Unicef: Narasi "transisi menuju endemi" picu perdebatan akar rumput
11 Maret 2022 18:27 WIB
Tangkapan layar Spesialis Komunikasi Perubahan Perilaku dari Unicef Indonesia Risang Rimbatmaja saat menyampaikan pemaparan dalam Diskusi RCEE #23 "Pandemi Menuju Endemi: Siapkah Kita?" yang diikuti dari YouTube Internet Sehat di Jakarta, Jumat (11/3/2022). (ANTARA/Andi Firdaus).
Jakarta (ANTARA) - Spesialis Komunikasi Perubahan Perilaku dari Unicef Indonesia Risang Rimbatmaja mengatakan narasi "transisi menuju endemi" di tengah situasi pandemi COVID-19 memicu perdebatan masyarakat di level akar rumput.
"Ketika di nasional disebut-sebut kita mau transisi menuju endemi, kita mau buat pelonggaran, itu di akar rumput dampaknya luar biasa," kata Risang Rimbatmaja dalam Diskusi RCEE #23 "Pandemi Menuju Endemi: Siapkah Kita?" yang diikuti dari YouTube Internet Sehat di Jakarta, Jumat sore.
Ia mengatakan narasi tersebut memicu tanggapan beragam masyarakat, salah satunya dialami peserta ritual ngelawang di Provinsi Bali.
Ngelawang merupakan tradisi yang ditujukan untuk menolak bala atau petaka. Ritual ngelawang dilakukan dengan berkeliling desa sembari menarikan tarian barong bangkung.
"Ajakan berkegiatan didebat. Teman di Bali yang sudah punya agenda ngelawang di kampung-kampung kemudian batal gara-gara tokoh agama dan tokoh masyarakat bilang, tidak perlu, sudah bebas COVID-19 sekarang," katanya.
Menurut Risang, narasi transisi menuju endemi merupakan pembahasan internal kalangan otoritas terkait yang tidak seharusnya sampai ke level akar rumput.
"Kalau masyarakatnya di level akademik, mungkin bisa paham. Tapi masuk ke akar rumput itu diartikan berbeda," katanya.
Ia mengatakan berdasarkan hasil survei Unicef terhadap 2.000 responden dengan latar belakang ekonomi berbeda, laki-laki dan perempuan usia 15-65 tahun di Medan, Jakarta Bandung, Sekarang Surabaya, dan Makassar baru-baru ini disimpulkan bahwa masyarakat saat ini tidak takut ketularan COVID-19 walaupun mereka mengakui bahwa penyakit itu berbahaya.
Hasil survei melaporkan 42,7 persen responden tahu bahwa penularan virus dibawa oleh percikan dari mulut atau hidung (droplet), 80,4 persen tahu bahwa virus dapat keluar melalui pernapasan, bicara, bersin dan batuk.
"Mayoritas responden melihat virus keluar melalui batu atau bersin," katanya.
Selain itu, 16,9 persen responden tahu bahwa virus bisa terhirup, masuk melalui mata, mulut kalau berdekatan dengan orang yang sedang terjangkit. "Angkanya semakin kecil, tentang pengetahuan penularan langsung," katanya.
Sebanyak 19 persen responden tahu bahwa virus dapat menempel di tangan yang menyentuhnya dan masuk lewat mata, hidung atau mulut. "Secara umum tingkat pemahaman masyarakat masih kurang sehingga perlu dikuatkan lagi," katanya.
Untuk itu pola komunikasi yang tepat adalah mengajak masyarakat untuk mau belajar dari situasi yang ada. "Tidak perlu detail, tapi paling tidak mereka paham kerangka logisnya," katanya.
Selain itu diskusi di masyarakat tidak sekadar penyuluhan tapi juga membangun kesepakatan bersama terkait perilaku yang bisa mencegah penyakit di masyarakat sebab COVID-19 bukan persoalan individu melainkan komunitas.
"Ketika di nasional disebut-sebut kita mau transisi menuju endemi, kita mau buat pelonggaran, itu di akar rumput dampaknya luar biasa," kata Risang Rimbatmaja dalam Diskusi RCEE #23 "Pandemi Menuju Endemi: Siapkah Kita?" yang diikuti dari YouTube Internet Sehat di Jakarta, Jumat sore.
Ia mengatakan narasi tersebut memicu tanggapan beragam masyarakat, salah satunya dialami peserta ritual ngelawang di Provinsi Bali.
Ngelawang merupakan tradisi yang ditujukan untuk menolak bala atau petaka. Ritual ngelawang dilakukan dengan berkeliling desa sembari menarikan tarian barong bangkung.
"Ajakan berkegiatan didebat. Teman di Bali yang sudah punya agenda ngelawang di kampung-kampung kemudian batal gara-gara tokoh agama dan tokoh masyarakat bilang, tidak perlu, sudah bebas COVID-19 sekarang," katanya.
Menurut Risang, narasi transisi menuju endemi merupakan pembahasan internal kalangan otoritas terkait yang tidak seharusnya sampai ke level akar rumput.
"Kalau masyarakatnya di level akademik, mungkin bisa paham. Tapi masuk ke akar rumput itu diartikan berbeda," katanya.
Ia mengatakan berdasarkan hasil survei Unicef terhadap 2.000 responden dengan latar belakang ekonomi berbeda, laki-laki dan perempuan usia 15-65 tahun di Medan, Jakarta Bandung, Sekarang Surabaya, dan Makassar baru-baru ini disimpulkan bahwa masyarakat saat ini tidak takut ketularan COVID-19 walaupun mereka mengakui bahwa penyakit itu berbahaya.
Hasil survei melaporkan 42,7 persen responden tahu bahwa penularan virus dibawa oleh percikan dari mulut atau hidung (droplet), 80,4 persen tahu bahwa virus dapat keluar melalui pernapasan, bicara, bersin dan batuk.
"Mayoritas responden melihat virus keluar melalui batu atau bersin," katanya.
Selain itu, 16,9 persen responden tahu bahwa virus bisa terhirup, masuk melalui mata, mulut kalau berdekatan dengan orang yang sedang terjangkit. "Angkanya semakin kecil, tentang pengetahuan penularan langsung," katanya.
Sebanyak 19 persen responden tahu bahwa virus dapat menempel di tangan yang menyentuhnya dan masuk lewat mata, hidung atau mulut. "Secara umum tingkat pemahaman masyarakat masih kurang sehingga perlu dikuatkan lagi," katanya.
Untuk itu pola komunikasi yang tepat adalah mengajak masyarakat untuk mau belajar dari situasi yang ada. "Tidak perlu detail, tapi paling tidak mereka paham kerangka logisnya," katanya.
Selain itu diskusi di masyarakat tidak sekadar penyuluhan tapi juga membangun kesepakatan bersama terkait perilaku yang bisa mencegah penyakit di masyarakat sebab COVID-19 bukan persoalan individu melainkan komunitas.
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022
Tags: