Gunung Tambora masih berstatus siaga
12 September 2011 13:40 WIB
Gunung Tambora, di perbatasan Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu, NTB. Tambora adalah gunung berapi purba yang siklusnya terbilang sangat lama. Erupsi yang pernah terjadi dari gunung ini sangat luar biasa. (duniagrafiskita.blogspot.com)
Mataram, NTB (ANTARA News) - Hasil pengamatan visual dan catatan aktivitas kegempaan Gunung Api Tambora, di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, masih berstatus Siaga pada level III.
"Belum ada peningkatan atau penurunan status," kata Kepala Bidang Geologi dan Sumber Daya Mineral Dinas Pertambangan dan Energi NTB, Muhammaddin, di Mataram, Senin.
Untuk memastikan status gunung berapi itu, dia berkomunikasi via telepon selular dengan Abdul Haris selaku Petugas Pos Pengamat Gunung Api Tambora di Doropeti, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu.
Dengan begitu, status Siaga tingkat III sejak 8 September lalu belum berubah.
Namun, pengamatan visual dan pencatatan aktivitas kegempaan terus dilakukan serta menyiapkan langkah-langkah antisipasi, jika terjadi peningkatan status dari Siaga menjadi Awas.
"Dalam kondisi ini semestinya masyarakat tidak perlu panik berlebihan, namun tidak boleh melakukan aktivitas apapun di kawasan Gunung Tambora, apalagi di kawasan rawan bencana," ujarnya.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana pun sudah membagi Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Api Tambora, yakni KRB III pada radius tiga kilometer dari pusat kegempaan, KRB II pada redius lima kilometer dan KRB I pada radius delapan kilometer.
Pada KRB III berpotensi dilanda awan panas, aliran lava dan gas beracun, serta lontaran batu pijar dan hujan abu lebat.
Pada KRB II berpotensi dilanda awan panas, aliran lava dan gas beracun, serta lontaran atau guguran batu pijar, hujan abu lebat, hujan lumpur panas, aliran lahar, dan air dengan keasaman tinggi.
Pada KRB I berpotensi dilanda lahar, hujan abu dan kemungkinan terkena lontaran batu pijar.
Muhammaddin memastikan bahwa tidak ada permukiman penduduk di kawasan rawan bencana itu, baik KRB III, II dan I.
"Sejauh ini belum ada permukiman di kawasan rawan bencana itu, namun masyarakat tidak diperbolehkan beraktivitas apapun di kawasan tersebut," ujarnya.
Dia mengimbau semua komponen masyarakat terutama yang bermukim di sekitar Gunung Tambora meskipun tidak dalam kawasan rawan bencana, agar tidak mudah terpancing isu-isu yang tidak bertanggungjawab.
Peningkatan status Gunung Api Tambora dari Normal menjadi waspada, terhitung mulai 30 Agustus 2011. Pada 5 September teramati adanya hembusan asap kawah berwarna putih tipis setinggi 10 meter dari bibir kawah.
Selain pengamatan visual, juga tercatat adanya peningkatan aktivitas kegempaan dalam rentang waktu 30 Agustus sampai 6 September, dengan rincian kejadian gempa vulkanik dalam antara 5-15 kali, gempa vulkanik dangkal 1-7 kali, gempa tektonik lokal 1-4 kali, gempa tektonik jauh 2-13 kali.
Selain itu, adanya gempa frekuensi rendah 1-6 kali disertai gerakan tremor dengan amplitudo antara 0,5-9 milimeter (dominan 1 milimeter) tiap harinya.
Pada 7 September, terjadi peningkatan yang signifikan pada aktivitas kegempaan terutama gempa vulkanik dalam, terekam 32 kali kejadian hanya dalam rentang waktu enam jam, dan vulkanik dangkal yang dikhawatirkan akan memicu peningkatan aktivitas vulkanik yang lebih besar.
Atas kejadian itu, keesohan harinya Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana menaikkan statu Gunung Api Tambora dari Waspada pada level II menjadi Siaga pada level III.
Pemantauan visual dan pencatatan aktivitas kegempaan makin ditingkatkan, namun dalam lima hari terakhir ini, tidak terjadi peningkatan sehingga masih tetap berstatus Siaga.
Gunung Api Tambora bertipe A karena masih menunjukkan aktivitas sesudah tahun 1600, yang terletak di wilayah Kabupaten Dompu dan Bima, Provinsi NTB, dan memiliki tinggi 2.815 meter dari permukaan laut.
