Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) H Imam Putuduh mengatakan pentingnya upaya orkestrasi dalam deteksi dini virus radikalisme.

“Harus ada kesatuan aksi, kesatuan komando, yang diorkestrasi, supaya bisa bergerak serempak. Jangan sampai masyarakat menjadi acuh tak acuh, tidak peduli, skeptis, apatisme terhadap isu-isu ini,” kata Imam dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu.

Ia melanjutkan perlu adanya wake-up alarm untuk membangunkan kepekaan seluruh komponen masyarakat untuk siap siaga, waspada terhadap ancaman radikalisme dan intoleransi yang merupakan benih awal dari tumbuh berkembangnya terorisme.

“Kita perlu wake-up alarm. Kalau masyarakat memiliki kewaspadaan dan kesiapsiagaan, maka ancaman radikalisme dan intoleransi pasti dapat diminimalisir sejak dini. Karena masyarakat menjadi garda terdepan yang terintegrasi dengan aparat, terutama dengan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Nah itu baru namanya kerja bareng,” jelas pria yang akrab disapa Gus Imam itu.

Baca juga: Densus 88 tangkap 16 tersangka dugaan terorisme di Sumbar
Baca juga: BNPT: Bangsa Indonesia butuh pemuda militan melawan propaganda teroris
Baca juga: Indonesia dan Filipina perkuat kerja sama penanggulangan terorisme


Pria yang pernah menjadi Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Wasekjen PBNU) periode 2015-2020 ini juga menuturkan bagaimana upaya efektif agar masyarakat memiliki resistensi terhadap doktrin radikalisme dan intoleransi yang disemai dan disebarkan secara omnichannel, online dan offline channel.

“Harus ada re-unifikasi media-media, baik itu media muslim, media interfaith, media dakwah dan media-media lainnya. Re-unifikasi ini untuk kepentingan bagaimana menjaga kedaulatan PBNU (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan Undang-Undang Dasar 1945),” tutur Gus Imam.

Pasalnya, dewasa ini sudah memasuki era borderless (tanpa batas) atau informasi tanpa batas, yang memungkinkan proses penanaman ideologi dari luar maupun dari dalam negeri, dari bangun tidur hingga terlelap lagi.

Untuk itu, menurutnya, re-unifikasi media menjadi kata kunci utama dalam upaya membangun kesadaran bersama untuk melawan proses penanaman yang bertentangan dengan ideologi bangsa.

“Re-unifikasi media menjadi kata kunci yang paling utama, konten mereka (kelompok radikal dan intoleran) itu diproduksi melalui film, animasi, musik , sport dan sebagainya. Hal ini yang sangat signifikan bergerak, tentunya harus di-counter (dilawan), jangan dibiarkan dan tidak boleh terlambat,” jelasnya.

Sehingga masyarakat yang menjadi objek dari proses penanaman ideologi kelompok radikal terorisme kemudian diharapkan punya imunitas, dapat melakukan perlawanan dan sekaligus punya alternatif.