Jakarta (ANTARA) - Untuk mendapatkan izin edar penggunaan suatu produk inovasi kesehatan seperti obat-obatan, vaksin dan alat kesehatan, maka harus berhasil melalui uji klinis.

Uji klinis adalah proses pengujian keamanan dan efikasi atau khasiat obat atau alat kesehatan pada manusia, yang mana sebelumnya diawali dengan pengujian pada hewan atau uji praklinis.

Hasil uji klinis akan membuktikan secara ilmiah manfaat dari obat dan alat kesehatan yang menjadi menjadi dasar pembuktian untuk klaim khasiatnya kepada publik.

Jika uji klinis yang dilakukan sesuai dengan standar dan regulasi yang berlaku membuahkan hasil yang memuaskan, maka produk inovasi kesehatan tersebut akan dapat digunakan secara luas di tengah masyarakat.

Oleh karenanya, penting dipahami bagi seluruh pihak termasuk peneliti dan masyarakat bahwa sebelum ada hasil uji klinis yang menunjukkan manfaat atau khasiat suatu obat atau alat kesehatan, maka tidak seharusnya ada klaim khasiat atau manfaat tertentu yang disampaikan kepada publik.

Pelaksanaan uji klinis tersebut berisiko tinggi, membutuhkan biaya yang besar, dan mempunyai tingkat risiko kegagalan yang tinggi.

Selain itu, implementasi pengujian produk inovasi kesehatan tersebut juga bersifat kompleks karena melibatkan berbagai pihak seperti regulator, industri, peneliti, rumah sakit, dan laboratorium pengujian.

Karena pembiayaan besar untuk pengujian produk dengan tingkat risiko kegagalan pengujian produk tinggi, maka tidak semua pihak industri berani mengambil risiko besar untuk investasi membiayai uji klinis. Selain itu, periset juga sulit mendapatkan anggaran besar untuk melakukan uji klinis.

Hal itu menjadi salah satu kendala besar dalam mendorong hasil produk riset dan inovasi anak bangsa Indonesia dilanjutkan ke tahap uji klinis.

Menurut Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko, salah satu kendala dalam pelaksanaan pengujian produk inovasi kesehatan adalah ketidakpastian waktu, biaya riset obat, obat tradisional, vaksin, dan alat fasilitasi pengujian produk inovasi kesehatan yang tinggi.

Sementara tingkat keberhasilan uji klinis tergolong rendah, sehingga menjadi salah satu penyebab hasil inovasi anak bangsa belum dapat dimanfaatkan masyarakat secara luas.

Pihak industri merasa gamang untuk membuat produk hasil riset menjadi komersial, karena industri tidak punya kemampuan untuk menanggung risiko kegagalan yang cukup besar tersebut.

"Tingginya kemungkinan kegagalan pengujian produk menjadi penyebab hasil inovasi para periset Indonesia belum dapat termanfaatkan dengan baik," ujarnya.

Kondisi itu menjadi tantangan bagi peneliti yang ingin hasil risetnya diuji klinis dan industri yang ingin melakukan uji klinis untuk produk inovasi kesehatan.

Merespons tantangan tersebut, BRIN hadir mengambil sebagian risiko dengan memberikan fasilitasi Pengujian Produk Inovasi Kesehatan (PPIK) yang dapat dimanfaatkan semua pihak termasuk periset dari dalam dan luar BRIN, universitas dan industri, untuk pelaksanaan uji klinis atau uji praklinis.

Untuk mendapatkan fasilitasi pendanaan tersebut, pengusul harus mengajukan proposal dan memastikan produk inovasi yang diusulkan sudah terbukti secara ilmiah (scientifically well proven) dan didukung dengan publikasi ilmiah.

Penerimaan proposal dibuka sepanjang tahun dengan proses seleksi dilakukan secara periodik.

Fasilitasi PPIK diharapkan bisa memberikan inspirasi dan motivasi kepada periset yang masih memiliki kendala dalam pengujian produk inovasi kesehatan, seperti pengurusan administrasi, waktu dan biaya pelaksanaan riset, baik produk inovasi obat, obat tradisional, vaksin, dan alat kesehatan.

"Program fasilitasi PPIK ini juga melibatkan mitra industri terkait sehingga mampu mengawal dari sisi pengurusan izin edar dan produksi serta komersialisasi dari produk kesehatan yang diujikan," tutur Handoko.

Dengan skema fasilitasi itu, diharapkan banyak industri yang berminat dan bersedia berkolaborasi dengan para periset baik dari dalam maupun di luar BRIN untuk terlibat dalam kegiatan riset dan pengujian produk inovasi kesehatan.

Skema Fasilitasi Pengujian Produk Inovasi Kesehatan merupakan program fasilitasi dari BRIN untuk pengujian kandidat produk inovasi kesehatan yang terbuka bagi periset BRIN dan instansi eksternal baik yang berasal dari lembaga riset, perguruan tinggi maupun industri yang mempunyai riset dan pengembangan.

Objek yang dapat difasilitasi dalam skema program tersebut merupakan kandidat-kandidat dari obat, fitofarmaka, vaksin, dan alat kesehatan yang telah terbukti secara ilmiah.

