Jakarta (ANTARA) - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai kenaikan harga bahan bakar minyak nonsubsidi jenis Pertamax hanya berdampak minim terhadap laju inflasi karena proporsi konsumen Pertamax yang terbilang kecil.

"Penaikan harga Pertamax memang memicu inflasi, tetapi kontribusinya kecil. Pasalnya, proporsi konsumen hanya sekitar 12 persen," ujarnya dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Jumat.
Fahmy menilai penetapan harga Pertamax semestinya ditentukan oleh mekanisme pasar. Oleh karena itu, harga yang ideal adalah sesuai dg harga keekonomian.

Menurutnya, harga jual Pertamax di stasiun pengisian bahan bakar umum atau SPBU memang harus naik mengingat harga minyak dunia sudah mencapai 130 dolar AS per barel.

Baca juga: Pertamina jual pertamax Rp12.500 per liter
"Jika tidak dinaikkan beban Pertamina semakin berat. Penaikan harga Pertamax pada 1 April sudah tepat," katanya.

Lebih lanjut ia mengapresiasi upaya pemerintah dan Pertamina yang tidak menaikkan harga Pertalite meski harga minyak mentah dunia saat ini telah melambung tinggi.

Fahmy meminta agar harga Pertalite tetap dijual Rp7.650 per liter karena proporsi konsumen mencapai 76 persen.

Menurutnya, jika harga Pertalite dinaikkan akan menyulut inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.

Baca juga: Soal harga Pertamax, Luhut: Indonesia paling lambat menaikkan
Mulai 1 April 2022, Pertamina telah menetapkan harga baru Pertamax berkisar antara Rp12.500 sampai Rp13.000 per liter. Keputusan menaikkan harga bahan bakar nonsubsidi itu sebagai langkah Pertamina dalam menyikapi harga minyak mentah yang tinggi.

Untuk menekan beban keuangan Pertamina, selain melakukan efisiensi ketat di seluruh lini operasi, penyesuaian harga bahan bakar minyak tidak terelakkan untuk dilakukan namun dengan tetap mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Baca juga: Pengamat: Keputusan bijak harga Pertamax naik, Pertalite tetap
Baca juga: Keputusan menaikkan harga Pertamax dinilai sudah tepat