Jakarta (ANTARA News) - Sebagai pemain, oke. Sebagai pelatih,...hem tunggu dulu. Ujaran nyinyir ini menyasar kepada Meneer Wim Rijsbergen yang menyandang predikat sebagai "londo". Ya, meneer Wim dari negeri Kincir Angin bermaksud berumah di atas sepoi-sepoi rayuan Pulau Kelapa Nusantara.
Alih-alih menukangi timnas Indonesia jelang menghadapi Qatar pada 11 Oktober di Stadion Utama Gelora Bung Karno, eee...meneer satu ini malah mabur ke Belanda negeri leluhurnya. Mantan pemain tim Oranje (1974-1978) ini baru kembali ke Jakarta pada 1 Oktober.
Tersisa sepuluh hari menyiapkan Bambang Pamungkas dan kawan-kawan, cukupkah? Peluang masih ada, kata Wim. Tinggal menanti tongkat ajaib Cinderella atau mengundang budi baik Dewi Fortuna. Sementara, Wim punya pekerjaan rumah relatif njlimet, membereskan diri sendiri dengan memahami "spirit" pemain asuhannya.
Bukankah Wim telah makan asam garam sebagai pelatih sejak 1986 sampai kini? Toh, ia masih bermasalah dengan ketentraman dan ketertiban (tramtib) berkata-kata ketika merespons kekalahan anak buah? Sampai-sampai curahan hati (curhat) publik membuncah untuk mendaulat dia lekas-lekas hengkang dari Nusantara.
Jangan ada dendam di antara kita, begitu tembang andalan punggawa tim Merah Putih. Konflik menganga dan luka menoreh hati lantaran lidah tidak bertulang. Ketika konferensi pers, Wim menabuh genderang konflik dengan menyalahkan pemain atas dua kekalahan yang diderita dari Iran dan Bahrain pada kualifikasi Piala Dunia 2014.
"Saat itu semua masih sama-sama emosi. Setelah amarah reda, saya yakin semua akan baik-baik saja," kata Ketua Umum PSSI, Djohar Arifin. Dan PSSI menutup episode lidah tidak bertulang itu dengan menempuh penyelesaian jalan kekeluargaan. PSSI akan menggelar silaturahmi yang akan menyeret Wim dan menghadirkan para pemain.
Hasilnya? Tunggu tanggal mainnya. Awal yang baik berarti setengah pekerjaan terselesaikan, begitu kata pepatah. Dan PSSI telah berpeluh menyelesaikan gaduh seputar kiprah Wim. Soalnya satu saja, adakah mantan asisten pelatih kondang Leo Beenhaker ini mampu menebar benih spirit di antara bebatuan masa lalu?
Menumbuhkan dan menyuburkan spirit di antara jati diri pemain, itu soal mendasar pelatih. Dua pengalaman pernah dilalui oleh manajer timnas Amerika Serikat Jurgen Klinsmann dan manajer Liverpool Kenny Dalglish.
Pada ajang Piala Dunia 2006, penampilan Der Panzer besutan Klinsmann membungkam kritik. Timnas Jerman menangguk tiga kali kemenangan di babak pertama melawan Costa Rica, Polandia dan Ekuador. Di babak "knock out", Jerman mengalahkan Swedia 2-0, dan di kuarter-final menundukkan Argentina 4-2 lewat adu penalti.
Mengarungi semi final pada 4 Juli, pasukan Klinsmann kalah 0-2 dari Italia berkat gol yang dilesakkan oleh Fabio Grosso dan Alessandro Del Piero di babak perpanjangan waktu. Setelah pertandingan, Klinsmann justru memuji penampilan pasukan mudanya.
Kini Klinsmann menjabat sebagai pelatih kepala timnas Amerika Serikat. Sebagai pelatih yang punya hati, ia tahu betul cara mendongkrak spirit publik setempat. Ia tidak melontarkan kata-kata yang menyakiti hati publik Amrik, ia tidak mencari kambing hitam kepada para pemain dan menyebut bahwa pemain yang diasuhnya kini bukan hasil dari pilihannya sendiri.
Klinsmann justru membuka mata hatinya dengan membolehkan masuknya pemain berkewarganegaraan ganda untuk membela tim negara adikuasa itu di ajang sepak bola internasional.
Sinyal positif ini membuka kemungkinan bergabungnya pemain keturunan Jerman Fabian Johnson. Ia tahu betul siapa sebenarnya pemain, siapa sesungguhnya pelatih. Ia tidak ingin dijuluki kacang lupa kulit.
Tekad membaja untuk membangun spirit di antara pemain juga ditunjukkan oleh Dalglish. Pengusiran gelandang Charlie Adam dan gelandang Martin Skrtel dari lapangan hijau disikapinya dengan menunjukkan kerendahan hati, bukan justru mencari kambing hitam atau malahan menyalahkan si pemain.
Liverpool kalah 0-4 dari Tottenham Hotspur pada pertandingan Premier League di White Hart Lane, Minggu (18/9). Kedua pemain itu diganjar kartu merah oleh wasit Mike Jones. "Dengan hasil itu, kami bertekad meningkatkan penampilan di kemudian hari," katanya.
"Ada banyak kontroversi dan banyak komentar selama berlangsungnya pertandingan," katanya. "Segala sesuatunya ditentukan oleh apa yang kerap anda bincangkan. Soal kontroversi dan pengusiran pemain, kita lupakan saja," kata Dalglish.
Rijsbergen, Klinsmann dan Dalglish sama-sama mengamini bahwa sepakbola tampil sebagai ritual sembahan dari massa rakyat yang menghadapi kebobrokan, kepedihan dan kegetiran hidup. Meminjam artikulasi pemikir politik Antonio Gramsci, sepakbola disulap oleh elite penguasa sebagai perangkat hegemoni untuk menguasai dunia lambang dan dunia ritual massa rakyat.
Klinsmann dan Dalglish telah paham, sayangnya Rijsbergen belum sepenuhnya paham, bahwa sepakbola memberikan tontonan yang menghibur untuk melupakan kepengapan dan kebrengsekan sosial. Sepakbola sebagai atraksi menyembuhkan frustrasi. Ini yang justru belum dimiliki meneer Wim.
Bahasa kerennya, sang londo masih asyik dengan "coercive power", kekuasaan yang mengandalkan kekerasan dalam kata-kata. Ini jelas-jelas sebentuk hegemoni atas situasi ketidakberdayaan dari elit PSSI? Bisa ya, bisa juga tidak.
Tunggu tanggal mainnya. Dan Indonesia akan menjamu Qatar pada 11 Oktober 2011. Sebulan kemudian, Indonesia akan bertandang ke Qatar pada 11 November 2011. Indonesia akan kembali bermain di kandang dengan menjamu Iran pada 15 November 2011. Di pertandingan terakhir, Indonesia akan bertamu ke Bahrain pada 25 Februari 2012.
(A024)
Rijsbergen, Klinsmann, Dalglish
20 September 2011 16:01 WIB
Pelatih timnas Indonesia Wim Rijsbergen pulang kampung ke Belanda dan baru kembali ke Jakarta pada 1 Oktober 2011 (FOTO ANTARA/Akbar Nugroho GUmay)
Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011
Tags: