Visi itu membumi, Steve Jobs
Oleh Ade P Marboen
6 Oktober 2011 12:08 WIB
CEO Apple Steve Jobs (kiri) berdiri di depan foto dirinya bersama pendiri Apple Steve Wozniak di masa-masa awal Apple saat peluncuran komputer tablet "iPad" yang baru di San Francisco, dalam foto arsip bertanggal 27 Januari 2010 ini. Jobs meninggal dalam keadaan sakit kanker pankreas pada usianya yang ke-56, Kamis. (REUTERS/Kimberly W)
Kabar kepergian selamanya Steve Paul Jobs menyedot perhatian banyak pihak di seluruh dunia. Banyak sekali toko resmi produk Apple Macintosh di berbagai belahan dunia menyediakan tempat meletakkan bunga sebagai tanda duka mendalam pendiri dan ikon komputer berlambang buah apel digigit itu.
Dalam usia 56 tahun, Jobs akhirnya harus menyerah terhadap kanker pankreas yang sudah menggerogoti tubuhnya sejak lama. Jika teknologi fuzzy logic atau artificial intelligent sudah sempurna, bisa jadi iPod akan berdialog dengan manusia pemakainya soal kesedihan hati tentang kepergian Jobs ini. Apalagi iPad atau iPhone yang ada pada jajaran berikut yang lebih canggih.
Jobs, pecatan Reed College pada semester pertamanya --Jobs tidak pernah punya gelar akademis sejati, kalaupun ada itu gelar kehormatan-- adalah sosok visi teknologi masa depan yang bisa diajak bicara dan perbincangannya selalu bernas. Intinya, dalam diri lelaki kelahiran 24 Februari 1955 di Amerika Serikat itu semata-mata visi yang ada.
Personalisasi setiap orang sangat penting bagi visi itu. Bukankah tiap manusia itu adalah individu unik yang diberi Tuhan di dunia ini? Bukankah keunikan itu menjadi kekuatan dan kandungan materi energi dalam keragaman yang sungguh beraneka dalam banyak teori matematika yang rumit itu? Berpikir dan bicara soal itu, maka Jobs adalah orang yang mampu menerjemahkannya bagi banyak manusia.
iPad, iPhone, iPod, iMac, dan banyak lagi produk yang lahir dari benak pasangan Laurene Powell Jobs dengan empat anak mereka itu, diawali dengan segi penting individualisasi teknologi itu. "Aku adalah piranti dan sistem ini. Piranti dan sistem ini adalah aku" menjadi sihir ampuh mandraguna dalam peta persaingan metafisik teknologi komputer dan sistem informasi.
Saat dia mulai menderita kanker pankreas, iPhone --telefon genggam cerdas pertama di dunia yang sulit dilukiskan dengan kata-kata-- diluncurkan; mengambil basis bentuk serupa iPod. Angka-angka penjualan di mana-mana menjadi kurang penting ketimbang efek pengganda iPod berupa ide dan tiruannya. Pokoknya, gaya hidup kemudian menjadi aliran baru dalam diri pengguna alat ini.
Sejak itulah (sebetulnya sudah dari dulu)… gaya hidup dan kepatuhan terhadap inovasi sistem diwariskan Jobs. Kalau mau dilihat balik, cukup berat perjuangan Jobs bersama Steve Wozniak dan Mike Markulla mendirikan Apple di Palo Alto, Kalifornia, pada akhir dasawarsa '70-an. Dominasi IBM dengan DOS-nya sangat kuat. Mereka sudah muak dengan itu dan keluar dari zone kenyamanan, mungkin itulah yang diterjemahkan dalam lambang Macintosh, apel yang digigit. Bukankah lambang larangan Tuhan itu adalah jangan menggigit apel kepada pasangan Adam dan Hawa?
Sekali diluncurkan, bisa dibilang produk Apple Macintosh tidak pernah ditarik lagi. Ujian bagi visi yang dikeluarkan dilakukan sungguh-sungguh sampai bertahun-tahun di bengkel perusahaan itu. Jobs yang memimpin berbagai hal di balik itu semua, walau ada juga produk-produk Apple yang gagal di mata masyarakat alias tidak laku.
Kemampuan dan kemudahan yang ada dalam tiap produk Apple dilukiskan seorang staf teknologi informatika di satu BUMN di Jakarta, Imansyah, "Yang diberi Apple itu bukan komputernya saja, tapi visi."
Pasar komputer dunia ada dalam komposisi lima persen untuk Apple, dominasi tetap di tangan komputer yang berbasis Microsoft Windows dan di sela sistem operasi Linux. Citra bahwa Apple itu mahal, sukar dipergunakan, dan eksklusif sering mengendap dalam benak pemakai komputer di luar pemakai Macintosh.
