Simposium IDI: Setiap rumah sakit harus miliki CT scan deteksi stroke
22 Maret 2022 20:15 WIB
Dosen senior Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala (USK) Prof. Dr dr Syahrul Sp N Subsp NIIOO (K) saat menjadi pembicara dalam simposium Muktamar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Kota Banda Aceh, Selasa (22/3/2022). (ANTARA/Khalis Surry)
Banda Aceh (ANTARA) - Dosen senior Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala (USK) Prof. Dr dr Syahrul Sp N Subsp NIIOO (K) menyatakan pemerintah harus menyediakan fasilitas CT scan atau stroke unit di setiap rumah sakit umum kabupaten/kota, dalam upaya memberi pelayanan cepat bagi masyarakat yang terkena stroke.
“Harusnya setiap rumah sakit kabupaten/kota minimal ada satu mesin CT scan untuk meningkatkan layanan,” kata Prof. Syahrul saat menjadi pembicara dalam Mukatamar ke 31 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Kota Banda Aceh, Selasa.
Stroke adalah cedera vaskuler yang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke daerah otak tertentu menyebabkan gangguan sistem persarafan. Secara umum, penyebabnya dibagi menjadi dua, yakni sumbatan (stroke iskemik) dan pendarahan (stroke hemoragik).
Prof. Syahrul menyebutkan stroke bisa terjadi dengan gejala tiba-tiba. Terkadang seseorang bisa lumpuh sebelah mata, mulut miring, tidak bisa berbicara, sempoyongan, tidak sadarkan diri, dan berbagai macam gejala lainnya.
Baca juga: Perkeni: Edukasi terapi insulin pasien diabetes masih rendah
Baca juga: IDI Bandarampung: Pandemi ke endemi harus dilihat dari positivity rate
Maka, kata dia, dalam kondisi seperti ini pasien harus segera dibawa ke rumah sakit yang minimal memiliki dokter spesialis saraf dan CT scan, yaitu baku emas untuk membedakan stroke iskemik dan hemoragik.
“Kalau masih di bawah 6 jam, kalau dia stroke iskemik atau penyumbatan maka ada obat pilihan, penghancuran sumbatan. Itu yang mau kita edukasi kepada masyarakat,” katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, CT scan sangat dibutuhkan di setiap fasilitas kesehatan yang tersebar di 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Belum lagi, kata dia, dokter spesialis saraf yang memang selama ini belum terdistribusi secara merata hingga pelosok negeri. Padahal, CT scan dan dokter saraf itu sangat penting dalam penanganan pertama terhadap kejadian stroke yang masih tinggi di Indonesia.
Seperti di Aceh, kata Prof. Syahrul, dari 23 kabupaten/kota hanya beberapa di antaranya yang sudah memiliki CT scan di rumah sakit umum, seperti Kota Banda Aceh, Pidie, Aceh Selatan, Bireuen, Aceh Tengah, dan Kota Langsa.
Selebihnya, masih belum memiliki fasilitas CT scan dan stroke unit, termasuk dokter spesialis saraf yang juga belum tersedia di setiap rumah sakit.
“Ini harusnya CT scan ini harus ada, belum lagi dokter spesialis saraf juga belum merata di Aceh,” katanya.
Kata dia, prevalensi stroke di Aceh sekitar 8 persen. Kabupaten/kota di Indonesia angka prevalensi rata-rata hampir sama. Sedangkan secara nasional prevalensi stroke sekitar 9 persen, dan angka ini tidak pernah turun sejak 2013-2018.
“Maka kepala dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota harus pro-aktif, jadi misinya layanan, menurunkan kematian, menurunkan kejadian dan menurunkan kecacatan akibat stroke,” katanya.*
Baca juga: IDI: Deltacron belum jadi mutasi yang mengkhawatirkan
Baca juga: IDI: 751 dokter meninggal akibat COVID-19 selama pandemi
“Harusnya setiap rumah sakit kabupaten/kota minimal ada satu mesin CT scan untuk meningkatkan layanan,” kata Prof. Syahrul saat menjadi pembicara dalam Mukatamar ke 31 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Kota Banda Aceh, Selasa.
Stroke adalah cedera vaskuler yang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke daerah otak tertentu menyebabkan gangguan sistem persarafan. Secara umum, penyebabnya dibagi menjadi dua, yakni sumbatan (stroke iskemik) dan pendarahan (stroke hemoragik).
Prof. Syahrul menyebutkan stroke bisa terjadi dengan gejala tiba-tiba. Terkadang seseorang bisa lumpuh sebelah mata, mulut miring, tidak bisa berbicara, sempoyongan, tidak sadarkan diri, dan berbagai macam gejala lainnya.
Baca juga: Perkeni: Edukasi terapi insulin pasien diabetes masih rendah
Baca juga: IDI Bandarampung: Pandemi ke endemi harus dilihat dari positivity rate
Maka, kata dia, dalam kondisi seperti ini pasien harus segera dibawa ke rumah sakit yang minimal memiliki dokter spesialis saraf dan CT scan, yaitu baku emas untuk membedakan stroke iskemik dan hemoragik.
“Kalau masih di bawah 6 jam, kalau dia stroke iskemik atau penyumbatan maka ada obat pilihan, penghancuran sumbatan. Itu yang mau kita edukasi kepada masyarakat,” katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, CT scan sangat dibutuhkan di setiap fasilitas kesehatan yang tersebar di 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Belum lagi, kata dia, dokter spesialis saraf yang memang selama ini belum terdistribusi secara merata hingga pelosok negeri. Padahal, CT scan dan dokter saraf itu sangat penting dalam penanganan pertama terhadap kejadian stroke yang masih tinggi di Indonesia.
Seperti di Aceh, kata Prof. Syahrul, dari 23 kabupaten/kota hanya beberapa di antaranya yang sudah memiliki CT scan di rumah sakit umum, seperti Kota Banda Aceh, Pidie, Aceh Selatan, Bireuen, Aceh Tengah, dan Kota Langsa.
Selebihnya, masih belum memiliki fasilitas CT scan dan stroke unit, termasuk dokter spesialis saraf yang juga belum tersedia di setiap rumah sakit.
“Ini harusnya CT scan ini harus ada, belum lagi dokter spesialis saraf juga belum merata di Aceh,” katanya.
Kata dia, prevalensi stroke di Aceh sekitar 8 persen. Kabupaten/kota di Indonesia angka prevalensi rata-rata hampir sama. Sedangkan secara nasional prevalensi stroke sekitar 9 persen, dan angka ini tidak pernah turun sejak 2013-2018.
“Maka kepala dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota harus pro-aktif, jadi misinya layanan, menurunkan kematian, menurunkan kejadian dan menurunkan kecacatan akibat stroke,” katanya.*
Baca juga: IDI: Deltacron belum jadi mutasi yang mengkhawatirkan
Baca juga: IDI: 751 dokter meninggal akibat COVID-19 selama pandemi
Pewarta: Khalis Surry
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022
Tags: