"Sejarah mencatat kegagalan Uni Soviet dan Yugoslavia sebagai representasi negara besar dan maju di Eropa Timur, salah satu penyebabnya adalah kegagalan merawat kebersamaan sebagai sebuah bangsa," kata Bamsoet dalam keterangannya di Jakarta Jumat.
Menurut dia beberapa indikasi yang mengemuka antara lain kerapuhan sistem politik, kemerosotan ekonomi, konflik antar-etnik, serta kegagalan mengidentifikasi dan merespon ancaman eksternal dan kekuatan global.
"Pada akhirnya, kompleksitas berbagai persoalan tersebut, dan kegagalan untuk membangun ikatan kebangsaan yang solid, telah menyebabkan kedua negara besar tersebut terpecah belah dan tercerai berai," katanya.
Baca juga: Ketua MPR: Penyampaian pesan kebangsaan melalui "stand up comedy"
Pengalaman sejarah tersebut tentunya menurut Bamsoet menjadi pelajaran berharga bagi setiap negara bangsa. Di mengatakan dalam konteks keindonesiaan, urgensi 'merawat Indonesia' terasa semakin penting.
"Karena Indonesia pun memiliki potensi kerentanan yang sama, atau bahkan lebih besar daripada Uni Soviet dan Yugoslavia," kata Bamsoet.
Dia menerangkan setidaknya ada tiga faktor yang menempatkan bangsa Indonesia dalam posisi rentan dan rapuh. Pertama, bangsa Indonesia adalah bangsa besar dengan tingkat heterogenitas yang sangat tinggi.
"Besarnya jumlah penduduk ini juga tergambar dari kemajemukan yang dimiliki. Antara lain terdiri dari 1.340 suku, yang menggunakan 733 bahasa, dan menganut 6 agama serta puluhan aliran kepercayaan," ucapnya.
Di satu sisi, kemajemukan tersebut katanya menghadirkan kekayaan budaya yang sangat beragam. Namun di sisi lain, kondisi itu juga menghadirkan potensi adanya ancaman untuk memecah belah dan mengadu domba di antara sesama anak bangsa.
Faktor kedua katanya adalah kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, dengan perairan yang menjadi pusat jalur perdagangan laut dunia.
Baca juga: Wakil Ketua MPR: Perlu langkah strategis atasi "learning loss"
Menurutnya hal itu menjadikan hampir mustahil bagi bangsa Indonesia untuk 'menutup diri' terhadap lalu lintas peradaban global.Baca juga: Wakil Ketua MPR: Perlu langkah strategis atasi "learning loss"
Kondisi tersebut membawa dua konsekuensi, bila mampu mengelola dengan baik, maka akan membuat semakin matang dalam membangun peradaban, bahkan berpeluang menjadi "trend setter" peradaban dunia.
"Sebaliknya, jika kita tidak bisa mengelola dengan baik, maka taruhannya adalah jati diri dan identitas kebangsaan kita yang tergerus oleh arus peradaban global yang datang silih berganti," kata Bamsoet.
Faktor ketiga kata Bambang Soesatyo yakni sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan 17.504 pulau yang terbentang pada cakupan wilayah seluas hampir 5,2 juta kilometer persegi, menjadikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan beragam potensi sumber daya.
Posisi strategis dan kekayaan sumber daya yang dimiliki akan menempatkan bangsa Indonesia sebagai "center of gravity" bagi kepentingan global.
Baca juga: Ketua MPR: FKPPI rumah keluarga besar TNI dan Polri
"Cita-cita bersama inilah yang telah diamanatkan secara eksplisit dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945, yaitu terwujudnya negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur," ujarnya.
Menurut Bamsoet semua elemen bangsa patut bersyukur bahwa hingga saat ini ujian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang ada tidak membuat Bangsa Indonesia terpecah belah.
Bangsa Indonesia beruntung memiliki empat komitmen kebangsaan yang dijadikan rujukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kemudian, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai konsensus yang mengikat kita dalam satu bahtera besar kebangsaan bernama Indonesia, serta semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menyatukan berbagai keberagaman yang dimiliki dalam satu ikatan kebangsaan.
Keempat komitmen kebangsaan tersebut menurut dia hanya akan benar-benar bekerja dan berfungsi, serta memberikan dampak yang optimal, ketika nilai nilainya bertransformasi menjadi tindakan nyata.
"Serta mewujud dalam bentuk manifestasi dan implementasi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam segala aspeknya. Jika tidak, maka kekhawatiran kita akan hadirnya 'negara gagal' akan kembali mengemuka dan menjadi ancaman yang krusial," katanya.
Baca juga: Rano Karno: Pembangunan berkelanjutan harus perhatikan keadilan sosial
Baca juga: Wakil Ketua MPR harap kinerja menteri tak terpengaruh isu "reshuffle"
Baca juga: Rano Karno: Pembangunan berkelanjutan harus perhatikan keadilan sosial
Baca juga: Wakil Ketua MPR harap kinerja menteri tak terpengaruh isu "reshuffle"