Bayang-bayang itu bisa dipatahkan jika melihat dalam jangka menengah-panjang. Tampilan yang mudah diikuti mata dan dimengerti dimanifestasikan dalam banyak aplikasi, sehingga "gambaran" itu menuntun pemakai pada visi, bukan sekedar memakai komputer saja.
Tinggallah visi itu dibiarkan Jobs berada di dunia komputer dan teknologi informatika berkolaborasi dengan gaya hidup dan sistem sekalipun dia sudah tiada. (ANT)
Dalam usia 56 tahun, Jobs akhirnya harus menyerah terhadap kanker pankreas yang sudah menggerogoti tubuhnya sejak lama. Jika teknologi fuzzy logic atau artificial intelligent sudah sempurna, bisa jadi iPod akan berdialog dengan manusia pemakainya soal kesedihan hati tentang kepergian Jobs ini. Apalagi iPad atau iPhone yang ada pada jajaran berikut yang lebih canggih.
Jobs, pecatan Reed College pada semester pertamanya --Jobs tidak pernah punya gelar akademis sejati, kalaupun ada itu gelar kehormatan-- adalah sosok visi teknologi masa depan yang bisa diajak bicara dan perbincangannya selalu bernas. Intinya, dalam diri lelaki kelahiran 24 Februari 1955 di Amerika Serikat itu semata-mata visi yang ada.
Personalisasi setiap orang sangat penting bagi visi itu. Bukankah tiap manusia itu adalah individu unik yang diberi Tuhan di dunia ini? Bukankah keunikan itu menjadi kekuatan dan kandungan materi energi dalam keragaman yang sungguh beraneka dalam banyak teori matematika yang rumit itu? Berpikir dan bicara soal itu, maka Jobs adalah orang yang mampu menerjemahkannya bagi banyak manusia.
iPad, iPhone, iPod, iMac, dan banyak lagi produk yang lahir dari benak pasangan Laurene Powell Jobs dengan empat anak mereka itu, diawali dengan segi penting individualisasi teknologi itu. "Aku adalah piranti dan sistem ini. Piranti dan sistem ini adalah aku" menjadi sihir ampuh mandraguna dalam peta persaingan metafisik teknologi komputer dan sistem informasi.
Saat dia mulai menderita kanker pankreas, iPhone --telefon genggam cerdas pertama di dunia yang sulit dilukiskan dengan kata-kata-- diluncurkan; mengambil basis bentuk serupa iPod. Angka-angka penjualan di mana-mana menjadi kurang penting ketimbang efek pengganda iPod berupa ide dan tiruannya. Pokoknya, gaya hidup kemudian menjadi aliran baru dalam diri pengguna alat ini.
Sejak itulah (sebetulnya sudah dari dulu)… gaya hidup dan kepatuhan terhadap inovasi sistem diwariskan Jobs. Kalau mau dilihat balik, cukup berat perjuangan Jobs bersama Steve Wozniak dan Mike Markulla mendirikan Apple di Palo Alto, Kalifornia, pada akhir dasawarsa '70-an. Dominasi IBM dengan DOS-nya sangat kuat. Mereka sudah muak dengan itu dan keluar dari zone kenyamanan, mungkin itulah yang diterjemahkan dalam lambang Macintosh, apel yang digigit. Bukankah lambang larangan Tuhan itu adalah jangan menggigit apel kepada pasangan Adam dan Hawa?
Sekali diluncurkan, bisa dibilang produk Apple Macintosh tidak pernah ditarik lagi. Ujian bagi visi yang dikeluarkan dilakukan sungguh-sungguh sampai bertahun-tahun di bengkel perusahaan itu. Jobs yang memimpin berbagai hal di balik itu semua, walau ada juga produk-produk Apple yang gagal di mata masyarakat alias tidak laku.
Kemampuan dan kemudahan yang ada dalam tiap produk Apple dilukiskan seorang staf teknologi informatika di satu BUMN di Jakarta, Imansyah, "Yang diberi Apple itu bukan komputernya saja, tapi visi."
Pasar komputer dunia ada dalam komposisi lima persen untuk Apple, dominasi tetap di tangan komputer yang berbasis Microsoft Windows dan di sela sistem operasi Linux. Citra bahwa Apple itu mahal, sukar dipergunakan, dan eksklusif sering mengendap dalam benak pemakai komputer di luar pemakai Macintosh.
Bayang-bayang itu bisa dipatahkan jika melihat dalam jangka menengah-panjang. Tampilan yang mudah diikuti mata dan dimengerti dimanifestasikan dalam banyak aplikasi, sehingga "gambaran" itu menuntun pemakai pada visi, bukan sekedar memakai komputer saja.
Tinggallah visi itu dibiarkan Jobs berada di dunia komputer dan teknologi informatika berkolaborasi dengan gaya hidup dan sistem sekalipun dia sudah tiada. (ANT)
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2011
Tags: