Artikel
Marina Ovsyannikova menampar kredibilitas Vladimir Putin
Oleh Jafar M Sidik
16 Maret 2022 23:06 WIB
Tangkapan layar jurnalis Rusia, Marina Ovsyannikova (berdiri), mengangkat spanduk anti perang di belakang seorang presenter Channel One Rusia yang tengah on-air pada Senin 14 Maret 2022. (REUTERS)
Jakarta (ANTARA) - Marina Ovsyannikova seketika menyita perhatian Eropa dan Rusia ketika warga negara Rusia yang bekerja di media pemerintah Rusia ini melancarkan protes anti perang yang tersiarkan langsung oleh televisi yang sedang disaksikan jutaan pemirsa Rusia, walau tak sengaja.
Senin malam pekan ini, jurnalis televisi Channel One atau Pervyy Kanal dalam bahasa Rusia itu, melancarkan protes menentang perang sambil membawa spanduk anti-perang dari kertas karton, tepat di belakang presenter yang sedang membacakan berita.
Channel One yang juga dikenal Obshchestvennoye Rossiyskoye Televideniye adalah televisi pemerintah Rusia yang mengudara sejak 1991.
Produser Channel One itu membuat geger ketika nyelonong masuk ruang studio saat presenter tengah membacakan berita, dan lalu mengacung-acungkan spanduk berisi tulisan dalam bahasa Inggris dan bahasa Rusia, menentang invasi negaranya di Ukraina.
Spanduk berupa sehelai karton itu ditulisi kalimat "No War" atau jangan ada perang. Selebihnya ditulisi kalimat berbahasa Rusia yang kemudian diketahui berarti, "Hentikan perang. Katakan tidak kepada perang. Jangan percayai propaganda, mereka membohongi kalian semua dari sini."
"Mereka" yang dimaksud Ovsyannikova adalah pemerintah Rusia pimpinan Presiden Vladimir Putin, sedangkan yang dimaksud "kalian" adalah pemirsa televisi yang adalah rakyat Rusia.
Laman Asia-Pacific Broadcasting Union (ABU) menyebutkan Channel One Rusia memiliki 250 juta pemirsa di seluruh dunia dan siarannya mencakup 99,8 persen wilayah Federasi Rusia. Saluran televisi ini amat populer di Rusia.
Segera setelah protes itu, Ovsyannikova menghilang, sampai pengacara dan kolega kebingungan mencarinya.
Semua orang mengkhawatirkan keselamatannya karena dia terlalu berani ketika ada undang-undang yang bisa membuatnya dipenjara 15 tahun akibat menentang aksi Rusia di Ukraina.
Sehari kemudian Ovsyannikova muncul dari sebuah pengadilan. Rupanya dia telah menjalani peradilan.
Bertentangan dengan kekhawatiran banyak orang, wanita dua anak ini tak terlihat telah mendapatkan perlakuan buruk. Sebaliknya dia hanya denda 30.000 rubel (Rp3,9 juta).
Denda itu tergolong ringan untuk protes yang mengejutkan jutaan pemirsa televisi di Rusia dan mendorong Presiden Prancis Emmanuel Macron menawarkan suaka diplomatik dan berjanji mengangkat kasusnya saat bertemu dengan Putin suatu saat nanti.
Baca juga: Menlu Inggris: Saatnya Barat jadi lebih keras terhadap Putin
Selanjutnya : malu sebarkan propaganda
Malu sebarkan propaganda
Ironsinya Ovsyannikova didenda bukan karena melancarkan protes di studio Channel One, melainkan akibat pernyataannya dalam video viral setelah protes itu.
Dalam video itu dia mengaku "malu" telah menyebarkan "propaganda Kremlin".
Sebelum melancarkan protes itu, dia sudah merekam pernyataan via video yang kemudian diunggah ke Facebook oleh kelompok pembela hak asasi manusia, OVD-Info, tak lama setelah Ovsyannikova melancarkan protes.
Dalam video itu Ovsyannikova mengeluarkan unek-uneknya bahwa "Apa yang sedang terjadi Ukraina itu kejahatan, dan Rusia adalah negara agresor. Tanggung jawab atas agresi itu terletak pada nurani satu orang saja, dan orang itu adalah Vladimir Putin."
Ovsyannikova yang membuat rekan-rekannya terkaget-kaget karena tak menyangka bisa seberani itu, apalagi saat bercengkerama dengan koleganya dia hanya mau membincangkan keadaan anak-anaknya atau rumahnya.
Tetapi sepertinya dia memendam lama perasaannya dan sudah muak oleh apa yang dilakukan rezim kepada stasiun televisi yang bergengsi dan sangat populer di Rusia itu.
Pada masa-masa sebelumnya, Channel One sering dianggap sebagai tempat kerja ideal untuk jurnalis Rusia.
Tapi kini keadaan itu berubah menjadi tak lebih dari tempat melebih-lebihkan informasi yang hanya dirancang demi mendukung rezim Putin dan mengipasi kebencian rakyat terhadap apa yang disebut musuh dari luar, kata Cynthia Hooper, pakar Rusia dari College of the Holy Cross, kepada The Atlantic awal tahun ini.
Dua bulan kemudian, penilaian Hooper ini ternyata sejalan dengan perasaan yang ditumpahkan Ovsyannikova.
"Sayangnya, selama bertahun-tahun saya bekerja di Channel One, saya telah menyebarkan propaganda Kremlin. Dan saya sangat malu pada semua ini," kata Ovsyannikova via video viral yang sudah luas dilihat dalam YouTube tersebut.
"Saya malu telah membiarkan kebohongan disebarluaskan di layar televisi ini. Saya malu telah membiarkan rakyat Rusia menjadi mayat hidup," sambung jurnalis yang memiliki ayah Ukraina dan ibu Rusia ini.
Menurut dia, selama ini, dia dan rekan-rekannya hanya bisa diam menyaksikan rangkaian peristiwa yang dianggapnya tidak sesuai dengan fakta lapangan.
Baca juga: Media sosial terlalu kuat untuk propaganda Rusia
Baca juga: Kremlin: Barat bertingkah seperti bandit, Rusia akan merespons
Selanjutnya: usik sensor ketat
Mengusik sensor ketat
"Kami diam pada 2014 ketika semua ini berawal. Kami tidak turun protes ketika Kremlin meracun (tokoh oposisi Alexei) Navalny. Kami cuma diam mematung melihat rezim yang tak manusiawi ini," kata Ovsyannikova.
Di ujung kalimatnya, perempuan jurnalis ini mengajak rakyat Rusia bangkit bersuara, "Keluarlah untuk protes, jangan takut, mereka tak bisa memenjarakan kalian sekaligus."
Mengingat kerasnya kalimat dia yang semestinya membuat penguasa Rusia dan Putin kebakaran jenggot, menjadi mengherankan jika Ovsyannikova akhirnya dibebaskan dengan cuma membayar denda sebesar Rp3,9 juta.
Tatiana Stanovaya, analis politik di Rusia, menilai hukuman yang begitu ringan itu menunjukkan ada perbedaan pandangan di kalangan penguasa Kremlin tentang bagaimana menangani kasus Ovsyannikova atau mungkin Kremlin khawatir perlakuan terlalu keras kepada ibu dua anak itu bisa menjadi bumerang kepada mereka.
Namun beberapa jurnalis terkemuka yang bekerja untuk media pemerintah sudah menyatakan mundur sejak Ovsyannikova melancarkan protes itu.
Dalam tulisannya pada laman The Guardian, Rabu 16 Maret, Denis Kataev (wartawan Rusia yang juga host TV independen Rusia, TV Rain) menyebutkan sejumlah wartawan terkenal pada televisi-televisi milik pemerintah Rusia, termasuk Zhanna Agalakova and Vadim Glusker, berencana mundur dengan alasan lingkungan kerja seperti disebut Marina Ovsyannikova itu.
“Saya tertarik kepada seberapa besar tingkat ketidakpuasan di dalam sistem ini,” kata Tatiana Stanovaya seperti dikutip The Guardian. "Apakan sekarang gelombang ini tidak menciptakan gaung apa-apa atau kita bakal menyaksikan protes serupa menjadi kian sering terjadi."
Tapi mungkin juga aksi Marina Ovsyannikova bergaung di negerinya, sekalipun media massa Rusia begitu dikekang.
Gaung itu terutama mencapai kaum muda Rusia yang tak lagi mempercayai Putin sampai pada 2012 melancarkan protes besar di kota-kota terbesar Rusia menentang kecurangan dalam pemilu tahun itu.
Hanya saja, akses kepada media massa independen dan juga media sosial, kini semakin dibatasi. Ini membuat media massa pemerintah, khususnya televisi, menjadi sumber utama informasi bagi kebanyakan orang.
Padahal dari pengakuan Marina Ovsyannikova, informasi ini sudah sedemikian direkayasa, termasuk mengenai apa yang terjadi dalam agresi Rusia di Ukraina.
Untuk itu, apa yang dilakukan Marina Ovsyannikova menjadi sangat menarik, karena selain mengusik lingkungan media massa pemerintah Rusia yang sangat disensor, tetapi juga bisa menjadi tamparan keras terhadap kredibilitas Vladimir Putin.
Baca juga: Menelisik latar konflik Rusia-Ukraina
Baca juga: Siaga nuklir dan dugaan Vladimir Putin tidak stabil
Senin malam pekan ini, jurnalis televisi Channel One atau Pervyy Kanal dalam bahasa Rusia itu, melancarkan protes menentang perang sambil membawa spanduk anti-perang dari kertas karton, tepat di belakang presenter yang sedang membacakan berita.
Channel One yang juga dikenal Obshchestvennoye Rossiyskoye Televideniye adalah televisi pemerintah Rusia yang mengudara sejak 1991.
Produser Channel One itu membuat geger ketika nyelonong masuk ruang studio saat presenter tengah membacakan berita, dan lalu mengacung-acungkan spanduk berisi tulisan dalam bahasa Inggris dan bahasa Rusia, menentang invasi negaranya di Ukraina.
Spanduk berupa sehelai karton itu ditulisi kalimat "No War" atau jangan ada perang. Selebihnya ditulisi kalimat berbahasa Rusia yang kemudian diketahui berarti, "Hentikan perang. Katakan tidak kepada perang. Jangan percayai propaganda, mereka membohongi kalian semua dari sini."
"Mereka" yang dimaksud Ovsyannikova adalah pemerintah Rusia pimpinan Presiden Vladimir Putin, sedangkan yang dimaksud "kalian" adalah pemirsa televisi yang adalah rakyat Rusia.
Laman Asia-Pacific Broadcasting Union (ABU) menyebutkan Channel One Rusia memiliki 250 juta pemirsa di seluruh dunia dan siarannya mencakup 99,8 persen wilayah Federasi Rusia. Saluran televisi ini amat populer di Rusia.
Segera setelah protes itu, Ovsyannikova menghilang, sampai pengacara dan kolega kebingungan mencarinya.
Semua orang mengkhawatirkan keselamatannya karena dia terlalu berani ketika ada undang-undang yang bisa membuatnya dipenjara 15 tahun akibat menentang aksi Rusia di Ukraina.
Sehari kemudian Ovsyannikova muncul dari sebuah pengadilan. Rupanya dia telah menjalani peradilan.
Bertentangan dengan kekhawatiran banyak orang, wanita dua anak ini tak terlihat telah mendapatkan perlakuan buruk. Sebaliknya dia hanya denda 30.000 rubel (Rp3,9 juta).
Denda itu tergolong ringan untuk protes yang mengejutkan jutaan pemirsa televisi di Rusia dan mendorong Presiden Prancis Emmanuel Macron menawarkan suaka diplomatik dan berjanji mengangkat kasusnya saat bertemu dengan Putin suatu saat nanti.
Baca juga: Menlu Inggris: Saatnya Barat jadi lebih keras terhadap Putin
Selanjutnya : malu sebarkan propaganda
Malu sebarkan propaganda
Ironsinya Ovsyannikova didenda bukan karena melancarkan protes di studio Channel One, melainkan akibat pernyataannya dalam video viral setelah protes itu.
Dalam video itu dia mengaku "malu" telah menyebarkan "propaganda Kremlin".
Sebelum melancarkan protes itu, dia sudah merekam pernyataan via video yang kemudian diunggah ke Facebook oleh kelompok pembela hak asasi manusia, OVD-Info, tak lama setelah Ovsyannikova melancarkan protes.
Dalam video itu Ovsyannikova mengeluarkan unek-uneknya bahwa "Apa yang sedang terjadi Ukraina itu kejahatan, dan Rusia adalah negara agresor. Tanggung jawab atas agresi itu terletak pada nurani satu orang saja, dan orang itu adalah Vladimir Putin."
Ovsyannikova yang membuat rekan-rekannya terkaget-kaget karena tak menyangka bisa seberani itu, apalagi saat bercengkerama dengan koleganya dia hanya mau membincangkan keadaan anak-anaknya atau rumahnya.
Tetapi sepertinya dia memendam lama perasaannya dan sudah muak oleh apa yang dilakukan rezim kepada stasiun televisi yang bergengsi dan sangat populer di Rusia itu.
Pada masa-masa sebelumnya, Channel One sering dianggap sebagai tempat kerja ideal untuk jurnalis Rusia.
Tapi kini keadaan itu berubah menjadi tak lebih dari tempat melebih-lebihkan informasi yang hanya dirancang demi mendukung rezim Putin dan mengipasi kebencian rakyat terhadap apa yang disebut musuh dari luar, kata Cynthia Hooper, pakar Rusia dari College of the Holy Cross, kepada The Atlantic awal tahun ini.
Dua bulan kemudian, penilaian Hooper ini ternyata sejalan dengan perasaan yang ditumpahkan Ovsyannikova.
"Sayangnya, selama bertahun-tahun saya bekerja di Channel One, saya telah menyebarkan propaganda Kremlin. Dan saya sangat malu pada semua ini," kata Ovsyannikova via video viral yang sudah luas dilihat dalam YouTube tersebut.
"Saya malu telah membiarkan kebohongan disebarluaskan di layar televisi ini. Saya malu telah membiarkan rakyat Rusia menjadi mayat hidup," sambung jurnalis yang memiliki ayah Ukraina dan ibu Rusia ini.
Menurut dia, selama ini, dia dan rekan-rekannya hanya bisa diam menyaksikan rangkaian peristiwa yang dianggapnya tidak sesuai dengan fakta lapangan.
Baca juga: Media sosial terlalu kuat untuk propaganda Rusia
Baca juga: Kremlin: Barat bertingkah seperti bandit, Rusia akan merespons
Selanjutnya: usik sensor ketat
Mengusik sensor ketat
"Kami diam pada 2014 ketika semua ini berawal. Kami tidak turun protes ketika Kremlin meracun (tokoh oposisi Alexei) Navalny. Kami cuma diam mematung melihat rezim yang tak manusiawi ini," kata Ovsyannikova.
Di ujung kalimatnya, perempuan jurnalis ini mengajak rakyat Rusia bangkit bersuara, "Keluarlah untuk protes, jangan takut, mereka tak bisa memenjarakan kalian sekaligus."
Mengingat kerasnya kalimat dia yang semestinya membuat penguasa Rusia dan Putin kebakaran jenggot, menjadi mengherankan jika Ovsyannikova akhirnya dibebaskan dengan cuma membayar denda sebesar Rp3,9 juta.
Tatiana Stanovaya, analis politik di Rusia, menilai hukuman yang begitu ringan itu menunjukkan ada perbedaan pandangan di kalangan penguasa Kremlin tentang bagaimana menangani kasus Ovsyannikova atau mungkin Kremlin khawatir perlakuan terlalu keras kepada ibu dua anak itu bisa menjadi bumerang kepada mereka.
Namun beberapa jurnalis terkemuka yang bekerja untuk media pemerintah sudah menyatakan mundur sejak Ovsyannikova melancarkan protes itu.
Dalam tulisannya pada laman The Guardian, Rabu 16 Maret, Denis Kataev (wartawan Rusia yang juga host TV independen Rusia, TV Rain) menyebutkan sejumlah wartawan terkenal pada televisi-televisi milik pemerintah Rusia, termasuk Zhanna Agalakova and Vadim Glusker, berencana mundur dengan alasan lingkungan kerja seperti disebut Marina Ovsyannikova itu.
“Saya tertarik kepada seberapa besar tingkat ketidakpuasan di dalam sistem ini,” kata Tatiana Stanovaya seperti dikutip The Guardian. "Apakan sekarang gelombang ini tidak menciptakan gaung apa-apa atau kita bakal menyaksikan protes serupa menjadi kian sering terjadi."
Tapi mungkin juga aksi Marina Ovsyannikova bergaung di negerinya, sekalipun media massa Rusia begitu dikekang.
Gaung itu terutama mencapai kaum muda Rusia yang tak lagi mempercayai Putin sampai pada 2012 melancarkan protes besar di kota-kota terbesar Rusia menentang kecurangan dalam pemilu tahun itu.
Hanya saja, akses kepada media massa independen dan juga media sosial, kini semakin dibatasi. Ini membuat media massa pemerintah, khususnya televisi, menjadi sumber utama informasi bagi kebanyakan orang.
Padahal dari pengakuan Marina Ovsyannikova, informasi ini sudah sedemikian direkayasa, termasuk mengenai apa yang terjadi dalam agresi Rusia di Ukraina.
Untuk itu, apa yang dilakukan Marina Ovsyannikova menjadi sangat menarik, karena selain mengusik lingkungan media massa pemerintah Rusia yang sangat disensor, tetapi juga bisa menjadi tamparan keras terhadap kredibilitas Vladimir Putin.
Baca juga: Menelisik latar konflik Rusia-Ukraina
Baca juga: Siaga nuklir dan dugaan Vladimir Putin tidak stabil
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2022
Tags: