Suara kayu beradu seolah membelah ruang seluas 100 meter persegi yang digunakan pameran bersama aneka kain Nusantara 2011 di Museum Sulawesi Tengah, Palu.

Suara yang mirip bunyi kentongan ditabuh itu berasal dari kegiatan yang dilakukan Fatimah, pembuat kain kulit kayu yang berasal dari Desa Pandere, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi.

Fatimah melakukan aksinya di atas papan kayu berukuran 2x2 meter dengan tinggi sekitar 30cm.

Pengunjung yang datang silih berganti di dalam ruangan itu selalu menghentikan langkahnya beberapa saat untuk menyaksikan Fatimah memukul kulit kayu Malo (ficus sp) menggunakan balok batu sebesar bungkus rokok atau disebut batu ike.

Kulit kayu sepanjang sekitar 1,5 meter dan lebar 10cm itu dipukul-pukul dengan batu ike secara merata di atas papan kayu.

Farida menjelaskan proses pembuatan kain kulit kayu itu memerlukan waktu sekitar satu pekan. Untuk pemukulan kulit menggunakan batu ike berlangsung sekitar dua hari.

Kulit kayu yang telah melebar kemudian dicuci untuk menghilangkan getah. Proses pemukulan kemudian dilanjutkan tapi menggunakan pemukul yang terbuat dari kayu agar tidak robek.

Setelah memperoleh lebar kain yang diinginkan, kemudian kain kulit kayu itu dikeringkan.

"Tidak dijemur di bawah matahari langsung, tapi diangin-anginkan saja supaya tidak mudah rusak," katanya.

Kain kulit kayu itu selanjutnya disetrika menggunakan batang kayu yang disebut pompao. Kain kulit kayu itu tidak boleh terkena air karena akan mudah sobek.

Pakaian ini hanya digunakan untuk kegiatan adat, seperti pernikahan, penyambutan tamu, atau acara lainnya.

Pembuat kain kulit kayu itu pada umumnya dilakukan oleh kaum perempuan usai masa panen padi.

Saat ini di Desa Pandere, yang berjarak sekitar 60 kilometer dari Palu, Ibu Kota Sulawesi Tengah, terdapat 12 pembuat kain kulit kayu.

Keterampilan membuat kain kulit kayu itu diperoleh warisan secara turun-temurun dari orangtuanya.

"Anak saya juga sudah belajar membuat kain kulit kayu, tapi hasilnya belum bagus sehingga saya yang menghaluskannya," kata Farida yang kesehariaannya membantu suaminya di sawah.

Pembuatan kain kulit kayu di Desa Pandere sudah ada sejak ribuan tahun silam.

Di Sulawesi Tengah sendiri hanya di Kabupaten Sigi yang terdapat pengrajin kain kulit kayu. Itupun hanya di dua kecamatan, yakni Gumbasa dan Kulawi.

Farida mengatakan, kain kulit kayu yang diproduksi masyarakat Kulawi lebih tebal dan kasar karena terbuat dari kulit pohon beringin.

Kain kulit kayu biasanya dibuat baju lengan pendek, celana pendek, serta penutup kepala.

Pakaian kulit kayu itu pada umumnya berwarna coklat, sesuai aslinya, dan tidak bermotif. Sebagian lainnya berwarna hitam karena direndam lumpur hitam selama beberapa hari.


Dari mulut ke mulut
Saat ini kerajinan kain kulit kayu di Sulawesi Tengah sudah dikenal seluruh masyarakat, meski hanya berawal dari informasi mulut ke mulut.

Farida mengatakan, kain kulit kayu 2x1 meter dihargai Rp200 ribu, sedangkan pakaian yang sudah jadi dihargai Rp100 ribu.

Jika ada orang yang berminat membeli kain kulit kayu, bisa langsung datang ke Desa Pandere atau Kulawi.

"Kita bisa langsung membelinya sekaligus melihat proses pembuatannya," kata Farida yang sudah bisa membuat kain kulit kayu sejak puluhan tahun silam.

Warga Desa Pandere sebenarnya tidak mengharapkan penghasilan dari membuat kain kulit kayu. Para perempuan hanya membuat kain itu pada waktu senggang atau setelah panen padi sembari menunggu musim tanam.

"Kita hanya ingin melestarikan kerajinan nenek moyang, agar tidak punah," kata Farida yang sudah pergi ke sejumlah tempat di Tanah Air untuk ikut pameran membuat kain kulit kayu.

Saat ini sejumlah kain kulit kayu asal Sulawesi Tengah sudah terdapat di sejumlah museum di Indonesia.

Ketika memasuki ruang VIP Bandara Mutiara Palu, pengunjung juga bisa menyaksikan busana terbuat dari kain kulit kayu yang dipajang di pintu masuk.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Tengah Suaib Djafar mengatakan, kain kulit kayu itu merupakan salah satu ciri khas provinsi beribu kota Palu ini.

"Kalau kita tidak menjaga dan melestarikan budaya itu, siapa yang akan melakukannya. Masak mau berharap pada orang lain," katanya.(R026)