Kontrak pengadaan satelit cadangan ditandatangani
15 Maret 2022 21:38 WIB
(Kiri-kanan) Perwakilan Kemitraan Nusantara Jaya Adi Rahman Adiwoso, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate dan Direktur Utama BAKTI Anang Latif saat jumpa pers usai menandatangani kontrak pengadaan barang/jasa penyediaan hot backup satellite dan jasa pengoperasian di Jakarta, Selasa (15/3). ANTARA/Natisha Andarningtyas.
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) pada Selasa menandatangani kontrak pengadaan satelit cadangan (hot backup satellite/HBS) dengan konsorsium Kemitraan Nusantara Jaya.
Satelit cadangan ini menggunakan teknologi very high-throughput dan menjadi cadangan bagi satelit SATRIA-1, yang sedang dibangun dan dijadwalkan selesai pertengahan 2023. Satelit ini, selain untuk cadangan juga dimaksudkan untuk menyediakan kapasitas tambahan bagi infrastruktur jaringan internet.
"Kita harus hubungkan semua titik supaya internet bisa merata," kata Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate dalam jumpa pers penandatanganan kontrak pengadaan barang/jasa penyediaan satelit cadangan dan jasa pengoperasian di Jakarta.
Baca juga: Indonesia amankan slot orbit 146 BT untuk satelit SATRIA-1
Satelit berkapasitas 150 GBps ini dibangun oleh Boeing, ditargetkan selesai pada Maret 2023.
Dari kapasitas tersebut, sebanyak 80 GBps akan digunakan oleh BAKTI untuk Indonesia. Kapasitas lainnya akan digunakan oleh PT Pasifik Satelit Nusantara untuk menggantikan kebutuhan Satelit Nusantara Dua, yang gagal mengorbit pada 2020 lalu.
Satelit ini dipandang perlu agar jika sampai terjadi keadaan di luar kendali, force majeur, Indonesia tetap bisa memiliki satelit untuk ditetapkan di orbit. Dampak satelit gagal mengorbit sangat besar, dan dampaknya, Johnny mencontohkan layanan penyiaran bisa terganggu.
Jika satelit SATRIA-1 dan satelit cadangan berhasil mengorbit, Indonesia memiliki keuntungan berupa kapasitas tambahan. Dengan demikian, titik-titik publik yang dilayani satelit juga akan mendapat kapasitas tambahan.
Baca juga: Indonesia butuh satelit untuk pemerataan internet
Direktur Utama BAKTI Anang Latif menyatakan pembiayaan ini menggunakan dana dari universal service obligation (USO), berbeda dengan satelit SATRIA-1 yang menggunakan skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (KPBU).
Satelit cadangan ini untuk menggantikan base transceiver station (BTS) yang dibangun dengan dana USO, yang sewa kontraknya akan berakhir pada 2024.
Kapasitas satelit cadangan ini juga akan digunakan oleh negara-negara ASEAN, dalam rangka kerja infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi.
Indonesia memerlukan satelit untuk menyediakan internet di wilayah-wilayah yang tidak terjangkau jaringan serat optik terestrial. Saat ini Indonesia menggunakan sembilan satelit telekomunikasi, terdiri dari lima satelit nasional dan empat satelit asing.
Baca juga: Indonesia-Inggris bahas pembangunan dua satelit HTS
Baca juga: BAKTI Kominfo umumkan pelaksana proyek "Hot Backup Satelite"
Baca juga: Menkominfo : 11 satelit bumi dukung operasional SATRIA-1
Satelit cadangan ini menggunakan teknologi very high-throughput dan menjadi cadangan bagi satelit SATRIA-1, yang sedang dibangun dan dijadwalkan selesai pertengahan 2023. Satelit ini, selain untuk cadangan juga dimaksudkan untuk menyediakan kapasitas tambahan bagi infrastruktur jaringan internet.
"Kita harus hubungkan semua titik supaya internet bisa merata," kata Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate dalam jumpa pers penandatanganan kontrak pengadaan barang/jasa penyediaan satelit cadangan dan jasa pengoperasian di Jakarta.
Baca juga: Indonesia amankan slot orbit 146 BT untuk satelit SATRIA-1
Satelit berkapasitas 150 GBps ini dibangun oleh Boeing, ditargetkan selesai pada Maret 2023.
Dari kapasitas tersebut, sebanyak 80 GBps akan digunakan oleh BAKTI untuk Indonesia. Kapasitas lainnya akan digunakan oleh PT Pasifik Satelit Nusantara untuk menggantikan kebutuhan Satelit Nusantara Dua, yang gagal mengorbit pada 2020 lalu.
Satelit ini dipandang perlu agar jika sampai terjadi keadaan di luar kendali, force majeur, Indonesia tetap bisa memiliki satelit untuk ditetapkan di orbit. Dampak satelit gagal mengorbit sangat besar, dan dampaknya, Johnny mencontohkan layanan penyiaran bisa terganggu.
Jika satelit SATRIA-1 dan satelit cadangan berhasil mengorbit, Indonesia memiliki keuntungan berupa kapasitas tambahan. Dengan demikian, titik-titik publik yang dilayani satelit juga akan mendapat kapasitas tambahan.
Baca juga: Indonesia butuh satelit untuk pemerataan internet
Direktur Utama BAKTI Anang Latif menyatakan pembiayaan ini menggunakan dana dari universal service obligation (USO), berbeda dengan satelit SATRIA-1 yang menggunakan skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (KPBU).
Satelit cadangan ini untuk menggantikan base transceiver station (BTS) yang dibangun dengan dana USO, yang sewa kontraknya akan berakhir pada 2024.
Kapasitas satelit cadangan ini juga akan digunakan oleh negara-negara ASEAN, dalam rangka kerja infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi.
Indonesia memerlukan satelit untuk menyediakan internet di wilayah-wilayah yang tidak terjangkau jaringan serat optik terestrial. Saat ini Indonesia menggunakan sembilan satelit telekomunikasi, terdiri dari lima satelit nasional dan empat satelit asing.
Baca juga: Indonesia-Inggris bahas pembangunan dua satelit HTS
Baca juga: BAKTI Kominfo umumkan pelaksana proyek "Hot Backup Satelite"
Baca juga: Menkominfo : 11 satelit bumi dukung operasional SATRIA-1
Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2022
Tags: