Singapura (ANTARA) - Harga minyak melonjak lebih dari tiga dolar AS di perdagangan Asia pada Senin sore, dengan Brent di atas 111 dolar AS per barel, karena negara-negara Uni Eropa mempertimbangkan untuk bergabung dengan Amerika Serikat dalam embargo minyak Rusia, sementara serangan akhir pekan terhadap fasilitas minyak Saudi menyebabkan kegelisahan.
Minyak mentah berjangka Brent terangkat 3,74 dolar AS atau 3,5 persen, menjadi diperdagangkan di 111,67 dolar AS per barel pada pukul 07.39 GMT, menambah kenaikan 1,2 persen pada Jumat (18/3/2022) lalu.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS melambung 3,98 dolar AS atau 3,8 persen, menjadi diperdagangkan di 108,68 dolar AS per barel, memperpanjang kenaikan 1,7 persen pada Jumat (18/3/2022) lalu.
Harga bergerak lebih tinggi menjelang pembicaraan minggu ini antara pemerintah Uni Eropa dan Presiden AS Joe Biden untuk serangkaian pertemuan puncak yang bertujuan untuk mengeraskan tanggapan Barat terhadap Moskow atas invasinya ke Ukraina.
Pemerintah Uni Eropa akan mempertimbangkan apakah akan memberlakukan embargo minyak terhadap Rusia.
Senin pagi, wakil perdana menteri Ukraina, Iryna Vershchuk, mengatakan tidak ada kemungkinan pasukan negara itu akan menyerah di kota pelabuhan Mariupol yang terkepung di timur.
Dengan sedikit tanda-tanda meredanya konflik, fokus kembali ke apakah pasar akan mampu menggantikan barel Rusia yang terkena sanksi.
"Serangan Houthi di terminal energi Saudi, peringatan akan kekurangan struktural dalam produksi dari OPEC, dan potensi embargo minyak Uni Eropa terhadap Rusia telah membuat harga minyak melonjak di Asia," kata analis senior OANDA Jeffrey Halley dalam sebuah catatan, dikutip dari Reuters.
"Bahkan jika perang Ukraina berakhir besok, dunia akan menghadapi defisit energi struktural, berkat sanksi Rusia."
Selama akhir pekan, serangan oleh kelompok Houthi Yaman yang bersekutu dengan Iran menyebabkan penurunan sementara dalam produksi di usaha patungan kilang Saudi Aramco di Yanbu, menambah kekhawatiran di pasar produk minyak yang gelisah, di mana Rusia adalah pemasok utama dan persediaan global berada di posisi terendah dalam beberapa tahun.
Laporan terbaru dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutu termasuk Rusia, bersama-sama disebut OPEC+, menunjukkan beberapa produsen masih kurang dari kuota pasokan yang disepakati.
OPEC+ meleset dari target produksinya lebih dari 1 juta barel per hari (bph) pada Februari, tiga sumber mengatakan kepada Reuters, di bawah pakta mereka untuk meningkatkan produksi sebesar 400.000 barel per hari setiap bulan karena mereka mengurangi pemotongan tajam yang dibuat pada 2020.
Dua negara OPEC dengan kapasitas untuk meningkatkan produksi secara instan, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, sejauh ini menolak seruan dari negara-negara konsumen utama untuk meningkatkan produksi lebih cepat guna membantu menurunkan harga minyak.
Perusahaan-perusahaan energi AS juga berjuang untuk mempertahankan jumlah rig minyak aktif, meskipun harga menguat.
Prospek pasokan yang buruk dan harga yang tinggi mendorong Badan Energi Internasional (IEA) untuk menguraikan cara pada Jumat (18/3/2022) untuk memangkas penggunaan minyak sebesar 2,7 juta barel per hari dalam waktu empat bulan, dari pemarkiran mobil hingga batas kecepatan yang lebih rendah dan transportasi umum yang lebih murah.
Itu akan membantu mengimbangi 3 juta barel per hari minyak mentah Rusia dan produk yang diperkirakan IEA akan keluar dari pasar pada April.
Baca juga: Minyak Rusia jatuh, Arab Saudi kembali jadi pemasok utama di China
Baca juga: Laba bersih raksasa minyak Saudi Aramco melonjak 124 persen pada 2021
Baca juga: Uni Eropa pertimbangkan embargo minyak Rusia, Biden akan bergabung
Minyak melonjak setelah UE rencanakan gabung AS embargo minyak Rusia
21 Maret 2022 16:31 WIB
Ilustrasi - Pompa terlihat di ladang minyak Gudong di Dongying, provinsi Shandong China timur. ANTARA/Oriental Image via Reuters Connect/pri.
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2022
Tags: