasi dan akan lebih baik kalau price follow movement,” ujarnya.
Chatib pun mengingatkan kenaikan harga tidak terhindarkan baik minyak goreng maupun BBM sehingga jika harga dipertahankan maka orang akan mengimpor BBM dan kemudian diekspor melalui penyelundupan.
“Kita negara kepulauan dan itu tidak akan mungkin dikontrol. Studi dari berbagai tempat, orang yang menikmati BBM adalah kelas menengah atas, kenapa harus disubsidi?,” kata Chatib.
Baca juga: Pemerintah siapkan Rp6,9 triliun untuk BLT minyak goreng April-Juni
Baca juga: Pemerintah akan salurkan BLT minyak goreng Rp300 ribu
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022
Tags: