Pamekasan, Jatim (ANTARA) - Pertemuan petani garam se-Madura yang digelar di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, Kamis, menghasilkan delapan rekomendasi sebagai solusi untuk mengatasi persoalan tata niaga garam nasional.

"Kedelapan poin rekomendasi dari hasil pertemuan perwakilan petani garam se-Madura di Pamekasan tadi, merupakan solusi jangka pendek dan menengah yang perlu diperhatikan oleh pemerintah," kata Ketua Forum Petani Garam Madura, Ubaid AK di Pamekasan, Kamis malam.

Pertama, merekomendasikan agar pemerintah segera mewujudkan data based garam nasional yang tersinkronisasi dan terintegrasi, sehingga neraca garam nasional dapat terjaga akuntabilitasnya sebagai acuan tata kelola pergaraman nasional.

Baca juga: Kemenko Maritim-Investasi minta PT Garam tingkatkan produktivitas

Menurut Ubaid, selama ini, data base garam nasional, baik dari sisi hasil produksi, dan jumlah luasan lahan, cenderung berbeda.

Kedua, merekomendasikan agar pemerintah memberlakukan secara efektif UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Petambak Garam, karena sejak UU tersebut berlaku secara sah menurut hukum, dinilai oleh para petani garam mandul, terutama terkait komoditas garam, lebih mengefektifkan peraturan-peraturan setingkat Menteri dan Dirjen terkait, khususnya, di lingkup hilir.

Ketiga, garam sebagai komoditi strategis harus dimasukkan sebagai barang kebutuhan pokok dan barang penting yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2020 karena masih ada celah untuk merevisi Perpres tersebut di tingkat rapat terbatas (ratas) kabinet, sesuai dengan Pasal 2 ayat (7) Perpres dimaksud.

Baca juga: KPPU sarankan perubahan tata niaga garam

Selanjutnya pada rekomendasi keempat dari hasil pertemuan petani itu disebutkan bahwa bila butir-3 dapat diwujudkan, maka Kementerian Perdagangan dapat menentukan harga pokok pembelian (HPP) garam bahan baku.

"Tapi dalam menentukan HPP ini tentunya harus dilakukan serap informasi terlebih dahulu dengan semua elemen terkait, hingga menemukan titik kelayakan harga khususnya bagi produsen garam bahan baku lokal," katanya.

Ubaid menuturkan, HPP garam pernah diberlakukan di Indonesia, berdasarkan Peraturan Menteri (Permin), namun dalam perkembangannya dihapus, dan harga garam diserahkan kepada pasar.

Baca juga: Pemerintah perlu benahi sengkarut tata niaga impor pangan

Kelima, petani garam Madura merekomendasikan agar pengelompokan garam bahan baku yang diatur Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia harus direvisi atas dasar kelayakan dan pertimbangan logis sehingga, pengelompokan hanya diterapkan untuk garam olahan setelah melalui proses pengolahan oleh pabrikan-pabrikan pengolah garam, termasuk juga pemberlakuan persyaratan SNI.

Rekomendasi keenam, klatur kelompok industri pangan harus dikembalikan lagi pada klatur semula, yaitu kebutuhan untuk konsumsi dengan kebijakan Kementerian Perindustrian, sehingga pasokannya bisa dari garam bahan baku lokal.

"Rekomendasi kami yang ketujuh, khusus peraturan yang mengatur importasi garam oleh Kementerian Perdagangan harus direvisi secara total berdasarkan data based dan neraca garam yang sudah terintegrasi dan akuntable, termasuk kajian ulang lembaga importir yaitu Importir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar (IT) berikut persyaratannya dan sanksi hukum yang selama ini sangat lemah," kata Ubaid, menjelaskan.

Kedelapan, perlu dibentuk lembaga penyanggah stok yang tata kelolanya mengacu kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 agar ketersediaan stok nasional garam bahan baku lebih terjamin dan terjaganya stabilitas harga, baik di tingkat garam bahan baku dan garam olahan.

"UU Nomor 7 Tahun 2016 ini membahas tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam," kata Ketua Forum Petani Garam Madura Ubaid AK.

Terkait rekomendasi para petani garam ini, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur Dyah Wahyu Ermawati menyatakan, akan menyampaikan secara langsung kepada Gubernur Jawa Timur dan mengkoordinasikannya dengan institusi terkait.

"Setidaknya, rekomendasi ini akan menjadi dasar bagi Pemprov Jatim untuk berkomunikasi dengan pemerintah pusat terkait kebijakan tata niaga garam ini. Sebab, Pemprov tidak memiliki kewenangan dan hanya sebatas kepanjangan tangan dari pemerintah pusat," katanya.