Moerdiono sosok kebersamaan bangsa
8 Oktober 2011 16:29 WIB
Dokumentasi Mensesneg Moerdiono dengan gayanya yang santai tetapi serius, menjawab pertanyaan anggota Komisi II DPR RI, saat berlangsung Raker di gedung MPR/DPR Jakarta, 4 Februari 1993. Mayjen TNI (Pur) Moerdiono lahir di Banyuwangi 19 Agustus 1934, meninggal dunia di RS Gleneagles, Singapura, Jumat (7/10/11) pukul 19.40 waktu Singapura dan rencananya almarhum akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, Sabtu (8/10). (Foto ANTARA/PF06)
Pekanbaru (ANTARA News) - Guru Besar Universitas Provinsi Riau, Prof Dr Alimin Siregar, berpandangan bahwa mantan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Moerdiono merupakan sosok kebersamaan bangsa yang santun dan berkomitmen dalam tugas-tugasnya.
"Dia juga merupakan seorang pembantu presiden yang santun dan selalu menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Dia juga, sepengamatan saya, tidak banyak berkoar-koar dan selalu tenang, namun berenergi dalam bekerja," kata Alimin di Pekanbaru, Sabtum, menanggapi Moerdiono yang wafat pada Jumat (7/10).
Pola dan konteks berpolitik Moerdiono, dinilainya, layak menjadi contoh bagi para politikus yang tergabung dalam sejumlah partai yang kini "membanjiri" Tanah Air.
"Dia tidak terbuka, namun bukan berarti tertutup untuk segala hal yang menyangkut kebersamaan. Moerdiono di mata saya adalah pahlawan, dan mungkin bagi mereka yang memahami latar belakangnya," ujarnya.
Banyak hal yang patut menjadi contoh bersama, selain cara berpolitiknya, kata Alimin, Moerdiono juga selalu setia terhadap pemimpin atau atasanya yang tidak lain adalah Presiden RI periode 1966-1998, Soeharto.
Alimin mengibaratkan, negara dan bangsa ini adalah sebuah lautan yang terbentang luas, di tengahnya bertaburan para politikus dan petinggi negeri.
"Pada masa Moerdiono, saya lebih melihat adanya kebersamaan, saling menolong, ketika ada pejabat yang berpotensi hanyut ditelan derasnya gelombang," katanya.
Namun, lanjut Alimin, pada masa demokrasi saat ini, "lautan" telah berubah menjadi "hantu" yang ditakuti oleh banyak pejabat negara dan para politikus yang hanya memikirkan diri sendiri.
"Tidak ada lagi saling menyelamatkan, yang ada hanya penyelamatan diri masing-masing dan kelompok tertentu. Alhasil, masyarakat yang menanggung beban dan kesengsaraan atas perilaku pejabat tersebut," ujarnya.
Saat ini, menurut Alamin, hanya ada kepentingan segelintir orang yang selalu berdampak pada kesengsaraan masyarakat banyak. Birokrasi, dikatakannya, juga sudah semakin tidak terkontrol hingga "kebablasan" dan memiliki kecendrungan negatif.
"Kematian Moerdiono diharapkan dapat meninggalkan berbagai sisi positif negeri ini. Salah satunya adalah sosok kebersamaannya untuk bangsa dan negeri ini," demikian Alimin Siregar. (*)
"Dia juga merupakan seorang pembantu presiden yang santun dan selalu menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Dia juga, sepengamatan saya, tidak banyak berkoar-koar dan selalu tenang, namun berenergi dalam bekerja," kata Alimin di Pekanbaru, Sabtum, menanggapi Moerdiono yang wafat pada Jumat (7/10).
Pola dan konteks berpolitik Moerdiono, dinilainya, layak menjadi contoh bagi para politikus yang tergabung dalam sejumlah partai yang kini "membanjiri" Tanah Air.
"Dia tidak terbuka, namun bukan berarti tertutup untuk segala hal yang menyangkut kebersamaan. Moerdiono di mata saya adalah pahlawan, dan mungkin bagi mereka yang memahami latar belakangnya," ujarnya.
Banyak hal yang patut menjadi contoh bersama, selain cara berpolitiknya, kata Alimin, Moerdiono juga selalu setia terhadap pemimpin atau atasanya yang tidak lain adalah Presiden RI periode 1966-1998, Soeharto.
Alimin mengibaratkan, negara dan bangsa ini adalah sebuah lautan yang terbentang luas, di tengahnya bertaburan para politikus dan petinggi negeri.
"Pada masa Moerdiono, saya lebih melihat adanya kebersamaan, saling menolong, ketika ada pejabat yang berpotensi hanyut ditelan derasnya gelombang," katanya.
Namun, lanjut Alimin, pada masa demokrasi saat ini, "lautan" telah berubah menjadi "hantu" yang ditakuti oleh banyak pejabat negara dan para politikus yang hanya memikirkan diri sendiri.
"Tidak ada lagi saling menyelamatkan, yang ada hanya penyelamatan diri masing-masing dan kelompok tertentu. Alhasil, masyarakat yang menanggung beban dan kesengsaraan atas perilaku pejabat tersebut," ujarnya.
Saat ini, menurut Alamin, hanya ada kepentingan segelintir orang yang selalu berdampak pada kesengsaraan masyarakat banyak. Birokrasi, dikatakannya, juga sudah semakin tidak terkontrol hingga "kebablasan" dan memiliki kecendrungan negatif.
"Kematian Moerdiono diharapkan dapat meninggalkan berbagai sisi positif negeri ini. Salah satunya adalah sosok kebersamaannya untuk bangsa dan negeri ini," demikian Alimin Siregar. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011
Tags: