Artikel
Kekerasan seksual di kampus dan urgensi pengesahan RUU TPKS
Oleh Tri Meilani Ameliya
26 Maret 2022 13:50 WIB
Mahasiswa di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, menuntut pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Kekerasan Seksual (RUU-TPKS) saat menggelar aksi damai dalam rangka peringatan Hari Perempuan Internasional di Alun-alun Kudus, Selasa (8/3/2022). ANTARA/Akhmad Nazaruddin Lathif.
Jakarta (ANTARA) - Dalam beberapa waktu terakhir, nyala alarm penanda bahaya tindak pidana kekerasan seksual di Tanah Air seolah-olah tengah kehilangan tombol untuk dimatikan. Dari waktu ke waktu, nyaringnya bahkan semakin terdengar menggelisahkan.
Gambaran tersebut terjadi di lingkungan kampus yang sepatutnya dibaluti oleh ilmu pengetahuan dan adab sebagai komponen pencegah kemunculan gema kabar terjadinya kejahatan yang merenggut kemerdekaan seseorang. Tidak bisa dipungkiri, Ibu Pertiwi kembali bersusah hati atas hiruk pikuk kabar terjadinya tindak pidana kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi.
Sebagaimana dimuat dalam data survei Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada tahun 2020 ditemukan bahwa sekitar 77 persen dosen mengakui bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampusnya. Dari kasus-kasus tersebut, sekitar 90 persen korbannya perempuan dan 10 persen merupakan laki-laki.
Di samping itu, diketahui pula bahwa sebesar 63 persen kasus kekerasan seksual di kampus tidak pernah dilaporkan demi menjaga nama baik institusi pendidikan tersebut.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani lemahnya penanganan kasus kekerasan seksual di kampus mendorong kasus-kasus serupa lainnya semakin banyak bergulir. Ia mengatakan titik lemah penanganan kasus kekerasan seksual muncul karena pelaku adalah orang terdekat korban di kampus, seperti dosen, mahasiswa, ataupun karyawan. Dengan demikian, para korban cenderung enggan melapor.
Baca juga: Menjelang babak baru perdebatan "consent" dan "seks bebas" RUU TPKS
Andy menyampaikan minimnya pengaduan kekerasan seksual di kampus menunjukkan bahwa tidak semua lingkup institusi pendidikan mempunyai aturan yang jelas, mudah diimplementasikan, dan efektif, baik terkait dengan pencegahan maupun penanganan kekerasan seksual terhadap korban, termasuk pemulihan mereka.
Catatan miris datang pula dari Savy Amira Women Crisis Centre. Sebagaimana dikutip dari laman resminya, dari temuan terhadap 34 kasus kekerasan seksual pada tahun 2021, sebanyak 19 di antaranya terjadi di lingkungan kampus. Bahkan, Savy Amira mencatat 6 pelaku kejahatan tersebut berasal dari kampus sendiri.
Perjalanan regulasi penegakan hukum kasus kekerasan seksual
Secara umum di berbagai ranah, Hakim Agung Mahkamah Agung RI Jupriyadi mengatakan dalam rangka merespons peningkatan kasus kekerasan seksual dari hari ke hari, Pemerintah bersama DPR RI telah mengeluarkan sejumlah aturan guna memperkuat peran aparat penegak hukum dalam menangani kasus tersebut.
Ia mengatakan bermula dari pandangan yang belum memadai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk menjerat pelaku kekerasan seksual, maka telah diundangkan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014, kembali diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2016, dan yang terakhir diubah ke dalam UU Nomor 17 Tahun 2016.
Selanjutnya, ada pula UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) serta UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Kendati demikian, Jupriyadi mengatakan penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual belum dirasakan maksimal sehingga kurang memuaskan masyarakat dan menimbulkan tuntutan agar Pemerintah bersama DPR RI segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi Undang-Undang. Aturan tersebut dinilai sejumlah kalangan, mulai dari akademisi, aktivis, dan beberapa pihak dari pemerintahan mampu memaksimalkan penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual.
Baca juga: Pemerintah siap bahas RUU TPKS dengan DPR
Menurut Asisten Deputi Pemenuhan Hak, Perlindungan, dan Pemberdayaan Perempuan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Roos Diana Iskandar, permasalahan kekerasan seksual menjadi momok dalam pembangunan manusia dan negeri ini. Ia bahkan mengungkapkan bahwa kasus kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa pun, baik perempuan, laki-laki, anak, maupun orang dewasa.
