Direktur Hubungan Kelembagaan MIND ID Dany Amrul Ichdan mengatakan, PT Asahan Aluminium Indonesia (Persero) atau Inalum saat ini mengalami ketergantungan impor alumina sebanyak 500 ribu ton per tahun, sehingga sangat membutuhkan smelter tersebut.
Dany menjelaskan smelter itu memiliki kapasitas produksi mencapai satu juta ton per tahun, sehingga mampu memenuhi kebutuhan Inalum sebesar 500 ribu ton dan sisanya 500 ribu ton bisa dijual ke luar negeri.
Baca juga: Inalum hentikan impor alumina mulai 2025
"Kapasitas smelter alumina yang ada di Mempawah adalah satu juta ton. Berarti 500 ribu ton akan cukup untuk memenuhi kebutuhan Inalum dan 500 ribu ton kita bisa ekspor, sehingga kebutuhan dari smelter alumina juga bisa dijalankan termasuk juga offtaker bauksit," jelasnya.Baca juga: Inalum hentikan impor alumina mulai 2025
Saat ini, proyek yang ditargetkan rampung pada Juli 2023 itu realisasi progres pembangunannya dalam dua tahun berjalan baru mencapai 13,78 persen dari rencana 71,73 persen.
Proyek smelter dimiliki dan dikelola oleh PT Borneo Alumina Indonesia (BAI) dengan porsi 60 persen sahamnya dimiliki oleh Inalum dan 40 persen dimiliki oleh Antam.
Direktur Utama Borneo Alumina Indonesia Dante Sinaga mengatakan ada dua kendala yang menyebabkan proyek smelter itu molor. Pertama, belum ada kesepakatan kontrak antara Chalieco yang merupakan BUMN China dengan PT Pembangunan Perusahaan (Persero) atau PTPP.
"Sampai saat ini final consortium agreement itu belum mereka tandatangani. Ada hal-hal yang belum mereka sepakati, sehingga membuat proyek ini lambat sekali majunya," kata Dante.
Baca juga: Smelter Inalum-Antam dibangun, Indonesia stop impor alumina 2022
"Jadi sekarang yang dilakukan konsorsium EPC, yaitu Chalieco dan PTPP itu adalah sebatas down payment yang sudah kami bayarkan, yaitu sebesar 10 persen," tambahnya.Baca juga: Smelter Inalum-Antam dibangun, Indonesia stop impor alumina 2022
Kendala kedua, akibat tanah gambut di lokasi pengolahan limbah B3 yang dihasilkan oleh smelter, sehingga harus berpindah ke lokasi tanah keras.
Terkait permasalahan itu, Komisi VII DPR RI meminta Borneo Alumina Indonesia untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja konsorsium Chalieco dan PTPP selaku pelaksana proyek smelter alumina tersebut. Evaluasi harus disampaikan paling lambat 28 Maret 2022.
Tak hanya itu, parlemen juga meminta Dirut Inalum dan Dirut Antam untuk menyelesaikan dispute paling lambat 30 April 2022 dengan melibatkan aparatur penegak hukum (Kejaksaan Agung dan BPKP).
Apabila permintaan ini tidak terselesaikan, maka Komisi VII DPR RI merekomendasikan untuk dilakukan terminasi kontrak.
Baca juga: Luhut dorong industri pengolahan bauksit, demi tekan impor
Baca juga: Borneo: Progres "smelter" alumina di Mempawah capai 13,78 persenTak hanya itu, parlemen juga meminta Dirut Inalum dan Dirut Antam untuk menyelesaikan dispute paling lambat 30 April 2022 dengan melibatkan aparatur penegak hukum (Kejaksaan Agung dan BPKP).
Apabila permintaan ini tidak terselesaikan, maka Komisi VII DPR RI merekomendasikan untuk dilakukan terminasi kontrak.
Baca juga: Luhut dorong industri pengolahan bauksit, demi tekan impor
Baca juga: "Smelter" di Mempawah Kalbar hasilkan satu juta ton alumina per tahun