Jakarta (ANTARA) - Ketua Tim Kerja Pembiayaan Kesehatan Kementerian Kesehatan Ackhmad Afflazir mengatakan rencana penerapan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) telah lebih terkoordinasi saat ini.

"Dulu mungkin koordinasi pemerintah terpecah, sekarang sudah satu visi misi, bahwa ini harus digolkan. Apalagi pandemi, dan penyakit katastropik memberatkan hasil akhir COVID-19 sehingga pengeluaran negara semakin besar," kata Afflazir dalam "Diseminasi Rekomendasi Kebijakan Cukai MBDK" daring yang dipantau di Jakarta, Kamis.

Penerapan cukai MBDK juga sejalan dengan transformasi pembiayaan kesehatan, salah satunya dengan menjadikan cukai MBDK alat penurun penyakit tidak menular (ptm) dan sumber baru dari program pencegahan penyakit kronis.

Ia menambahkan Kementerian Kesehatan sudah melakukan langkah advokasi yang melibatkan Kementerian dan Lembaga lain sejak 2021 dengan penyerahan policy paper kepada Komisi XI DPR RI.

"Dan tim yg saat ini memang sudah seiring sejalan bekerja sama dengan Kemenkeu. Itu bedanya dengan sebelumnya," kata Afflazir.

Sebelumnya, Manager Riset Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) Gita Gusnadi menyebut penerapan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) sebesar 20 persen dapat menurunkan konsumsi MBDK hingga 24 persen.

Penurunan tingkat konsumsi tersebut pun diperkirakan dapat menurunkan risiko obesitas dan diabetes di Indonesia.

"Penerapan cukai ini dapat mendorong masyarakat melakukan perubahan perilaku, dan juga membantu mereka, terutama kelompok rentan seperti masyarakat berpenghasilan ke bawah dan anak-anak, untuk mengurangi akses terhadap produk membahayakan," kata Gita.

Baca juga: Kemenkeu sebut cukai minuman berpemanis siap diterapkan di 2023

Baca juga: CISDI: Cukai minuman berpemanis tambah penerimaan negara Rp2,7 triliun

Baca juga: YLKI dukung rencana penerapan cukai minuman berpemanis

Baca juga: CISDI: Cukai pada minuman kemasan dapat turunkan konsumsi 24 persen