Oleh karena itu, senada dengan Jupriyadi, Roos Diana Iskandar memandang regulasi nasional yang ada saat ini belum cukup untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual yang semakin marak terjadi.
Lalu bagaimana dengan regulasi mengenai pencegahan dan penindakan kasus kekerasan seksual di kampus?
Secara khusus terkait dengan kasus kekerasan seksual di kampus, secercah harapan untuk pencegahan dan penanganan yang lebih baik muncul saat Kemendikbudristek menelurkan regulasi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Aturan yang bersifat lebih spesifik menangani persoalan kekerasan seksual di lingkungan kampus itu mendapatkan respons positif dari banyak kalangan karena dinilai mampu meluaskan definisi kekerasan seksual, bahkan Wakil Koordinator Advokat Relawan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum dan Masalah Keluarga Kongres Wanita Indonesia (YLBH dan MK Kowani) Indriati menilai Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 menyasar pada pemulihan korban kekerasan seksual.
Meskipun begitu, sebagaimana yang dikatakan Mendikbudristek Nadiem Makarim, sejatinya UU TPKS nantinya akan menjadi acuan hukum bagi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Dengan kata lain, Nadiem menilai pencegahan serta penanganan kasus kekerasan seksual membutuhkan landasan hukum yang kuat dan salah satunya dapat dipenuhi melalui pengesahan RUU TPKS.
Dengan demikian, RUU TPKS berperan penting untuk segera disahkan demi memperkuat sisi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Indonesia, baik di lingkungan kampus maupun ranah-ranah lainnya.
Urgensi pengesahan RUU TPKS
Roos Diana menjelaskan alasan RUU TPKS mutlak untuk segera disahkan. Pertama, urgensi pengesahan RUU TPKS tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa instrumen hukum di Indonesia, yakni regulasi dalam KUHP masih terbatas dalam mengatur penindakan terhadap kasus kekerasan seksual.
Roos Diana menyampaikan KUHP hanya memuat tata cara bagi aparat penegak hukum untuk menindak dua jenis kasus kekerasan seksual, yaitu pemerkosaan dan pelecehan seksual atau pencabulan.
Baca juga: Baleg: RUU TPKS akan dibahas panja Senin depan
Sementara dalam RUU TPKS, terdapat pengklasifikasian jenis kekerasan seksual yang lebih detail, yakni mencakup beberapa kategori dengan definisi yang lebih luas dan diyakini lebih mampu menjerat pelaku. Kategori tersebut terdiri atas pelecehan seksual, pemaksaan memakai alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, eksploitasi seksual, dan tindak pidana kekerasan seksual yang disertai dengan perbuatan pidana lain.
Kedua, ia mengatakan bahwa RUU TPKS mampu memberikan perlindungan yang lebih baik untuk korban kekerasan seksual, keluarga korban, dan saksi. Bahkan, Roos Diana menyampaikan bahwa RUU TPKS mengatur ketentuan bahwa pelaku kekerasan seksual akan memperoleh rehabilitasi agar tidak mengulangi salah satu tindakan yang tergolong ke dalam kejahatan luar biasa itu.
Tidak terhenti di sana, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menambah daftar panjang penjelasan yang menekankan bahwa RUU TPKS penting untuk segera disahkan demi membasmi tindak pidana kekerasan seksual.
Menurut Eddy, sapaan akrab Edward Omar Sharif Hiariej, terdapat empat poin penting dalam RUU TPKS yang terbilang ampuh untuk membasmi tindak pidana kekerasan seksual di lingkungan mana pun.
Pertama, aparat penegak hukum tidak diperbolehkan menolak laporan yang berkenaan dengan kasus kekerasan seksual. Dengan demikian, mereka diwajibkan untuk memproses seluruh perkara yang berhubungan dengan kekerasan seksual.
Kedua, Eddy menyampaikan bahwa penyelesaian perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak akan bisa mempergunakan pendekatan keadilan restoratif. Berikutnya yang ketiga, aparat penegak hukum akan dimudahkan dalam memproses kasus dugaan kekerasan seksual karena satu saksi dan alat bukti lainnya sudah dinyatakan cukup untuk memproses kasus kekerasan seksual.
Lalu untuk korban pemerkosaan yang pada umumnya tidak memiliki saksi lain, hasil visum dapat dijadikan sebagai alat bukti. Kemudian yang terakhir, RUU TPKS mewajibkan restitusi dibebankan kepada pelaku kekerasan seksual dengan besaran yang diputuskan oleh majelis hakim yang menangani perkara.
Dari segala pemaparan dan penjelasan tersebut, tentunya tampak peran penting RUU TPKS dalam mencegah dan menindak kasus kekerasan seksual, baik yang terjadi di ranah kampus maupun ranah kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, harapan besar digantungkan kepada DPR RI dan Pemerintah untuk segera mengundangkan RUU TPKS.
Gambaran tersebut terjadi di lingkungan kampus yang sepatutnya dibaluti oleh ilmu pengetahuan dan adab sebagai komponen pencegah kemunculan gema kabar terjadinya kejahatan yang merenggut kemerdekaan seseorang. Tidak bisa dipungkiri, Ibu Pertiwi kembali bersusah hati atas hiruk pikuk kabar terjadinya tindak pidana kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi.
Sebagaimana dimuat dalam data survei Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada tahun 2020 ditemukan bahwa sekitar 77 persen dosen mengakui bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampusnya. Dari kasus-kasus tersebut, sekitar 90 persen korbannya perempuan dan 10 persen merupakan laki-laki.
Di samping itu, diketahui pula bahwa sebesar 63 persen kasus kekerasan seksual di kampus tidak pernah dilaporkan demi menjaga nama baik institusi pendidikan tersebut.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani lemahnya penanganan kasus kekerasan seksual di kampus mendorong kasus-kasus serupa lainnya semakin banyak bergulir. Ia mengatakan titik lemah penanganan kasus kekerasan seksual muncul karena pelaku adalah orang terdekat korban di kampus, seperti dosen, mahasiswa, ataupun karyawan. Dengan demikian, para korban cenderung enggan melapor.
Baca juga: Menjelang babak baru perdebatan "consent" dan "seks bebas" RUU TPKS
Andy menyampaikan minimnya pengaduan kekerasan seksual di kampus menunjukkan bahwa tidak semua lingkup institusi pendidikan mempunyai aturan yang jelas, mudah diimplementasikan, dan efektif, baik terkait dengan pencegahan maupun penanganan kekerasan seksual terhadap korban, termasuk pemulihan mereka.
Catatan miris datang pula dari Savy Amira Women Crisis Centre. Sebagaimana dikutip dari laman resminya, dari temuan terhadap 34 kasus kekerasan seksual pada tahun 2021, sebanyak 19 di antaranya terjadi di lingkungan kampus. Bahkan, Savy Amira mencatat 6 pelaku kejahatan tersebut berasal dari kampus sendiri.
Perjalanan regulasi penegakan hukum kasus kekerasan seksual
Secara umum di berbagai ranah, Hakim Agung Mahkamah Agung RI Jupriyadi mengatakan dalam rangka merespons peningkatan kasus kekerasan seksual dari hari ke hari, Pemerintah bersama DPR RI telah mengeluarkan sejumlah aturan guna memperkuat peran aparat penegak hukum dalam menangani kasus tersebut.
Ia mengatakan bermula dari pandangan yang belum memadai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk menjerat pelaku kekerasan seksual, maka telah diundangkan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014, kembali diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2016, dan yang terakhir diubah ke dalam UU Nomor 17 Tahun 2016.
Selanjutnya, ada pula UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) serta UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Kendati demikian, Jupriyadi mengatakan penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual belum dirasakan maksimal sehingga kurang memuaskan masyarakat dan menimbulkan tuntutan agar Pemerintah bersama DPR RI segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi Undang-Undang. Aturan tersebut dinilai sejumlah kalangan, mulai dari akademisi, aktivis, dan beberapa pihak dari pemerintahan mampu memaksimalkan penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual.
Baca juga: Pemerintah siap bahas RUU TPKS dengan DPR
Menurut Asisten Deputi Pemenuhan Hak, Perlindungan, dan Pemberdayaan Perempuan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Roos Diana Iskandar, permasalahan kekerasan seksual menjadi momok dalam pembangunan manusia dan negeri ini. Ia bahkan mengungkapkan bahwa kasus kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa pun, baik perempuan, laki-laki, anak, maupun orang dewasa.
Oleh karena itu, senada dengan Jupriyadi, Roos Diana Iskandar memandang regulasi nasional yang ada saat ini belum cukup untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual yang semakin marak terjadi.
Lalu bagaimana dengan regulasi mengenai pencegahan dan penindakan kasus kekerasan seksual di kampus?