Baca juga: BRIN percepat pengembangan produk inovasi kesehatan menuju hilirisasi

Baca juga: BRIN fasilitasi uji klinis implan tulang hingga obat fitofarmaka


Stimulus percepatan

Dari 30 proposal pengajuan fasilitasi PPIK yang masuk ke BRIN pada periode pertama yakni 20 Desember-27 Desember 2021, sebanyak tiga proposal lolos untuk menerima fasilitasi PPIK pada gelombang pertama 2022.

Dari beberapa proposal yang masuk tersebut, ada yang tidak memenuhi ketentuan format proposal, dan ada juga proposal yang tidak memenuhi persyaratan uji klinis maupun uji praklinis karena masih dalam tahap riset dasar.

Selanjutnya, proposal yang lolos seleksi akan diserahkan kepada Deputi Bidang Pemanfaatan Riset dan Inovasi di BRIN untuk diproses lebih lanjut untuk dilaksanakan koordinasi pelaksanaan uji klinisnya.

Dalam skema tersebut, BRIN tidak memberikan pendanaan berupa uang kepada para pihak yang proposalnya lolos seleksi melainkan memfasilitasi proses uji klinis dengan menyediakan fasilitas dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengoordinasikan dan melakukan uji klinis kandidat produk kesehatan tersebut.

Menurut Pelaksana tugas Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi BRIN Agus Haryono, persyaratan substansi proposal dilihat dari urgensi atau prioritasnya, tingkat kesiapan produk, dan diutamakan yang memiliki mitra industri.

Apabila dari sisi urgensi dan kesiapan produk telah memenuhi persyaratan, namun belum memiliki mitra, maka BRIN melalui Kedeputian Pemanfaatan Riset dan Inovasi akan berusaha mencarikan mitra yang akan mendampingi proses pengujian produk inovasi kesehatan.

Melalui skema pendanaan fasilitasi PPIK tersebut, diharapkan banyak pihak swasta yang tertarik untuk terlibat dalam kegiatan riset dan mengomersialkan produk riset khususnya di bidang kesehatan kepada masyarakat.

"Harapannya, agar hasil riset dari para peneliti yang semula hanya skala laboratorium menjadi skala komersialisasi yang tentunya dengan berkolaborasi dengan pihak industri yang akan memproduksinya dan mengomersialisasikan kepada masyarakat," katanya.

Tiga penerima pendanaan PPIK gelombang I 2022 adalah I Nyoman Jujur dari Pusat Riset Material Maju Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material yang bekerja sama dengan PT Zenith Allmar untuk pengembangan prototipe implan tulang belakang yang menjadi salah satu produk pada kegiatan Prioritas Riset Nasional (PRN).

Penerima selanjutnya adalah Erry Dwi Kurniawan dari Pusat Riset Telekomunikasi Organisasi Riset Elektronika dan Informatika, yang mengandeng PT Tesena Inovindo untuk mengembangkan ventilator CPAP-BiPAP, yang akan membantu pernapasan pasien.

Kemudian, Zullies Ikawati dari Universitas Gadjah Mada berkolaborasi dengan PT Konimex untuk melakukan pengembangan kandidat obat fitofarmaka untuk cognitive enhancer dari ekstrak kayu secang.

Jika pengembangan kandidat obat dan alat kesehatan tersebut berhasil, maka lisensi akan dikembalikan ke industri yang dilibatkan dalam proses uji klinis tersebut. Apabila industri tersebut kurang berminat nantinya, maka lisensi bisa diberikan kepada industri lain yang berminat.

Sebagai konsekuensi dari lisensi tersebut, akan ada royalti minimal 70 persen dikembalikan ke negara dan maksimal 30 persen dikembalikan kepada para periset, karena negara melalui BRIN akan berinvestasi di riset yang berisiko tinggi dan sangat mahal tersebut.

Sebaliknya, jika proses pengujian produk inovasi kesehatan tidak membuahkan hasil yang diharapkan atau gagal, maka industri tidak mengalami kerugian apapun, karena pembiayaan untuk uji praklinis atau uji klinis sudah ditanggung oleh BRIN.

Mekanisme pendanaan untuk pelaksanaan uji praklinis atau uji klinis melalui skema Pengujian Produk Inovasi Kesehatan diharapkan dapat menjadi salah satu stimulus yang mendorong percepatan pengujian produk kesehatan yang terbukti secara ilmiah, aman, dan lulus uji pada tingkat manusia.

Selain itu, pemanfaatan fasilitasi PPIK tersebut diharapkan dapat mendorong lebih banyak periset dan industri masuk ke ranah riset dan pengembangan produk inovasi kesehatan di Tanah Air sehingga mendukung terciptanya ekosistem inovasi dan riset Indonesia yang lebih baik untuk kemajuan dan kemandirian bangsa dan negara Indonesia terutama di sektor kesehatan.

Baca juga: BRIN perkuat riset pengujian produk kesehatan

Baca juga: Kemkes harapkan BRIN gunakan TKDN tinggi dalam produk riset kesehatan

Baca juga: BRIN perkenalkan produk riset dan inovasi kesehatan-pangan pada publik