Palu (ANTARA) - Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL), Hasmuni mengatakan hutan di Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) merupakan penopang kehidupan yang sangat penting.

Jika hutan rusak, kata Hasmuni, kehidupan masyarakat juga akan rusak dan bencana akibat kerusakan hutan menjadi sesuatu yang tidak bisa terhindarkan. "Saya berharap kita bersama-sama melindungi dan menjaga kelestarian hutan sebagai sumber daya alam yang menjadi penyangga atau penopang kehidupan dari kerusakan. Jangan sampai hutan tidak berfungsi sebagai penyangga kehidupan karena rusak akibat penebangan dan penambangan liar," kata Hasmuni di Palu, Senin.

Baca juga: BTNLL: Hutan di Sulteng rusak karena pembalakan dan penambangan liar

Ia menerangkan wilayah Sulteng dikelilingi oleh pegunungan dan dataran tinggi. Banyak warga yang tinggal di pegunungan. Kawasan hutan Sulteng hampir seluruhnya berada di wilayah pegunungan dan dataran tinggi. Wilayah tersebut kerap dilanda banjir bandang yang membawa material hasil hutan seperti kayu hasil penebangan liar dan longsor. "Seperti yang kita lihat, kalau terjadi kerusakan hutan, akan disusul oleh banjir bandang dan longsor," ujarnya.

Oleh sebab itu, kata Hasmuni, pneting keterlibatan semua pihak, termasuk masyarakat yang tinggal di desa-desa penyangga atau desa yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan maupun yang tinggal di kawasan hutan untuk melindungi dan menjaga hutan dari kerusakan

"Jika hutan rusak akan menyebabkan beberapa dampak buruk, di antaranya berkurangnya kualitas oksigen, rusaknya habitat hewan di kawasan hutan, sehingga hewan turun ke pemukiman penduduk dan mengganggu masyarakat. Selain itu, kekeringan hingga terganggunya siklus air, bahkan berdampak pada perekonomian masyarakat yang menjadikan hutan sebagai mata pencahariannya," ucapnya. Hasmuni mengatakan luas kawasan hutan di Sulteng yang masuk kategori kritis akibat rusak karena mengalami penggundulan hutan atau deforestasi mencapai 264.874 hektare (ha). Angka tersebut tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 306 Tahun 2018 tentang Penetapan Lahan Kritis Nasional.

Baca juga: Masyarakat adat Sigi minta TNLL legalkan pengelolaan hutan secara adat

Kawasan hutan yang rusak tersebut berada dalam kawasan maupun di luar Taman Nasional Lore Lindu maupun. Berdasarkan data tahun 2019-2020, angka deforestasi di wilayah Provinsi Sulteng tercatat seluas 44.523,9 hektare, berkurang dari tahun 2018. Oleh sebab itu, perlu keterlibatan semua pihak termasuk masyarakat untuk mengatasi persoalan tersebut.

"Hutan di kawasan Taman Nasion Lore Lindu ditetapkan sebagai cagar biosfer sejak tahun 1977 oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk pendidikan, keilmuan dan kebudayaan (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization/UNESCO) dan menjadi paru-paru dunia. Ini harus menjadi perhatian kita semua untuk menjaga kelestarian hutan," katanya. Agar hutan-hutan di Sulteng yang masih dalam kondisi kritis dapat segera pulih, BTNLL bekerja sama dengan berbagai pihak dan masyarakat, seperti penanaman kembali berbagai jenis tanaman hutan di kawasan hutan yang gundul, memberikan bantuan pendampingan kepada masyarakat yang tinggal di desa-desa penyangga atau di desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore Lindu agar dapat mengurangi ketergantungan terhadap hutan sebagai mata pencaharian utama.

Baca juga: Ribuan Hektare Hutan Bakau di Sulteng Musnah per Tahun

Baca juga: Laju Deforestri Hutan di Sulteng Sangat Tinggi


"Agar mereka tidak menggantungkan hidup sepenuhnya dengan hutan, kita bantu dengan program pendampingan berupa pelatihan dan bantuan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM)," ucapnya.

Ia menambahkan pihaknya juga menjadikan masyarakat di desa penyangga dan masyarakat yang tinggal di kawasan Taman Nasional Lore Lindu sebagai subjek dalam menjaga hutan dari upaya-upaya perusakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.