Secara khusus terkait dengan kasus kekerasan seksual di kampus, secercah harapan untuk pencegahan dan penanganan yang lebih baik muncul saat Kemendikbudristek menelurkan regulasi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Aturan yang bersifat lebih spesifik menangani persoalan kekerasan seksual di lingkungan kampus itu mendapatkan respons positif dari banyak kalangan karena dinilai mampu meluaskan definisi kekerasan seksual, bahkan Wakil Koordinator Advokat Relawan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum dan Masalah Keluarga Kongres Wanita Indonesia (YLBH dan MK Kowani) Indriati menilai Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 menyasar pada pemulihan korban kekerasan seksual.
Meskipun begitu, sebagaimana yang dikatakan Mendikbudristek Nadiem Makarim, sejatinya UU TPKS nantinya akan menjadi acuan hukum bagi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Dengan kata lain, Nadiem menilai pencegahan serta penanganan kasus kekerasan seksual membutuhkan landasan hukum yang kuat dan salah satunya dapat dipenuhi melalui pengesahan RUU TPKS.
Dengan demikian, RUU TPKS berperan penting untuk segera disahkan demi memperkuat sisi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Indonesia, baik di lingkungan kampus maupun ranah-ranah lainnya.
Urgensi pengesahan RUU TPKS
Roos Diana menjelaskan alasan RUU TPKS mutlak untuk segera disahkan. Pertama, urgensi pengesahan RUU TPKS tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa instrumen hukum di Indonesia, yakni regulasi dalam KUHP masih terbatas dalam mengatur penindakan terhadap kasus kekerasan seksual.
Roos Diana menyampaikan KUHP hanya memuat tata cara bagi aparat penegak hukum untuk menindak dua jenis kasus kekerasan seksual, yaitu pemerkosaan dan pelecehan seksual atau pencabulan.
Baca juga: Baleg: RUU TPKS akan dibahas panja Senin depan
Sementara dalam RUU TPKS, terdapat pengklasifikasian jenis kekerasan seksual yang lebih detail, yakni mencakup beberapa kategori dengan definisi yang lebih luas dan diyakini lebih mampu menjerat pelaku. Kategori tersebut terdiri atas pelecehan seksual, pemaksaan memakai alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, eksploitasi seksual, dan tindak pidana kekerasan seksual yang disertai dengan perbuatan pidana lain.
Kedua, ia mengatakan bahwa RUU TPKS mampu memberikan perlindungan yang lebih baik untuk korban kekerasan seksual, keluarga korban, dan saksi. Bahkan, Roos Diana menyampaikan bahwa RUU TPKS mengatur ketentuan bahwa pelaku kekerasan seksual akan memperoleh rehabilitasi agar tidak mengulangi salah satu tindakan yang tergolong ke dalam kejahatan luar biasa itu.
Tidak terhenti di sana, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menambah daftar panjang penjelasan yang menekankan bahwa RUU TPKS penting untuk segera disahkan demi membasmi tindak pidana kekerasan seksual.
Menurut Eddy, sapaan akrab Edward Omar Sharif Hiariej, terdapat empat poin penting dalam RUU TPKS yang terbilang ampuh untuk membasmi tindak pidana kekerasan seksual di lingkungan mana pun.
Pertama, aparat penegak hukum tidak diperbolehkan menolak laporan yang berkenaan dengan kasus kekerasan seksual. Dengan demikian, mereka diwajibkan untuk memproses seluruh perkara yang berhubungan dengan kekerasan seksual.
Kedua, Eddy menyampaikan bahwa penyelesaian perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak akan bisa mempergunakan pendekatan keadilan restoratif. Berikutnya yang ketiga, aparat penegak hukum akan dimudahkan dalam memproses kasus dugaan kekerasan seksual karena satu saksi dan alat bukti lainnya sudah dinyatakan cukup untuk memproses kasus kekerasan seksual.
Lalu untuk korban pemerkosaan yang pada umumnya tidak memiliki saksi lain, hasil visum dapat dijadikan sebagai alat bukti. Kemudian yang terakhir, RUU TPKS mewajibkan restitusi dibebankan kepada pelaku kekerasan seksual dengan besaran yang diputuskan oleh majelis hakim yang menangani perkara.
Dari segala pemaparan dan penjelasan tersebut, tentunya tampak peran penting RUU TPKS dalam mencegah dan menindak kasus kekerasan seksual, baik yang terjadi di ranah kampus maupun ranah kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, harapan besar digantungkan kepada DPR RI dan Pemerintah untuk segera mengundangkan RUU TPKS.
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022
Tags: