Padang (ANTARA News) - Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah pada dasarnya merupakan konsep buatan manusia.
Sampah dapat berada pada setiap fase materi padat, cair, atau gas. Ketika dilepaskan dalam dua fase yang disebutkan terakhir, terutama gas, sampah dapat dikatakan sebagai emisi.
Emisi biasa dikaitkan dengan polusi. Dalam kehidupan manusia, sampah dalam jumlah besar datang dari aktivitas industri (dikenal juga dengan sebutan limbah), misalnya pertambangan, manufaktur, dan konsumsi.
Hampir semua produk industri akan menjadi sampah pada suatu waktu, dengan jumlah sampah yang kira-kira mirip dengan jumlah konsumsi. Sampah juga merupakan suatu bahan terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun alam yang belum memiliki nilai ekonomis.
Menurut Guru Besar Ilmu Lingkungan Hidup Universitas Negeri Padang Prof. Dr. Eri Barlian, MSi, sampah pada tahap awal belum dapat menghasilkan nilai apa pun sebelum mengalami proses tertentu atau perubahan hingga berkontribusi negatif dan atau pun positif.
"Proses perubahan tersebut akan berlangsung secara alami dan oleh tindakan manusia, bergantung terhadap nilai apa yang ingin dihasilkan dari sampah tersebut, positif atau negatif," katanya di Padang, Senin.
Melihat kecenderungan aktivitas manusia dewasa ini, menurut dia, intensitas sampah yang dihasilkan akan terkelompok menjadi dua, yakni sampah hasil aktivitas industri dan sampah hasil aktivitas rumah tangga.
Ia mengatakan, sampah industri dihasilkan dari kegiatan industri untuk pemenuhan kebutuhan manusia, baik kebutuhan makan, minum dan sejenisnya atau pun penunjang aktivitas keseharian.
Sementara sampah rumah tangga merupakan sisa akhir dari proses pemanfaatan materi tertentu baik berupa sampah organik maupun anorganik.
Ia menyebutkan, hingga saat ini upaya pengelolaan sampah rumah tangga masih belum dilakukan secara optimal.
Kecenderungan masyarakat masih menjadikan sampah sebagai limbah yang harus disingkirkan sejauh mungkin dari keberadaannya di lingkungan. Maka, tempat pembuangan akhir (TPA) menjadi satu-satunya muara dari aktivitas manusia itu.
Di Kota Padang diperkirakan produksi sampah saat ini mencapai rata-rata 500 ton per hari, sementara hanya 60 hingga 70 persen saja yang bisa dibuang ke TPA.
Sementara itu, TPA sampah di Kelurahan Air Dingin, Kecamatan Koto Tangah hanya mampu menampung sampah untuk 10 hingga 15 tahun ke depan.
Untuk menanggulangi kondisi tersebut, lanjut Eri, diperlukan suatu tindakan guna mengurangi volume sampah yang sering kali berdampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan.
"Kesadaran tersebut dapat ditumbuhkembangkan dengan menyosialisasikan pemilahan sampah organik dan anorganik dimulai dari lingkungan rumah tangga," jelas dia.
Sampah organik, katanya, sebaiknya diolah sendiri oleh masyarakat ke bentuk lain seperti kompos yang dapat digunakan sebagai pupuk. Jika hal itu memberatkan, maka sebaiknya ada suatu unit pengelolaan khusus yang menampung sampah organik untuk diubah menjadi pupuk.
Sedangkan sampah anorganik, disalurkan ke tempat penampungan khusus untuk didaur ulang.
"Untuk pengelolaan sampah anorganik tersebut saya sangat mendukung upaya pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup yang menggencarkan pendirian bank sampah di banyak daerah di Indonesia," katanya.
Untuk itu, diperlukan sosialisasi lebih optimal kepada masyarakat khususnya di Kota Padang, sehingga bank sampah dapat berimplikasi ekonomi dan turut mendukung pelestarian lingkungan dari pencemaran akibat sampah, katanya menambahkan.
Optimalisasi Bank Sampah
Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kota Padang terus mengupayakan agar bank sampah dapat berdiri dan dikelola di banyak tempat di daerah itu.
Kepala Bapedalda Kota Padang Indang Dewata mengatakan, tidak mudah untuk menurunkan volume sampah hasil rumah tangga yang saat ini sudah mencapai rata-rata 500 ton per hari.
"Produksi sampah dari rumah tangga dapat dikelola agar secara langsung berimplikasi pada penurunan volume sampah di Padang," katanya.
Upaya pengelolaan tersebut, katanya, dirancang dalam suatu rekayasa sosial berdampak ekonomi kerakyatan yang diaplikasikan dalam bentuk bank sampah.
Ia menyebutkan, Kementerian Lingkungan Hidup merancang program bank sampah dengan tujuan dapat menumbuhkan ekonomi kerakyatan, khususnya di tingkat rumah tangga.
Bank sampah di Kota Padang telah dirintis sejak 28 Februari 2011 dan langsung diresmikan oleh Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta.
"Bank sampah pada prinsipnya adalah satu rekayasa sosial untuk mengajak masyarakat memilah sampah, sehingga secara langsung dapat mengurangi tumpukan sampah di tempat pembuangan akhir," kata Indang.
Ia menjelaskan, bank sampah itu merupakan suatu upaya pemberdayaan masyarakat di lingkungan terkecil (RT) hingga ke tingkat kelurahan dalam memanfaatkan sampah menjadi produk yang bernilai ekonomis.
Struktur manajemennya juga berasal dari masyarakat sekitar. Bank sampah akan mengganti sampah anorganik milik masyarakat yang telah dipilah dengan nilai berkisar antara Rp6 ribu sampai Rp8 ribu per kilogram untuk sampah kualitas bagus, Rp4 ribu sampai Rp6 ribu per kilogram untuk sampah kualitas sedang, dan sampah kualitas rendah akan dihargai di bawah Rp4 ribu per kilogram.
"Sampah bukan limbah yang tidak memiliki nilai sama sekali. Sampah justru menghasilkan nilai ekonomis bagi masyarakat apabila diolah menjadi produk-produk bermanfaat," katanya.
Bapedalda Kota Padang juga memberikan pelatihan pengolahan limbah anorganik kepada masyarakat agar menjadi produk bernilai ekonomis dengan prinsip 3R (reuse, reduce, recycle).
"Sedangkan untuk sampah organik akan diolah warga masyarakat menjadi pupuk kompos," katanya.
Bapedalda juga tengah mengupayakan kerja sama dengan perusahaan retail yang ada di Padang untuk memanfaatkan hasil produk olahan sampah anorganik itu, seperti memanfaatkan produk olahan bank sampah sebagai "souvenir" atau untuk kantong barang belanjaan.
Selain itu, Bapedalda juga akan bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kota Padang untuk terus mengembangkan bank sampah hingga ke seluruh sekolah di daerah itu.
"Untuk sosialisasi ke seluruh sekolah mulai dari SD hingga SMA sederajat rencananya dilakukan secara bertahap. Sosialisasi akan disampaikan ke dalam tiga kelompok sekolah SD, SMP dan SMA," katanya.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang Bambang Sutrisno mengatakan, bank sampah sudah beroperasi di enam sekolah Adiwiyata tingkat nasional dan 11 sekolah Adiwiyata tingkat provinsi.
"Enam sekolah Adiwiyata tingkat nasional tersebut telah melakukan pengelolaan sampah secara profesional melalui bank sampah," ujarnya.
Ia mengatakan, pengembangan bank sampah di seluruh sekolah di Padang merupakan langkah pemberdayaan siswa dalam mengelola sampah hingga menghasilkan nilai ekonomi.
Secara umum, kata dia, banyak sekolah di Padang telah mengupayakan agar para siswanya secara bertahap belajar mengelola sampah.
"Bank sampah menjadi salah satu solusi, sehingga setiap sekolah dapat memberdayakan siswanya untuk memilah sampah organik dengan anorganik yang tidak hanya memberi nilai ekonomi, namun yang lebih penting mendidik siswa untuk peduli terhadap kelestarian lingkungan," kata Bambang.
(KR-AH)
Bank sampah rekayasa sosial untuk pelestarian lingkungan
19 September 2011 23:40 WIB
Petugas kebersihan membersihkan sampah (ilustrasi/ANTARA/Fanny Octavianus)
Pewarta: Rudrik Syaputra dan Abna Hid
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011
Tags: