Jakarta (ANTARA) - Bertepatan dengan Hari Keadilan Sosial Sedunia pada 20 Februari, perpustakaan di Jalan Tebet Barat Dalam Raya itu resmi dibuka untuk umum setelah sekitar satu tahun berproses dan melalui serangkaian uji coba terbatas pada bulan lalu.

"Adil itu, kalau kata Pramoedya, sejak dalam pikiran," kata Wien Muldian saat ditemui ANTARA.

"Kami mengajak orang-orang agar adillah mengelola pengetahuan, berbagilah pengetahuan dengan banyak orang. Makanya kami bangun tempat ini bukan tempat hanya untuk merawat buku, tapi bagaimana kita merawat pengetahuan bersama-sama dan saling berbagi pengetahuan, itu yang kami niatkan di sini," imbuhnya.

Seperti nama jalannya, perpustakaan itu dinamakan "Baca di Tebet" (BDT), didirikan Wien Muldian bersama Kanti W. Janis. Wien bercerita perkenalan dengan penulis dan pengacara itu beberapa tahun silam membawanya pada diskusi untuk membuka perpustakaan publik.

"Waktu itu bertemu dengan Kanti, diskusi segala macam, ternyata ada satu rumah keluarga yang selama ini tidak dimanfaatkan, paling sebagian aja disewa untuk restoran. Lalu kita niatkan saja, mungkin sudah dari dua tahun yang lalu," ujar Wien yang juga menjadi Wakil Ketua Satgas Gerakan Literasi Sekolah (GLS) Kemendikbudristek.

Baca juga: Perpusnas: Perpustakaan Penajam bisa jadi pintu gerbang IKN Nusantara

Baca juga: "Perpustakaan" besar itu adalah Ismail Marzuki
Koleksi buku yang tertata di dalam rak ruang pikir perpustakaan "Baca di Tebet" (BDT). (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)


Membuka perpustakaan bukan sesuatu yang baru bagi Wien. Semasa kuliahnya, ia pernah membuka perpustakaan bersama teman-temannya di daerah Margonda, Depok, dekat Universitas Indonesia. Juga pernah di Duren Tiga, Cempaka Putih, hingga terakhir di Museum Mandiri di Kota Tua.

Bahkan sejak kelas empat sekolah dasar, Wien sudah membuat perpustakaan sendiri untuk dipinjamkan ke teman-teman sekelasnya di sekolah. Kecintaannya terhadap buku telah dipupuk sejak kecil, ditambah lingkungan keluarga Wien juga mendukung.

"Secara umum, setiap orang yang dekat dengan buku pasti ingin punya tempat berkumpulnya. Saya orang yang dekat dengan buku, Kanti dekat dengan buku, dan teman-teman semua ikut mendukung. Kami diskusi dengan keluarganya, lalu kami bisa menggunakan tempat ini," ujarnya.

Baca juga: Perpusnas mutakhirkan data profil perpustakaan Indonesia

Baca juga: Pojok baca Indonesia hadir di Perpustakaan Nasional Kazakhstan


Sekitar 20.000 buku tertata di rak-rak tinggi

Bangunan bertingkat itu terbagi menjadi dua area utama; di lantai bawah tersedia kafe "Makan di Tebet" dan di lantai atas dikhususkan untuk perpustakaan.

Meski terbagi menjadi dua area, Wien menekankan bahwa perpustakaan tetap menjadi jantungnya. Sebagai pelengkap, ia bersama tim juga tengah berencana untuk membuka penginapan kecil di lokasi yang sama dengan nama "Tidur di Tebet" dalam waktu mendatang.

"Tempat ini membuat orang kalau lapar, ya, makan. Baca lagi. Kalau ngantuk, tidur. Baca lagi. Kan itu hal yang umum, ya, makan dan tidur," tuturnya.
Suasana di ruang temu Roy B.B. Janis perpustakaan "Baca di Tebet" (BDT). (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)


Perpustakaan di lantai atas terbagi menjadi beberapa ruangan. Jika menaiki anak tangga terakhir, pengunjung langsung disapa berhadapan dengan ruang utama yang disebut ruang temu Roy B.B. Janis.

Selain diperuntukkan sebagai tempat baca, pengunjung di ruangan ini diperbolehkan makan, minum, berdiskusi, bahkan bermain musik dan bernyanyi.

Bagi pengunjung yang membutuhkan ketenangan, lantai atas juga menyediakan dua ruangan yang terpisah dengan ruang temu, yaitu ruang baca dan ruang pikir. Di dua ruangan ini, pengunjung tidak diperkenankan membawa makanan dan minuman, kecuali air mineral.

Ruang baca menyediakan meja dan kursi yang berhadapan langsung dengan jendela, cocok bagi pengunjung yang membutuhkan working space.
Suasana ruang baca perpustakaan "Baca di Tebet" (BDT). (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)


Di dekat ruang baca, terdapat ruang karya yang kedap suara. Ruangan ini hanya bisa digunakan melalui reservasi, cocok untuk dijadikan tempat memproduksi podcast oleh komunitas-komunitas. Ruang-ruang di BDT juga terbuka untuk sewa jika komunitas tertentu yang ingin menggelar suatu acara.

Rak-rak buku di perpustakaan ini hampir seluruhnya tinggi-tinggi, bahkan disediakan pula tangga di dekat rak sehingga memudahkan pengunjung yang ingin mengambil buku di barisan paling atas.

Yang unik, dinding ruang pikir dikelilingi oleh rak tinggi yang penuh terisi buku, membuat pengunjung betah berkat nuansa hangat yang dihadirkan.

Jika ditotal, Wien mengatakan seluruh buku yang tersedia di perpustakaan BDT berjumlah sekitar 20.000. Sebagian besar, buku-buku itu merupakan koleksi pribadinya. Sebagian lagi berasal dari koleksi pribadi Kanti dan sebagian lagi sumbangan dari kawan-kawan.

"Mungkin kalau buku, kami akan fix tidak akan lebih dan kurang dari 20.000. Jadi nanti akan ada buku yang keluar dan buku yang masuk, supaya dapat koleksi yang update," ujar Wien.
Koleksi buku yang tertata di dalam rak ruang pikir perpustakaan "Baca di Tebet" (BDT). (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)


Ia bercerita saat ini koleksi buku miliknya masih ada yang tersimpan di perpustakaan Museum Mandiri. Perpustakaan itu, kata Wien, sudah lama tidak aktif karena mengikuti kebijakan dari museum. Sebagian koleksi dari perpustakaan di museum yang tidak tertampung ke BDT akan dibagikan ke jejaring perpustakaan lainnya.

Perpustakaan BDT menerapkan biaya keanggotaan mulai dari harian, bulanan, hingga tahunan. Menurut Wien, kesepakatan untuk penerapan biaya tersebut bukan bertujuan untuk komersil melainkan agar seluruh pihak turut berkontribusi untuk keberlanjutan dan merawat tempat ini–tidak menggantungkan diri pada donasi.

"Saat ini Alhamdulillah banyak teman-teman yang antusias menjadi anggota. Mereka paham ini bukan suatu yang niatnya komersil, tapi niatnya bagaimana tempat ini tetap bisa berjalan," katanya.

Selain menghadirkan kenyamanan ruangan, Wien mengatakan pihaknya tengah dalam proses memasang CCTV. Saat ini, BDT juga telah menyediakan loker dan tas transparan seperti di perpustakaan besar pada umumnya untuk sistem keamanan.

"Ke depan kami ingin ada Tattle-Tape ... Mungkin kami akan sampai ke titik itu karena buat kami, ini perpustakaan yang serius, bukan sekadar main-main," tuturnya.
Suasana kafe "Makan di Tebet". (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)


Baca juga: Perpustakaan digital yang mudah diakses dapat menjaga minat baca

Baca juga: Siberkreasi: Perpustakaan mampu cegah hoaks dan plagiarisme


Tak sekadar tempat baca

Bagi Wien pribadi, membaca bukan sekadar hobi melainkan sudah semestinya menjadi bagian dari keseharian dan kompetensi hidup manusia. Semangat itulah yang ingin ia bawa ke perpustakaan BDT.

"Kami coba konsisten membangun ini sebagai sebuah tempat orang membaca, membaca yang tidak hanya pada bentuk teks cetak tetapi membaca apapun yang memang bisa menambah pengetahuan kita," katanya.

Melalui kehadiran ruang-ruang di BDT, Wien memiliki visi agar tempat ini dapat dijadikan sebagai sarana berinteraksi, berdiskusi, berbagi dan bertukar pikiran, hingga menghasilkan karya.

"Itu kami kembangkan dengan membangun gerakan tidak hanya lagi literasi tapi membangun daya baca. Kita berdaya karena membaca, jadi itu yang jadi semangat tempat ini," ujar Wien.
Suasana ruang karya perpustakaan "Baca di Tebet" (BDT). (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)


Melalui berbagai kegiatan dan pertemuan yang diadakan komunitas di ruang-ruang BDT, Wien juga berharap orang-orang yang datang setidaknya mendapat kecakapan atau keterampilan hidup yang bisa dibawa pulang ke rumah, sesederhana apapun itu.

"Kami berharap semua orang di sini akhirnya terbangun. Ya, kalau dari konsepnya Ki Hadjar Dewantara, tujuan dari pengetahuan dan keterampilan adalah membuat orang punya karakter yang baik. Lingkungan ini membentuk untuk akhirnya orang punya pribadi yang baik. Saya harap itu bisa menjadi output dari pertemuan di sini," pungkasnya.
​​​​​​​
Suasana di ruang temu Roy B.B. Januis perpustakaan "Baca di Tebet" (BDT). (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)


Baca juga: Kominfo luncurkan perpustakaan digital "Ruang Buku" untuk masyarakat

Baca juga: Perpustakaan tidak hanya koleksi buku, tapi harus transfer pengetahuan

Baca juga: Pertama di Indonesia, Kini Ada Perpustakaan Pancasila di Lapas