Jakarta (ANTARA) - Di tengah konflik Rusia versus Ukraina, Indonesia punya kesempatan untuk memainkan perannya sebagai negara yang menganut prinsip bebas aktif dalam politik luar negerinya.

Untuk memahami bagaimana peran itu akan dan mesti dimainkan, publik dapat menyimak pandangan pejabat di Kementerian Luar Negeri dan pengamat politik internasional.
​​​​
Pandangan yang berupa masukan buat langkah RI dalam memberikan kontribusi bagi solusi konflik Rusia vs Ukraina itu diuraikan di bawah ini. Namun sebelumnya, perlulah menengok sekilas momen pra konflik kedua negara itu.

Baca juga: Dubes Ukraina minta masyarakat Indonesia tak termakan propaganda Rusia

Presiden Rusia Vladimir Putin pada 24 Februari 2022 memerintahkan operasi militer khusus di wilayah Ukraina dan mengatakan kepada militer Ukraina agar mereka menjatuhkan senjata, menurut Kantor Berita Reuters, Kamis (24/2).

Putin menegaskan bahwa Rusia akan langsung merespons jika ada pasukan asing yang berupaya menghalangi aksinya. Dia juga mengatakan bahwa Moskow akan berusaha melakukan demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina.

Pernyataan Putin itu muncul setelah Amerika Serikat mengungkapkan bahwa Rusia telah menempatkan hampir 150.000 tentara di dekat Ukraina dan setelah kelompok separatis pro Rusia meminta bantuan militer kepadanya untuk menghadapi apa yang mereka sebut sebagai agresi Ukraina yang semakin berkembang.

Keputusan Putin untuk mengizinkan operasi militer tersebut juga muncul setelah sebelumnya Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Vorobieva, Jumat (18/2), mengatakan bahwa negaranya tidak memiliki niat sama sekali untuk menyerang Ukraina.

Baca juga: Muhammadiyah dorong Indonesia aktif upayakan resolusi damai di Ukraina

"Saya akan mengulangi kembali pernyataan Presiden dan Menteri Luar Negeri Rusia bahwa Rusia tidak punya niat untuk menyerang Ukraina. Mengapa pula kami ingin melakukan hal itu?," kata Vorobieva dalam wawancara khusus dengan ANTARA.

Menanggapi kekhawatiran negara-negara Barat, khususnya aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), mengenai peningkatan kehadiran pasukan Rusia di perbatasan dengan Ukraina, Vorobieva menilai kekhawatiran Barat itu sebagai hal yang tidak logis.

"Kata kuncinya di sini adalah pasukan itu berada di wilayah Rusia. Tidak ada satu pun tentara atau kendaraan Rusia yang menyeberangi perbatasan. Dan kami mengadakan latihan militer dengan para sekutu dan teman kami -- seperti Belarus, kami juga mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan itu," lanjut Vorobieva.

Berkembangnya konflik Rusia-Ukraina menjadi peperangan baru-baru ini memunculkan banyak pertanyaan tentang alasan yang sebenarnya melatarbelakangi invasi Rusia ke Ukraina.

Untuk itu, Dosen Departemen HI FISIP UI Hariyadi Wirawan mengatakan bahwa konflik tersebut sebenarnya merupakan salah satu dari rangkaian peristiwa yang telah berlangsung cukup lama antara Rusia dengan negara-negara tetangganya, terutama dengan Ukraina.

Ia menilai bahwa sebagai sebuah negara yang bahkan paling besar di dunia, Rusia memiliki berbagai hal yang dianggap penting bagi negara itu untuk menjaga integritas dan kedaulatannya, terutama di tengah-tengah perubahan politik dan struktur internasional di dunia.

Oleh karena itu, bagi Rusia, persoalannya menjadi sangat sensitif dan lebih sensitif lagi ketika di wilayah perbatasannya banyak negara mencoba untuk melakukan hal-hal yang dianggap oleh Rusia sebagai gangguan keamanan, terutama dengan upaya yang dilakukan oleh Ukraina untuk bergabung dengan NATO.

Baca juga: Kemlu: 120 WNI di Ukraina telah kembali ke Indonesia

Secara geografis dan geostrategi Ukraina dianggap sebagai urat nadi pertahanan Angkatan Laut Rusia. Oleh karena itu, Putin melihat Ukraina sebagai suatu wilayah yang memang harus terbebas dari ancaman atau intervensi kekuatan lain.

Oleh karena itu, hadirnya kekuatan militer yang dibangun oleh NATO di wilayah perbatasan Rusia dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan negaranya. Hal itulah yang kemudian menjustifikasi invasi Rusia ke Ukraina.

Peran Indonesia

Sebagai sebuah negara yang menjunjung tinggi prinsip bebas aktif dalam hubungan luar negeri, Indonesia juga menegaskan konsistensinya dengan prinsip tersebut dalam krisis Ukraina.

Hal itu ditegaskan oleh Direktur Eropa II Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) Winardi Hanafi Lucky dalam diskusi terkait konflik Rusia-Ukraina, Jumat (12/3).

Ia menegaskan bahwa bebas aktif yang dimaksud bukan berarti netral aktif, tetapi juga dengan memberikan kontribusi, baik dalam bentuk pemikiran maupun bantuan terhadap penyelesaian konflik.

Prinsip bebas aktif yang dijunjung Indonesia tidak identik dengan sikap netral, melainkan bebas bersikap sesuai dengan kepentingan nasional. Selain itu, sikap Indonesia itu juga bukan sekadar mengikuti negara lain, melainkan upaya untuk menyuarakan pentingnya penghormatan terhadap norma hukum internasional.

Indonesia akan terus mendorong dihentikannya penggunaan kekuatan sehingga semua pihak dapat menyelesaikan sengketa.

Indonesia juga menilai bahwa langkah terbaik terhadap situasi di Ukraina saat ini adalah dengan deeskalasi sehingga proses perundingan dapat berjalan lebih efektif dan memungkinkan dibukanya jalur kemanusiaan.

Terkait posisi Indonesia dalam konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, pemerintah menegaskan bahwa Indonesia tetap menjalin hubungan baik dengan Rusia dan Ukraina karena kedua negara tersebut adalah sahabat Indonesia.

Sementara itu, terkait peran dan kontribusi yang bisa diberikan Indonesia terhadap penyelesaian konflik Rusia-Ukraina, Dirut LKBN ANTARA Meidyatama Suryodiningrat, atau yang lebih akrab disapa Dimas, menilai bahwa Indonesia bisa mengupayakan agar konflik yang terjadi tidak semakin memanas.

Indonesia juga bisa memberikan bantuan kemanusiaan terhadap potensi tragedi kemanusiaan dalam konflik tersebut.

"Mirip seperti apa yang kita lakukan di Rohingya saat itu," katanya.

Konflik antara Rusia dan Ukraina, menurutnya, bukanlah masalah sederhana yang tidak bisa diselesaikan dalam waktu cepat. Oleh karena itu, Indonesia tidak perlu terlibat lebih jauh dalam permasalahan yang dihadapi oleh kedua negara. Sebaliknya, Indonesia bisa memberikan kontribusi terhadap upaya penyelesaian konflik.

Kemudian, Indonesia juga perlu mendorong dibukanya zona pengungsi untuk menampung lebih banyak warga sipil yang terpaksa mengungsi akibat konflik tersebut.

Peran Indonesia yang lebih besar lagi juga, menurutnya, bisa diberikan melalui Presidensi Indonesia di forum G20.

Sebagai tuan rumah, Indonesia harus menghindari potensi forum tersebut untuk dimanfaatkan sebagai ajang persengketaan terkait masalah Ukraina.

"Ingat, G20 ini adalah organisasi finansial dan ekonomi. Jangan masalah Rusia dan Ukraina, yang merupakan masalah Eropa, masuk ke dalam (forum) ini," ujarnya.

Tugas Indonesia, sesuai konstitusi, sesuai dan amanat adalah mendorong agar isu-isu dunia ketiga tetap bisa diselesaikan dalam forum G20, dan forum tersebut banyak menyelesaikan masalah yang dihadapi negara dunia ketiga.

Sebagaimana disebutkan Dimas dalam pendapatnya bahwa konflik antara Rusia dan Ukraina merupakan perang saudara antara bangsa-bangsa Eropa. Maka seyogyanya perang tersebut bisa diselesaikan melalui jalur damai dan dilakukan secara kekeluargaan.

Baca juga: Kemlu: Sikapi krisis Ukraina, Indonesia tetap berprinsip bebas aktif
Baca juga: Keteguhan dan keberpihakan Indonesia di tengah kemunafikan "G19"