Mataram (ANTARA) - Namanya singkat sekali, yakni, Meran. Usianya sudah memasuki 70 tahun. Usia teramat panjang untuk bercerita menghitung langkah kakinya menapaki jalan raya, gang kawasan pemukiman sampai sekolahan di Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Meran sampai sekarang masih mencoba bertahan dengan usaha gula gending. Tatkala suara gula gendingnya harus bertempur dengan si gula-gula di pasar-pasar swalayan yang menyemburkan kenikmatan duniawi. Atau anak-anak yang menyukai "game" melalui gawai dunia maya.
Gula gending merupakan pertunjukan musik yang ditampilkan pedagang jajanan tradisional "arum manis" yang dikenal juga dengan sebutan "rambut nenek". Penganan asli ini buatan tangan. Bukannya yang banyak beredar di pusat perdagangan saat ini dengan berbandrol harga dan bungkusan menarik hingga si anak merengek kepada ayah dan ibunya untuk membeli.
Lewat telapak tangan Meran yang memukul-mukul ke "rombongnya" atau perangkat jualan gula gending yang terbuat dari besi anti karat. Perangkat jualan itu terdiri atas empat kotak yang terletak di bagian depan. Di bagian belakang kotak itu, tiga tempat untuk menyimpan si rambut nenek. Si rambut nenek yang berwarna merah, putih dan hijau.
Coba jika sedang berkunjung ke Pulau Lombok atau Mataram. Carilah si gula-gula ini dan dengarkan suara "pemancing" pembeli. Resapi dan dijamin akan ternganga sembari menikmati "arum manis". Karena harmoni itu akan muncul meski tanpa perlu menyamakan senandung "melow" yang sedang tren di Tanah Air tercinta ini.
Bukan apa-apa, gending gula merupakan karya asli Desa Kembang Rarang, Aikmal, Kabupaten Lombok Timur. Hingga desa tersebut dikenal sebagai desa yang melahirkan para pedagang gending gula.
"Bunyi gending gula ini guna mengundang pembeli. Supaya pembeli berdatangan," kata Meran, bapak yang sudah memiliki 10 anak dan 24 cucu itu saat menjadi pembicara di "Bincang-bincang Halaman Belakang ANTARA NTB" pada akhir pekan lalu.
Ia mengaku irama yang dimainkannya tidak ada nada tertentu mengikuti nada lagu terkenal saat ini. Pukulan telapak tangannya itu berdasarkan selera hati saja namun bernada.
Hal itulah yang menjadi pembeda dan sangat nyaman untuk didengarkan oleh telinga siapa saja. Semakin kosong barang dagangannya, maka akan semakin kencang bunyi dari perangkat gula gending tersebut.
"Bisa terdengar sekitar 200 meter dari lokasi kita berjualan," kata Rian, generasi ketiga penerus pemain gula gending.
Bisakah orang awam memainkan gula gending?. Jawabannya tidak bisa.
Memang faktanya demikian, beberapa orang penonton acara "Bincang-Bincang Halaman Belakang ANTARA NTB" mencoba memainkan. Hasilnya suaranya "Buk..buk..buk". "Sulit sekali ya... memainkannya. Padahal saya sudah memukul persis Pak Maran dan Pak Rian, hasilnya tetap jelek," kata Akbar, peserta bincang-bincang itu.
Ketika Meran mengambil alih rombong gula gending. "Pung...pung...tab...tab," demikian suaranya. Suara "Pung" terdengar dari pukulan telapak tangan di kotak segi empat, sedangkan "tab" dari penutup tempat menyimpan arum manis.
Memang ibarat pepatah, "Ala bisa karena biasa, Ala biasa karena bisa," menjadi pameo yang dipegang oleh mereka. Artinya kita jangan memandang rendah harmoni bunyi dari perangkat gending gula tersebut. Diperlukan beberapa tahun untuk bisa memainkan nada yang dikeluarkan dari alat berbahan "stainless" itu.
Rian menyebutkan semakin tua rombong gula gending tersebut maka bunyinya akan semakin nyaring.
"Rombong gula gending yang berusia puluhan tahun atau sejak saya menekuni usaha ini masih ada lho. Suaranya jangan ditanya karena nyaring," tambah Meran.
Di antara nasyarakat, pasti akan mengira membuat perangkatnya mudah?. Jangan salah, membuatnya butuh waktu berbulan-bulan dan dikerjakan oleh mereka serta memakan uang yang tidak sedikit.
"Biaya perangkatnya memakan biaya antara Rp3 juta sampai Rp4 juta. Saya patri dan solder sendiri," kata Meran.
"Membuatnya, harus benar-benar dihayati karena alat ini merupakan 'sawah' atau mata pencaharian kami," jawaban kompak Meran dan Rian.
Ia memegang prinsip jika mengerjakan membuat alat tidak ikhlas maka mereka meyakini suara yang dikeluarkan tidak akan jelas atau terdengar oleh pembeli. "Untuk dapat pembeli, kita harus memainkan dengan hati ikhlas dan bunyinya yang enak didengar juga," kata Rian, pria berusia 33 tahun.
Ditahbiskan alat musik baru
Musisi "folks song" asal Pulau Lombok yang terkenal dengan kelompoknya "Badjigur Blue Grass", Ary Juliyan, menyatakan gula gending memiliki potensi untuk ditahbiskan sebagai alat musik baru.
"Ini mirip dengan alat musik di Amerika Tengah atau Amerika Latin yang memanfaatkan tong minyak sebagai alat tetabuhan," katanya.
Dikatakannya bahwa gula gending merupakan alat musik yang menarik meski tidak ada standar dan alat ini merupakan alat untuk penarik pembeli dalam berjualan gula gending.
"Gula gending merupakan aset luar biasa hingga bisa direspons sebagai alat musik yang baru," katanya.
Hal senada dikatakan oleh pegiat seni sastra di Lombok, Abeng. Ia menyebutkan benar-benar ajaib bunyi dari alat gula gending yang sekaligus menjadi alat untuk usaha pedagang "arum manis".
"Saya membayangkan kalau dimainkan secara kolosal gula gending. Maka akan luar biasa, harmoninya," katanya.
Ia mengaku pada 2012, pernah melibatkan pelaku gula gending dalam acara di Taman Budaya Nusa Tenggara Barat. "Respons pendengarnya luar biasa juga," katanya.
Di bagian lain, Meran menyebutkan dirinya menekuni usaha gula gending itu sudah dilakukan sejak usia 15 tahun sampai sekarang. Bahkan cucunya sendiri ada yang mengikuti jejaknya.
Bahkan dirinya tidak hanya berjualan di Pulau Lombok saja, tapi sudah melakoni sampai Pulau Sumbawa sampai seluruh Indonesia. "Hampir 34 provinsi sudah saya datangi untuk berjualan arum manis. Yang jelas sejak sekitar tahun 1970-an saya berjualan," katanya.
Saat ditanya apakah dirinya akan terus berjualan gula gending, ia menjawab dengan tegas, "Saya akan terus berjualan sampai saya tidak kuat lagi untuk berjualan, ini adalah usaha melanjutkan orang tua,".
Meski saat ini, masyarakat atau anak-anak lebih menyukai tembang-tembang Pop Korea atau K-Pop atau lagu Indonesia yang bermelow ria. Musik penawar pembeli "arum manis" atau si rambut nenek akan tetap lantang menawarkan si manis tersebut dari kampung, desa, sampai kota.
Hingga tidak salahnya, tuan-tuan menyebutkan gula gending merupakan "Harmoni Bunyi Terlupa".
Baca juga: ANTARA NTB angkat tradisi gending gula
Baca juga: BPOM Tangerang temukan arum manis dan mie mengandung pengawet
Baca juga: Kemenparekraf gali potensi musik tradisional Lombok NTB
Baca juga: Jadi sarang tikus, rambut nenek di Jateng dipotong relawan MRI-ACT
Artikel
Gula gending, harmoni bunyi yang terlupa
Oleh Riza Fahriza
14 Maret 2022 13:01 WIB
Meran (70), penjual "arum manis" atau si rambut nenek, tengah beraksi dalam acara "Bincang-Bincang Halaman Belakang ANTARA NTB" di Mataram, Jumat (11/03/2022). ANTARA/HO.
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022
Tags: