RUU PT masih dianggap "baju baru" BHP
16 Oktober 2011 00:14 WIB
TOLAK UU BHP. Sejumlah mahasiswa Universitas '45 Makassar berunjukrasa di depan kampus mereka, Jumat (8/5). Mereka meminta agar UU BHP tidak diberlakukan karena hanya menyengsarakan bagi rakyat khususnya rakyat miskin untuk bersekolah lebih tinggi. FOTO ANTARA/Yusran Uccang/ss/hp/09 (ANTARA/YUSRAN UCCANG)
Makassar (ANTARA News) - RUU Pendidikan Tinggi yang saat ini sedang digodok Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI masih dianggap sebagai baju baru dari UU Badan Hukum Pendidikan (BHP yang dianulir Mahkamah Konstitusi (MK) 30 Maret 2010.
Padahal, RUU Pendidikan Tinggi (PT) titik beratnya berkaitan dengan tata kelola pendidikan tinggi yang tidak termaktub di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.17 Tahun 2010. Pemerintah kemudian menerbitkan PP No.66 Tahun 2010 menyangkut desain tata kelola pendidikan tinggi.
"PP 66/2010 adalah peraturan yang digunakan sementara di-re-desain untuk membentuk UU yang baru," kata Prof Dr Johannes Gunawan, SH. LLM, salah seorang anggota Panitia Kerja (Panja) RUU PT di depan peserta Rakornas Humas Perguruan Tinggi Negeri di Hotel Garden Permata, Bandung, Sabtu, seperti yang dikutip Kepala Humas Unhas Makassar, M. Dahlan Abubakar melalui telepon selularnya.
Hingga 27 September 2011, kata Johannes Gunawan, posisi RUU PT masih bersifat draft, belum final. Komisi X DPR bertekad akan menuntaskan RUU ini menjadi UU Desember 2011. Namun Johannes Gunawan pesimistis, batas waktu itu sulit dipenuhi.
Selain masalah tata kelola pendidikan tinggi, RUU PT terfokus pada masalah penjaminan mutu, sehingga termaktub dalam bab tersendiri. Berkaitan dengan bab ini, akan berimbas pada perubahan kelembagaan bagi lembaga pendidikan, khususnya bagi perguruan tinggi swasta.
Masalah yang sangat krusial di dalam RUU PT adalah pendidikan profesi yang harus dilaksanakan oleh organisasi profesi dan bukan pendidikan tinggi. Namun, kenyataannya, belum ada organisasi profesi yang memiliki kompetensi dan fasilitas melaksanakan pendidikan tersebut.
Oleh sebab itu, untuk sementara waktu pendidikan profesi tersebut dititipkan kepada perguruan tinggi. Jika pendidikan profesi dilaksanakan perguruan tinggi, maka akan memberikan gelar, sementara oleh organisasi profesi belum jelas.
RUU PT ini mengategorikan perguruan tinggi negeri (PTN) ke dalam otonomi, semi otonomi, dan otonomi terbatas. Secara umum Johannes Gunawan menekankan, RUU PT ini sama sekali tidak memberi indikasi pemerintah lepas tangan membiayai pendidikan di pendidikan tinggi.
"Kalau ada anggapan seperti itu, tidak benar. Tidak mungkinlah pemerintah lepas tangan menalangi pendidikan," sebutnya.
PTN otonom mengelola aset keuangan secara otonom. Hanya saja masih terjadi tarik ulur dengan Kementerian Keuangan berkaitan dengan pengelolaan aset negara yang menjadi objek Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Jadi, PTN otonom akan mengelola keuangan secara atributif. Pengelolaan akademik ditangani Kemendiknas.
Masalah yang masih krusial untuk PTN kategori ini selain masalah keuangan, juga persoalan ketenagakerjaan dengan Kemenpan. Pegawai PTN Otonomi berstatus PNS yang dipekerjakan, namun Kemenpan tidak setuju.
Di dalam organisasi PTN otonomi ada Majelis Pemangku Kepentingan yang menerima atribusi dari UU untuk mengelola keuangan dan sebagainya.
Sedangkan PTN semi otonom, yang kini banyak dikelola dengan menggunakan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK BLU). Pengelolaan akademik dan keuangan tidak sepenuhnya diserahkan kepada PTN yang bersangkutan, tergantung pada levelnya. Pengelolaan non-akademik menggunakan pendelegasian Kemenkeu melalui Kemendiknas ke pimpinan PTN. Sementara masalah ketenagaan tetap PNS.
Di PTN jenis ini ada pimpinan PTN dan senat akademik serta Komite Audit. Juga sebagai PTN PPK BLU ada Dewan Pengawas. Sedangkan PTN dengan otonomi terbatas adalah PTN tersebut merupakan satu kerja atau unit pelaksana teknis (UPT) dari Kemendiknas dengan kewenangan akademik terbatas, namun aspek kepegawaiannya tetap PNS.
"Intinya bahwa dengan RUU PT ini, PTN tetap PTN dan tetap berada pada pendirinya, yakni negara," ujar Johannes Gunawan.
Gunawan juga menjelaskan, persoalan lain di dalam RUU PT adalah pendidikan vokasi hingga Diploma IV yang setara dengan Sarjana Sains Terapan dan dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister Terapan dan Doktor Terapan.
Sementara untuk Politeknik/akademi juga ada masalah, karena dosennya tidak bisa menjadi guru besar dan hanya sebatas lektor kepala. Oleh sebab itu, banyak akademi yang mau beralih menjadi universitas. Motivnya adalah agar dosennya dapat berpangkat guru besar dan `mungkin tidak mau lagi tinggal? di Politeknik/Akademi.
Kini juga ada akademi komunitas, yakni bagi siswa kelas tiga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang memenuhi syarat dapat bekerja sama dengan Politeknik untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi pada level diploma satu (D-1). Tinggal menambah satu tahun dapat disetarakan dengan D-2. Tujuannya, untuk meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK).
Rakornas yang diikuti 70 peserta dari universitas, sekolah tinggi/institut, dan politeknik negeri se-Indonesia itu berakhir Minggu. (HK/F003)
Padahal, RUU Pendidikan Tinggi (PT) titik beratnya berkaitan dengan tata kelola pendidikan tinggi yang tidak termaktub di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.17 Tahun 2010. Pemerintah kemudian menerbitkan PP No.66 Tahun 2010 menyangkut desain tata kelola pendidikan tinggi.
"PP 66/2010 adalah peraturan yang digunakan sementara di-re-desain untuk membentuk UU yang baru," kata Prof Dr Johannes Gunawan, SH. LLM, salah seorang anggota Panitia Kerja (Panja) RUU PT di depan peserta Rakornas Humas Perguruan Tinggi Negeri di Hotel Garden Permata, Bandung, Sabtu, seperti yang dikutip Kepala Humas Unhas Makassar, M. Dahlan Abubakar melalui telepon selularnya.
Hingga 27 September 2011, kata Johannes Gunawan, posisi RUU PT masih bersifat draft, belum final. Komisi X DPR bertekad akan menuntaskan RUU ini menjadi UU Desember 2011. Namun Johannes Gunawan pesimistis, batas waktu itu sulit dipenuhi.
Selain masalah tata kelola pendidikan tinggi, RUU PT terfokus pada masalah penjaminan mutu, sehingga termaktub dalam bab tersendiri. Berkaitan dengan bab ini, akan berimbas pada perubahan kelembagaan bagi lembaga pendidikan, khususnya bagi perguruan tinggi swasta.
Masalah yang sangat krusial di dalam RUU PT adalah pendidikan profesi yang harus dilaksanakan oleh organisasi profesi dan bukan pendidikan tinggi. Namun, kenyataannya, belum ada organisasi profesi yang memiliki kompetensi dan fasilitas melaksanakan pendidikan tersebut.
Oleh sebab itu, untuk sementara waktu pendidikan profesi tersebut dititipkan kepada perguruan tinggi. Jika pendidikan profesi dilaksanakan perguruan tinggi, maka akan memberikan gelar, sementara oleh organisasi profesi belum jelas.
RUU PT ini mengategorikan perguruan tinggi negeri (PTN) ke dalam otonomi, semi otonomi, dan otonomi terbatas. Secara umum Johannes Gunawan menekankan, RUU PT ini sama sekali tidak memberi indikasi pemerintah lepas tangan membiayai pendidikan di pendidikan tinggi.
"Kalau ada anggapan seperti itu, tidak benar. Tidak mungkinlah pemerintah lepas tangan menalangi pendidikan," sebutnya.
PTN otonom mengelola aset keuangan secara otonom. Hanya saja masih terjadi tarik ulur dengan Kementerian Keuangan berkaitan dengan pengelolaan aset negara yang menjadi objek Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Jadi, PTN otonom akan mengelola keuangan secara atributif. Pengelolaan akademik ditangani Kemendiknas.
Masalah yang masih krusial untuk PTN kategori ini selain masalah keuangan, juga persoalan ketenagakerjaan dengan Kemenpan. Pegawai PTN Otonomi berstatus PNS yang dipekerjakan, namun Kemenpan tidak setuju.
Di dalam organisasi PTN otonomi ada Majelis Pemangku Kepentingan yang menerima atribusi dari UU untuk mengelola keuangan dan sebagainya.
Sedangkan PTN semi otonom, yang kini banyak dikelola dengan menggunakan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK BLU). Pengelolaan akademik dan keuangan tidak sepenuhnya diserahkan kepada PTN yang bersangkutan, tergantung pada levelnya. Pengelolaan non-akademik menggunakan pendelegasian Kemenkeu melalui Kemendiknas ke pimpinan PTN. Sementara masalah ketenagaan tetap PNS.
Di PTN jenis ini ada pimpinan PTN dan senat akademik serta Komite Audit. Juga sebagai PTN PPK BLU ada Dewan Pengawas. Sedangkan PTN dengan otonomi terbatas adalah PTN tersebut merupakan satu kerja atau unit pelaksana teknis (UPT) dari Kemendiknas dengan kewenangan akademik terbatas, namun aspek kepegawaiannya tetap PNS.
"Intinya bahwa dengan RUU PT ini, PTN tetap PTN dan tetap berada pada pendirinya, yakni negara," ujar Johannes Gunawan.
Gunawan juga menjelaskan, persoalan lain di dalam RUU PT adalah pendidikan vokasi hingga Diploma IV yang setara dengan Sarjana Sains Terapan dan dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister Terapan dan Doktor Terapan.
Sementara untuk Politeknik/akademi juga ada masalah, karena dosennya tidak bisa menjadi guru besar dan hanya sebatas lektor kepala. Oleh sebab itu, banyak akademi yang mau beralih menjadi universitas. Motivnya adalah agar dosennya dapat berpangkat guru besar dan `mungkin tidak mau lagi tinggal? di Politeknik/Akademi.
Kini juga ada akademi komunitas, yakni bagi siswa kelas tiga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang memenuhi syarat dapat bekerja sama dengan Politeknik untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi pada level diploma satu (D-1). Tinggal menambah satu tahun dapat disetarakan dengan D-2. Tujuannya, untuk meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK).
Rakornas yang diikuti 70 peserta dari universitas, sekolah tinggi/institut, dan politeknik negeri se-Indonesia itu berakhir Minggu. (HK/F003)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011
Tags: