Yogyakarta (ANTARA) - Pakar perdagangan ekonomi dunia dan politik internasional dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Riza Noer Arfani, menilai Indonesia dalam posisinya sebagai ketua G20 berpeluang menjadi juru runding penyelesaian konflik Rusia-Ukraina.

"Ini sekaligus saatnya menunjukkan secara nyata prinsip politik bebas aktif kita, apalagi dalam pembukaan UUD 1945 kita berkomitmen menjaga perdamaian dan ketertiban dunia," kata dia, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Yogyakarta, Kamis.

Baca juga: Wakil Ketua DPR dorong perang Rusia dan Ukraina dihentikan

Pernyataan Presiden Joko Widodo di twitter yang meminta peperangan dihentikan, menurut dia, masih memerlukan sikap berkelanjutan dengan mempertemukan negara-negara yang berkonflik dalam meja perundingan.

Menurut dia, Indonesia sebagai ketua G-20 periode ni bisa mengajak Turki, China, dan Rusia untuk duduk bersama membahas progres perbaikan ekonomi jika konflik itu berlarut-larut.

Baca juga: Kabar Ukraina: Dari kejahatan perang hingga saling usir diplomat

Arfani mengatakan Indonesia dapat memanfaatkan kedekatan dengan China atau Rusia untuk mengupayakan gencatan senjata dan mendudukan keduanya di meja perundingan.

"Jika perlu menggandeng India yang akan memegang keketuaan G-20 berikutnya setelah Indonesia atau Brazil sebagai ketua berikut G-20 setelah India, jadi diperlukan langkah-langkah luar biasa untuk diplomatik," ujar dia.

Baca juga: Paus Fransiskus: Lebih banyak senjata tak akhiri konflik di Ukraina

Menurut dia, jika konflik berlarut-larut maka kondisi geopolitik dan geoekonomi secara global bisa terdampak cukup serius, termasuk dampaknya bagi negara-negara di Asia Tenggara. "Dari sisi geopolitik persaingan negara-negara barat dengan Rusia akan berlangsung dalam beberapa waktu ke depan. Selama ini kita melihat Rusia sebagai pewaris negara adikuasa Uni Sovyet. Mereka nampaknya menginginkan status itu tetap ada," kata dia.

Baca juga: Pemerintah antisipasi dampak ekonomi karena perang Rusia-Ukraina

Meski tidak secara langsung, kata dia, konflik itu bisa berdampak pada perekonomian Indonesia karena suplai bahan makanan terutama gandum masih bergantung pada kedua negara yang tengah berkonflik.