Gunung Api Tambora tercatat dalam sejarah letusan paroksimal pada tahun 1815, yang menyebabkan terkuburnya tiga kerajaan yakni Kerajaan Pekat, Tambora dan Sanggar, dan menelan korban jiwa sekitar 92 ribu orang. (ANT)
"Belum ada peningkatan atau penurunan status," kata Kepala Bidang Geologi dan Sumber Daya Mineral Dinas Pertambangan dan Energi NTB, Muhammaddin, di Mataram, Senin.
Untuk memastikan status gunung berapi itu, dia berkomunikasi via telepon selular dengan Abdul Haris selaku Petugas Pos Pengamat Gunung Api Tambora di Doropeti, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu.
Dengan begitu, status Siaga tingkat III sejak 8 September lalu belum berubah.
Namun, pengamatan visual dan pencatatan aktivitas kegempaan terus dilakukan serta menyiapkan langkah-langkah antisipasi, jika terjadi peningkatan status dari Siaga menjadi Awas.
"Dalam kondisi ini semestinya masyarakat tidak perlu panik berlebihan, namun tidak boleh melakukan aktivitas apapun di kawasan Gunung Tambora, apalagi di kawasan rawan bencana," ujarnya.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana pun sudah membagi Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Api Tambora, yakni KRB III pada radius tiga kilometer dari pusat kegempaan, KRB II pada redius lima kilometer dan KRB I pada radius delapan kilometer.
Pada KRB III berpotensi dilanda awan panas, aliran lava dan gas beracun, serta lontaran batu pijar dan hujan abu lebat.
Pada KRB II berpotensi dilanda awan panas, aliran lava dan gas beracun, serta lontaran atau guguran batu pijar, hujan abu lebat, hujan lumpur panas, aliran lahar, dan air dengan keasaman tinggi.
Pada KRB I berpotensi dilanda lahar, hujan abu dan kemungkinan terkena lontaran batu pijar.
Muhammaddin memastikan bahwa tidak ada permukiman penduduk di kawasan rawan bencana itu, baik KRB III, II dan I.
"Sejauh ini belum ada permukiman di kawasan rawan bencana itu, namun masyarakat tidak diperbolehkan beraktivitas apapun di kawasan tersebut," ujarnya.
Dia mengimbau semua komponen masyarakat terutama yang bermukim di sekitar Gunung Tambora meskipun tidak dalam kawasan rawan bencana, agar tidak mudah terpancing isu-isu yang tidak bertanggungjawab.
Peningkatan status Gunung Api Tambora dari Normal menjadi waspada, terhitung mulai 30 Agustus 2011. Pada 5 September teramati adanya hembusan asap kawah berwarna putih tipis setinggi 10 meter dari bibir kawah.
Selain pengamatan visual, juga tercatat adanya peningkatan aktivitas kegempaan dalam rentang waktu 30 Agustus sampai 6 September, dengan rincian kejadian gempa vulkanik dalam antara 5-15 kali, gempa vulkanik dangkal 1-7 kali, gempa tektonik lokal 1-4 kali, gempa tektonik jauh 2-13 kali.
Selain itu, adanya gempa frekuensi rendah 1-6 kali disertai gerakan tremor dengan amplitudo antara 0,5-9 milimeter (dominan 1 milimeter) tiap harinya.
Pada 7 September, terjadi peningkatan yang signifikan pada aktivitas kegempaan terutama gempa vulkanik dalam, terekam 32 kali kejadian hanya dalam rentang waktu enam jam, dan vulkanik dangkal yang dikhawatirkan akan memicu peningkatan aktivitas vulkanik yang lebih besar.
Atas kejadian itu, keesohan harinya Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana menaikkan statu Gunung Api Tambora dari Waspada pada level II menjadi Siaga pada level III.
Pemantauan visual dan pencatatan aktivitas kegempaan makin ditingkatkan, namun dalam lima hari terakhir ini, tidak terjadi peningkatan sehingga masih tetap berstatus Siaga.
Gunung Api Tambora bertipe A karena masih menunjukkan aktivitas sesudah tahun 1600, yang terletak di wilayah Kabupaten Dompu dan Bima, Provinsi NTB, dan memiliki tinggi 2.815 meter dari permukaan laut.
Gunung Api Tambora tercatat dalam sejarah letusan paroksimal pada tahun 1815, yang menyebabkan terkuburnya tiga kerajaan yakni Kerajaan Pekat, Tambora dan Sanggar, dan menelan korban jiwa sekitar 92 ribu orang. (ANT)
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2011
Tags: