BKKBN: Waktu Indonesia untuk raih bonus demografi kian maju
11 Maret 2022 14:20 WIB
Tangkapan layar Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo dalam peluncuran Pemeriksaan Kesehatan 3 Bulan Pranikah Sebagai Upaya Pencegahan Stunting Kepada Catin yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat (11/3/2022). (FOTO ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)
Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyebutkan bila waktu negara Indonesia untuk dapat meraih bonus demografi semakin maju.
“Hari ini perbandingan antara yang usia produktif dibanding tidak produktif angkanya 41,” katanya dalam peluncuran Pemeriksaan Kesehatan 3 Bulan Pranikah Sebagai Upaya Pencegahan Stunting Kepada Catin yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan angka 41 dalam perbandingan proporsi penduduk itu berarti setiap 100 orang penduduk yang produktif, dapat menanggung hidup 41 orang yang tidak produktif seperti penduduk lanjut usia (lansia).
Perbandingan itu, kata dia, semula diduga para ahli kependudukan akan tercapai oleh negara pada tahun 2025 mendatang. Namun, angka tersebut saat ini sudah teraih karena angka kelahiran total (TFR) atau jumlah anak yang dilahirkan oleh ibu selama masa reproduksinya turun menjadi rata-rata 2,2.
“Ternyata proporsi itu maju karena TFR atau jumlah anak yang dilahirkan ibu sudah cepat turun rata rata 2,2 sehingga waktu bonus demografinya agak maju,” katanya.
Melihat waktu untuk meraih bonus demografi semakin maju, ia mengaku merasa cemas seandainya jumlah anak yang lahir dalam keadaan kerdil (stunting) masih tinggi sehingga angka prevalensi kekerdilan tersebut harus secepatnya diturunkan.
“Stunting harus secepatnya turun, kalau kesempatan itu sampai pada kita, untuk sejahtera sebagai bonus demografi, (kalau stuntingnya tidak turun) 'window opportunity' ini bisa lewat. Akan sulit untuk mengejar bonus demografi yang kedua, itulah kesempatan kaya kita sekarang,” katanya.
Baca juga: Bappenas: stunting bisa akibatkan bonus demografi sia-sia
Baca juga: Kominfo : "stunting" ancaman bonus demografi 2030
Selain angka kekerdilan yang masih berada pada angka 24,4 persen, kata dia, bonus demografi di Indonesia juga harus menghadapi tantangan di mana sejumlah daerah seperti Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur mulai mengalami penuaan penduduk atau "aging population".
Menurutnya bila sebuah daerah memasuki proposisi penuaan penduduk, maka daerah tersebut akan memiliki beban baru berupa mengurus dan menanggung hidup dari para lansia yang tidak hidup dengan produktif.
Agar dapat meraih bonus demografi itu, kata dia, pada Jumat (11/3) ini di Bantul, Yogyakarta BKKBN bersama Kementerian Agama meresmikan program pemeriksaan kesehatan tiga bulan sebelum menikah pada calon pengantin sebagai salah satu upaya untuk mengentaskan kekerdilan.
Melalui program itu nantinya calon ibu akan melalui sejumlah skrining kesehatan mulai dari periksa hemoglobin (Hb) dalam darah, memeriksa ukuran lingkar lengan atas, berat badan serta tinggi badannya.
Tujuan dilakukannya pemeriksaan itu ialah memastikan semua perempuan yang merencanakan kehamilan, tidak terkena anemia, kekurangan energi kronik (KEK), malnutrisi sehingga dapat dinyatakan layak untuk hamil.
Bila melalui pemeriksaan itu hasil yang didapatkan oleh calon ibu tidak memenuhi standar kehamilan, kata dia, BKKBN menyatakan tidak akan melarang para calon pengantin untuk menikah. ‘
Hanya saja, nantinya calon ibu akan mendapatkan pendampingan dari Tim Pendamping Keluarga (TPK) agar kesehatannya membaik dan anak yang dilahirkan tidak tengkes atau kerdil.
Sembari menyosialisasikan program baru tersebut, ia berharap semua pihak turut fokus dan bekerja sama untuk menyelesaikan masalah kekerdilan pada anak di Indonesia guna menciptakan generasi yang sehat dan unggul di masa depan.
“Kesempatan celah bonus demografi ini adanya di periode-periode sekarang. Untuk itu sumber daya manusianya harus unggul, karena keluarga yang berkualitas itu sangat menentukan kualitas generasi kita,” demikian Hasto Wardoyo.
Baca juga: BKKBN: Stunting harus turun agar Indonesia raih bonus demografi
Baca juga: Perlu fokus capai bonus demografi yang hanya terjadi sebentar
Baca juga: BKKBN tegaskan stunting dapat menghambat bonus demografi
Baca juga: CIPS: malnutrisi ganda ancaman bonus demografi Indonesia
“Hari ini perbandingan antara yang usia produktif dibanding tidak produktif angkanya 41,” katanya dalam peluncuran Pemeriksaan Kesehatan 3 Bulan Pranikah Sebagai Upaya Pencegahan Stunting Kepada Catin yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan angka 41 dalam perbandingan proporsi penduduk itu berarti setiap 100 orang penduduk yang produktif, dapat menanggung hidup 41 orang yang tidak produktif seperti penduduk lanjut usia (lansia).
Perbandingan itu, kata dia, semula diduga para ahli kependudukan akan tercapai oleh negara pada tahun 2025 mendatang. Namun, angka tersebut saat ini sudah teraih karena angka kelahiran total (TFR) atau jumlah anak yang dilahirkan oleh ibu selama masa reproduksinya turun menjadi rata-rata 2,2.
“Ternyata proporsi itu maju karena TFR atau jumlah anak yang dilahirkan ibu sudah cepat turun rata rata 2,2 sehingga waktu bonus demografinya agak maju,” katanya.
Melihat waktu untuk meraih bonus demografi semakin maju, ia mengaku merasa cemas seandainya jumlah anak yang lahir dalam keadaan kerdil (stunting) masih tinggi sehingga angka prevalensi kekerdilan tersebut harus secepatnya diturunkan.
“Stunting harus secepatnya turun, kalau kesempatan itu sampai pada kita, untuk sejahtera sebagai bonus demografi, (kalau stuntingnya tidak turun) 'window opportunity' ini bisa lewat. Akan sulit untuk mengejar bonus demografi yang kedua, itulah kesempatan kaya kita sekarang,” katanya.
Baca juga: Bappenas: stunting bisa akibatkan bonus demografi sia-sia
Baca juga: Kominfo : "stunting" ancaman bonus demografi 2030
Selain angka kekerdilan yang masih berada pada angka 24,4 persen, kata dia, bonus demografi di Indonesia juga harus menghadapi tantangan di mana sejumlah daerah seperti Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur mulai mengalami penuaan penduduk atau "aging population".
Menurutnya bila sebuah daerah memasuki proposisi penuaan penduduk, maka daerah tersebut akan memiliki beban baru berupa mengurus dan menanggung hidup dari para lansia yang tidak hidup dengan produktif.
Agar dapat meraih bonus demografi itu, kata dia, pada Jumat (11/3) ini di Bantul, Yogyakarta BKKBN bersama Kementerian Agama meresmikan program pemeriksaan kesehatan tiga bulan sebelum menikah pada calon pengantin sebagai salah satu upaya untuk mengentaskan kekerdilan.
Melalui program itu nantinya calon ibu akan melalui sejumlah skrining kesehatan mulai dari periksa hemoglobin (Hb) dalam darah, memeriksa ukuran lingkar lengan atas, berat badan serta tinggi badannya.
Tujuan dilakukannya pemeriksaan itu ialah memastikan semua perempuan yang merencanakan kehamilan, tidak terkena anemia, kekurangan energi kronik (KEK), malnutrisi sehingga dapat dinyatakan layak untuk hamil.
Bila melalui pemeriksaan itu hasil yang didapatkan oleh calon ibu tidak memenuhi standar kehamilan, kata dia, BKKBN menyatakan tidak akan melarang para calon pengantin untuk menikah. ‘
Hanya saja, nantinya calon ibu akan mendapatkan pendampingan dari Tim Pendamping Keluarga (TPK) agar kesehatannya membaik dan anak yang dilahirkan tidak tengkes atau kerdil.
Sembari menyosialisasikan program baru tersebut, ia berharap semua pihak turut fokus dan bekerja sama untuk menyelesaikan masalah kekerdilan pada anak di Indonesia guna menciptakan generasi yang sehat dan unggul di masa depan.
“Kesempatan celah bonus demografi ini adanya di periode-periode sekarang. Untuk itu sumber daya manusianya harus unggul, karena keluarga yang berkualitas itu sangat menentukan kualitas generasi kita,” demikian Hasto Wardoyo.
Baca juga: BKKBN: Stunting harus turun agar Indonesia raih bonus demografi
Baca juga: Perlu fokus capai bonus demografi yang hanya terjadi sebentar
Baca juga: BKKBN tegaskan stunting dapat menghambat bonus demografi
Baca juga: CIPS: malnutrisi ganda ancaman bonus demografi Indonesia
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022
Tags: