Kelangkaan solar di Sulsel rugikan nelayan
14 Maret 2022 23:02 WIB
Kepala Bidang Perikanan Tangkap, Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Pemerintah Provinsi Sulsel, Andi Mei Agung (dua kiri), Ketua HSNI Sulsel, Chairil Anwar (dua kanan) dan Penanggungjawab Pelabuhan Perikanan Untia, Iswadi Rachmat (kanan) saat RDP di kantor DPRD Sulawesi Selatan, Makassar, Senin (14/3/2022). ANTARA/Darwin Fatir.
Makassar (ANTARA) - Kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar bersubsidi di sejumlah wilayah Sulawesi Selatan merugikan para nelayan karena tidak bisa pergi melaut mencari ikan.
"Susah dapat solar di SPBN, kalaupun ada sudah ada jatahnya orang. Terpaksa beli di SPBU pakai jerigen, itu pun kalau dapat harus antri," beber Rahmat, salah seorang nelayan di Makassar, Senin.
Menurut dia, hampir semua nelayan mengalami hal serupa, harus berjuang mencari BBM di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) untuk bisa menghidupkan mesin kapalnya mencari ikan, ditambah kondisi cuaca buruk belakangan ini.
Di tempat terpisah, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HSNI) Sulsel, Chairil Anwar saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) di kantor DPRD Sulsel mengungkapkan hal yang sama, adanya keterbatasan nelayan memperoleh BBM subsidi.
"Aktivitas nelayan tentu sangat terganggu karena kesulitan bahan bakar. Cara ilegal saja susah apalagi legal. Laporan yang masuk bahkan ada dijual antara Rp10 ribu-20 ribu per liter. Padahal harga solar subsidi Rp4.150 per liter," katanya.
Kendati ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang perlindungan bagi nelayan, namun fakta di lapangan tidak sesuai implementasi. Keterbatasan solar tersebut sangat dirasakan nelayan saat ini, hingga turut mempengaruhi hasil tangkapan mereka.
Hal senada disampaikan, Ketua HNSI Kota Makassar, HM Arsyad H Bua. Keterbatasan BBM sangat berdampak bagi nelayan karena tidak bisa beraktivitas mencari ikan. Disisi lain harus ada penghasilan yang diperoleh untuk menyambung hidup.
"Data kapal nelayan kecil di Makasar itu 1.000 perahu Katinting (kapal kecil) menggunakan BBM bersubsidi belum kapal lain. Tapi kini sulit didapat. Yang ada hanya BBM non subsidi. Kita berharap pemerintah segera menyelesaikan masalah ini," tuturnya.
Sementara itu Penanggungjawab Pelabuhan Perikanan Untia, Iswadi Rachmat dalam RDP menjelaskan untuk jatah BBM subsidi telah diatur dalam Peraturan BPH Migas nomor 17 tahun 2019, termasuk alokasi ke tiap SPBN. Pembelian BBM subsidi bagi nelayan juga sudah diatur melalui surat rekomendasi.
Kepala Bidang Perikanan Tangkap, Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Pemerintah Provinsi Sulsel, Andi Mei Agung pada kesempatan itu menuturkan, sudah ada 18 SPBE yang dibangun. Hanya saja khusus di wilayah Kepulauan Selayar dan Pangkep belum ada pelayanan SPBN di pulau.
Pihaknya pun sudah berkoordinasi dengan Pertamina apakah nanti memungkinkan dibangun SPBE di pulau, mengingat ada 15 ribuan nelayan mengunakan bahan bakar. Di Pangkep tercatat ada 111 pulau dan Selayar 132 pulau, 90 persen nelayan di pulau membutuhkan BBM bersubsidi.
"Untuk mendirikan SPBN mesti mengajukan ke dinas (DKP) begitupula pemberian jatah dari dinas. Semua nelayan kita akan fasilitasi termasuk pembanguan SPBN yang diusulkan untuk mendapatkan kouta. Memang mobilitas nelayan tinggi. Kendalanya, keterbatasan BBM, serta air bersih selalu menjadi persoalan klasik," tuturnya menjelaskan.
"Susah dapat solar di SPBN, kalaupun ada sudah ada jatahnya orang. Terpaksa beli di SPBU pakai jerigen, itu pun kalau dapat harus antri," beber Rahmat, salah seorang nelayan di Makassar, Senin.
Menurut dia, hampir semua nelayan mengalami hal serupa, harus berjuang mencari BBM di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) untuk bisa menghidupkan mesin kapalnya mencari ikan, ditambah kondisi cuaca buruk belakangan ini.
Di tempat terpisah, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HSNI) Sulsel, Chairil Anwar saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) di kantor DPRD Sulsel mengungkapkan hal yang sama, adanya keterbatasan nelayan memperoleh BBM subsidi.
"Aktivitas nelayan tentu sangat terganggu karena kesulitan bahan bakar. Cara ilegal saja susah apalagi legal. Laporan yang masuk bahkan ada dijual antara Rp10 ribu-20 ribu per liter. Padahal harga solar subsidi Rp4.150 per liter," katanya.
Kendati ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang perlindungan bagi nelayan, namun fakta di lapangan tidak sesuai implementasi. Keterbatasan solar tersebut sangat dirasakan nelayan saat ini, hingga turut mempengaruhi hasil tangkapan mereka.
Hal senada disampaikan, Ketua HNSI Kota Makassar, HM Arsyad H Bua. Keterbatasan BBM sangat berdampak bagi nelayan karena tidak bisa beraktivitas mencari ikan. Disisi lain harus ada penghasilan yang diperoleh untuk menyambung hidup.
"Data kapal nelayan kecil di Makasar itu 1.000 perahu Katinting (kapal kecil) menggunakan BBM bersubsidi belum kapal lain. Tapi kini sulit didapat. Yang ada hanya BBM non subsidi. Kita berharap pemerintah segera menyelesaikan masalah ini," tuturnya.
Sementara itu Penanggungjawab Pelabuhan Perikanan Untia, Iswadi Rachmat dalam RDP menjelaskan untuk jatah BBM subsidi telah diatur dalam Peraturan BPH Migas nomor 17 tahun 2019, termasuk alokasi ke tiap SPBN. Pembelian BBM subsidi bagi nelayan juga sudah diatur melalui surat rekomendasi.
Kepala Bidang Perikanan Tangkap, Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Pemerintah Provinsi Sulsel, Andi Mei Agung pada kesempatan itu menuturkan, sudah ada 18 SPBE yang dibangun. Hanya saja khusus di wilayah Kepulauan Selayar dan Pangkep belum ada pelayanan SPBN di pulau.
Pihaknya pun sudah berkoordinasi dengan Pertamina apakah nanti memungkinkan dibangun SPBE di pulau, mengingat ada 15 ribuan nelayan mengunakan bahan bakar. Di Pangkep tercatat ada 111 pulau dan Selayar 132 pulau, 90 persen nelayan di pulau membutuhkan BBM bersubsidi.
"Untuk mendirikan SPBN mesti mengajukan ke dinas (DKP) begitupula pemberian jatah dari dinas. Semua nelayan kita akan fasilitasi termasuk pembanguan SPBN yang diusulkan untuk mendapatkan kouta. Memang mobilitas nelayan tinggi. Kendalanya, keterbatasan BBM, serta air bersih selalu menjadi persoalan klasik," tuturnya menjelaskan.
Pewarta: M Darwin Fatir
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2022
Tags: