Artikel
Kiprah Indonesia perkuat perdamaian dan kesejahteraan di kancah global
Oleh Martha Herlinawati Simanjuntak
10 Maret 2022 14:06 WIB
Dokumen - Suasana pertemuan Presiden Joko Widodo bersama Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Jakarta pada Kamis (10/10/2019). (Bayu Prasetyo)
Jakarta (ANTARA) - Dalam percaturan internasional, Indonesia semakin mengukuhkan perannya untuk membawa perubahan dunia ke arah yang lebih baik dengan mengedepankan perdamaian, stabilitas kawasan dan membangun kerja sama saling menguntungkan dan berkeadilan.
Selain berupaya mempengaruhi tatanan global untuk dunia yang lebih baik, Indonesia juga menyisipkan kepentingan domestik dalam kebijakan politik luar negerinya, untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat.
Dalam memainkan peran politiknya, Indonesia sebagai negara kekuatan menengah memiliki ruang untuk melakukan manuver-manuver saat menghadapi negara besar.
Hal itu dikarenakan Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi besar dari sejumlah aspek, antara lain geografi, penduduk, ekonomi dan militer. Selain itu, Indonesia juga terus memperkuat perannya di tingkat regional dan global.
Negara kekuatan menengah (middle power) merupakan negara yang berada pada bagian tengah hirarki, sehingga mempunyai kemampuan mempengaruhi yang moderat, yaitu lebih rendah dari negara-negara berkekuatan besar (great power), tetapi berada di atas negara-negara small power.
Secara geografi, Indonesia mempunyai posisi strategis dalam geopolitik dan geoekonomi global. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang berada di antara dua samudera, yakni Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, dan dua benua, yaitu Asia dan Australia.
Selain sebagai wilayah yang terluas di Asia Tenggara dan kaya akan sumber daya alam, Indonesia juga dilalui jalur pelayaran perdagangan internasional, yakni Selat Malaka, Sunda, Makassar dan Lombok. Kekuatan itu menjadi salah satu modal Indonesia menjadi negara kekuatan menengah yang dipandang di pentas internasional.
Di samping itu, Prof riset Ganewati Wuryandari di lingkungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang memiliki kepakaran di bidang hubungan internasional mengatakan, tingginya keterlibatan Indonesia dalam kancah global karena Indonesia menyandang berbagai peran internasional yang diaktualisasikan ke dalam pelbagai kebijakan luar negeri.
"Negara kekuatan menengah bukan semata policy takers, melainkan juga dapat berperan sebagai policy makers yang ikut berperan aktif dalam tatanan global politik internasional," ujarnya.
Dalam orasi ilmiahnya tentang "Politik Luar Negeri Era Reformasi", Ganewati menyoroti kebangkitan Indonesia sebagai negara kekuatan menengah dalam percaturan regional dan global sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi).
Pada era kepemimpinan SBY sejak 2004, politik luar negeri bebas-aktif Indonesia dilakukan dengan pendekatan ke segala arah atau all-directions foreign policy, dibarengi dengan semangat menciptakan jutaan sahabat dan tidak ada satupun musuh (million friends and zero enemies).
SBY memberikan penekanan pada pentingnya regionalisme dan multilateralisme, serta fokus membangun hubungan bilateral dengan negara-negara kunci di kawasan dalam bentuk kemitraan strategis dan kemitraan komprehensif.
Banyak kemitraan bilateral dan internasional terjalin, di antaranya perjanjian bilateral pertahanan serta kesepakatan keamanan dan kemitraan dengan berbagai negara di dunia, termasuk dengan negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, China, Jepang, Rusia dan India. Kemitraan strategis untuk kerja sama ekonomi melalui perjanjian perdagangan Indonesia dengan negara-negara mitra juga tercipta.
Sedangkan politik luar negeri Indonesia pada pemerintahan Jokowi cenderung menggunakan pendekatan yang lebih pragmatis, yakni membawa keuntungan domestik dan memperkuat kedaulatan dan integritas wilayah Indonesia, serta menekankan identitas Indonesia sebagai negara kepulauan, dan sebagai Poros Maritim Dunia.
Berdasarkan orasi ilmiah Ganewati, Jokowi mengaitkan kemitraan antarnegara dan global dengan kepentingan nasional dan kepentingan bersama dengan negara mitra, yaitu isu-isu yang terkait dengan keamanan, keselamatan dan pembangunan maritim.
Dalam pemerintahannya, Jokowi semakin memperkuat kemitraan strategis dan komprehensif serta mampu lebih mempererat hubungan baik secara bilateral dengan negara-negara kunci di kawasan, seperti Jepang, China, dan India, sekaligus menarik manfaat dari persaingan di antara mereka.
Pemberian izin pembangunan industri perikanan di enam pulau terluar (Sabang, Natuna, Morotai, Saumlaki, Moa, dan Biak) ke Jepang, izin pembangunan pelabuhan di Sabang ke India, serta izin pembangunan kereta api cepat Bandung–Jakarta ke China, menjadi indikasi atas kemampuan Indonesia menentukan arah hubungan bilateral dengan negara-negara besar di kawasan untuk kepentingan nasionalnya.
Meskipun ada orientasi politik luar negeri yang berbeda pada kedua pemerintahan, namun Jokowi dan SBY meletakkan pandangan sama tentang Indonesia sebagai negara kekuatan menengah serta berupaya membangun diplomasi kekuatan menengah.
Hal itu tampak dari proyeksi diplomasi kekuatan menengah sebagai target Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Luar Negeri 2015–2019 dan 2020–2024, yaitu memperbesar kontribusi dan meningkatkan peran global sebagai kekuatan menengah untuk mewujudkan dan menjaga perdamaian dan keamanan dunia serta kemakmuran bersama. Peran ini menjadi semakin penting, terutama di tengah ketidakpastian situasi keamanan dan ekonomi global.
Menurut Ganewati, kebangkitan politik luar negeri Indonesia sebagai negara menengah pada masa SBY dan Jokowi dapat dilihat dari dua hal, yakni mempromosikan demokrasi, hak asasi manusia (HAM), Islam, dan negara kepulauan serta merespons ketidakpastian lingkungan strategis.
SBY dan Jokowi membangun citra Indonesia sebagai negara demokratis, peduli HAM dan memiliki corak Islam yang moderat.
Di sisi lain, dalam menjaga keamanan regional, pemerintahan SBY dan Jokowi memiliki pandangan yang sama tentang pentingnya membangun ekosistem perdamaian, stabilitas dan kesejahteraan di kawasan.
Indonesia juga kerap membagikan pengalaman demokrasi di tingkat bilateral, regional dan internasional. Sebagai contoh, Indonesia mempromosikan demokrasi dalam kasus Myanmar.
Pada tingkat regional, Indonesia menginisiasi dan memasukkan kerja sama regional untuk mempromosikan demokrasi, perlindungan HAM dan tata kelola pemerintahan yang baik di ASEAN Political Security Community dan Piagam ASEAN.
Selain itu, Indonesia juga menunjukkan kepemimpinannya pada tingkat multilateral dengan melembagakan norma demokrasi dan HAM melalui Bali Democracy Forum.
Sebagaimana disampaikan Presiden Republik Indonesia Jokowi, Indonesia terus memegang komitmennya untuk memajukan demokrasi dan HAM, baik pada level kawasan maupun global.
Untuk itu, Bali Democracy Forum menjadi forum antarpemerintah untuk berbagi perspektif mengenai demokrasi tanpa saling menyalahkan dan bertukar praktik terbaik dalam memperkokoh demokrasi dan mengelola tantangan dalam mewujudkan demokrasi.
Bali Democracy Forum merupakan forum kerja sama tahunan negara-negara demokrasi di Asia yang bertujuan untuk memperkuat kapasitas demokrasi dan institusi demokrasi melalui diskusi antarnegara.
Bagian dari solusi pandemi
Diplomasi Indonesia sebagai negara kekuatan menengah memiliki karakter utama menjembatani berbagai perbedaan dan menjadi bagian dari solusi.
Ganewati menuturkan Indonesia terus berusaha membangun koalisi untuk memperkuat paradigma kerja sama yang saling menguntungkan dan berkeadilan. Karakter dan peran tersebut semakin terlihat di tengah meningkatnya rivalitas dan sikap proteksionisme yang terjadi, bahkan selama pandemi COVID-19.
Indonesia sangat aktif mendukung upaya penanganan pandemi global dan secara konsisten memperjuangkan prinsip vaksin sebagai barang umum dengan akses setara, aman dan harga terjangkau.
Indonesia juga menginisiasi resolusi tentang penguatan ketahanan kesehatan global di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di tengah pandemi COVID-19 yang melanda dunia.
Tiga resolusi yang disahkan PBB tersebut adalah Global Solidarity to fight COVID-19; Global Health and Foreign Policy: Strengthening Health System Resilience through Affordable Healthcare for All; dan International cooperation to address challenges faced by seafarers as a result of the COVID-19 pandemic to support global supply chains.
Global Health and Foreign Policy: Strengthening Health System Resilience through Affordable Healthcare for All menekankan pentingnya layanan kesehatan yang mudah diakses dan terjangkau untuk memperkuat sistem ketahanan kesehatan global.
Inisiatif Indonesia itu adalah bentuk nyata tindak lanjut dari pernyataan Presiden RI Jokowi saat pidato di Sidang Majelis Umum Ke-75 PBB yang menekankan pentingnya kolaborasi dan kepemimpinan kolektif global dalam menangani pandemi.
Selain itu, dalam menunjukkan komitmen untuk lebih berkontribusi bagi perdamaian dan isu kemanusiaan dunia, sebelum akhir 2019, Indonesia telah meluncurkan Indonesian-AID, yaitu dana kerja sama pembangunan.
Indonesia terus berupaya menjadi bagian dari solusi dunia untuk merealisasikan langkah-langkah praktis dalam mendorong kehidupan dunia yang damai, adil, dan sejahtera untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat internasional.
Selain berupaya mempengaruhi tatanan global untuk dunia yang lebih baik, Indonesia juga menyisipkan kepentingan domestik dalam kebijakan politik luar negerinya, untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat.
Dalam memainkan peran politiknya, Indonesia sebagai negara kekuatan menengah memiliki ruang untuk melakukan manuver-manuver saat menghadapi negara besar.
Hal itu dikarenakan Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi besar dari sejumlah aspek, antara lain geografi, penduduk, ekonomi dan militer. Selain itu, Indonesia juga terus memperkuat perannya di tingkat regional dan global.
Negara kekuatan menengah (middle power) merupakan negara yang berada pada bagian tengah hirarki, sehingga mempunyai kemampuan mempengaruhi yang moderat, yaitu lebih rendah dari negara-negara berkekuatan besar (great power), tetapi berada di atas negara-negara small power.
Secara geografi, Indonesia mempunyai posisi strategis dalam geopolitik dan geoekonomi global. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang berada di antara dua samudera, yakni Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, dan dua benua, yaitu Asia dan Australia.
Selain sebagai wilayah yang terluas di Asia Tenggara dan kaya akan sumber daya alam, Indonesia juga dilalui jalur pelayaran perdagangan internasional, yakni Selat Malaka, Sunda, Makassar dan Lombok. Kekuatan itu menjadi salah satu modal Indonesia menjadi negara kekuatan menengah yang dipandang di pentas internasional.
Di samping itu, Prof riset Ganewati Wuryandari di lingkungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang memiliki kepakaran di bidang hubungan internasional mengatakan, tingginya keterlibatan Indonesia dalam kancah global karena Indonesia menyandang berbagai peran internasional yang diaktualisasikan ke dalam pelbagai kebijakan luar negeri.
"Negara kekuatan menengah bukan semata policy takers, melainkan juga dapat berperan sebagai policy makers yang ikut berperan aktif dalam tatanan global politik internasional," ujarnya.
Dalam orasi ilmiahnya tentang "Politik Luar Negeri Era Reformasi", Ganewati menyoroti kebangkitan Indonesia sebagai negara kekuatan menengah dalam percaturan regional dan global sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi).
Pada era kepemimpinan SBY sejak 2004, politik luar negeri bebas-aktif Indonesia dilakukan dengan pendekatan ke segala arah atau all-directions foreign policy, dibarengi dengan semangat menciptakan jutaan sahabat dan tidak ada satupun musuh (million friends and zero enemies).
SBY memberikan penekanan pada pentingnya regionalisme dan multilateralisme, serta fokus membangun hubungan bilateral dengan negara-negara kunci di kawasan dalam bentuk kemitraan strategis dan kemitraan komprehensif.
Banyak kemitraan bilateral dan internasional terjalin, di antaranya perjanjian bilateral pertahanan serta kesepakatan keamanan dan kemitraan dengan berbagai negara di dunia, termasuk dengan negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, China, Jepang, Rusia dan India. Kemitraan strategis untuk kerja sama ekonomi melalui perjanjian perdagangan Indonesia dengan negara-negara mitra juga tercipta.
Sedangkan politik luar negeri Indonesia pada pemerintahan Jokowi cenderung menggunakan pendekatan yang lebih pragmatis, yakni membawa keuntungan domestik dan memperkuat kedaulatan dan integritas wilayah Indonesia, serta menekankan identitas Indonesia sebagai negara kepulauan, dan sebagai Poros Maritim Dunia.
Berdasarkan orasi ilmiah Ganewati, Jokowi mengaitkan kemitraan antarnegara dan global dengan kepentingan nasional dan kepentingan bersama dengan negara mitra, yaitu isu-isu yang terkait dengan keamanan, keselamatan dan pembangunan maritim.
Dalam pemerintahannya, Jokowi semakin memperkuat kemitraan strategis dan komprehensif serta mampu lebih mempererat hubungan baik secara bilateral dengan negara-negara kunci di kawasan, seperti Jepang, China, dan India, sekaligus menarik manfaat dari persaingan di antara mereka.
Pemberian izin pembangunan industri perikanan di enam pulau terluar (Sabang, Natuna, Morotai, Saumlaki, Moa, dan Biak) ke Jepang, izin pembangunan pelabuhan di Sabang ke India, serta izin pembangunan kereta api cepat Bandung–Jakarta ke China, menjadi indikasi atas kemampuan Indonesia menentukan arah hubungan bilateral dengan negara-negara besar di kawasan untuk kepentingan nasionalnya.
Meskipun ada orientasi politik luar negeri yang berbeda pada kedua pemerintahan, namun Jokowi dan SBY meletakkan pandangan sama tentang Indonesia sebagai negara kekuatan menengah serta berupaya membangun diplomasi kekuatan menengah.
Hal itu tampak dari proyeksi diplomasi kekuatan menengah sebagai target Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Luar Negeri 2015–2019 dan 2020–2024, yaitu memperbesar kontribusi dan meningkatkan peran global sebagai kekuatan menengah untuk mewujudkan dan menjaga perdamaian dan keamanan dunia serta kemakmuran bersama. Peran ini menjadi semakin penting, terutama di tengah ketidakpastian situasi keamanan dan ekonomi global.
Menurut Ganewati, kebangkitan politik luar negeri Indonesia sebagai negara menengah pada masa SBY dan Jokowi dapat dilihat dari dua hal, yakni mempromosikan demokrasi, hak asasi manusia (HAM), Islam, dan negara kepulauan serta merespons ketidakpastian lingkungan strategis.
SBY dan Jokowi membangun citra Indonesia sebagai negara demokratis, peduli HAM dan memiliki corak Islam yang moderat.
Di sisi lain, dalam menjaga keamanan regional, pemerintahan SBY dan Jokowi memiliki pandangan yang sama tentang pentingnya membangun ekosistem perdamaian, stabilitas dan kesejahteraan di kawasan.
Indonesia juga kerap membagikan pengalaman demokrasi di tingkat bilateral, regional dan internasional. Sebagai contoh, Indonesia mempromosikan demokrasi dalam kasus Myanmar.
Pada tingkat regional, Indonesia menginisiasi dan memasukkan kerja sama regional untuk mempromosikan demokrasi, perlindungan HAM dan tata kelola pemerintahan yang baik di ASEAN Political Security Community dan Piagam ASEAN.
Selain itu, Indonesia juga menunjukkan kepemimpinannya pada tingkat multilateral dengan melembagakan norma demokrasi dan HAM melalui Bali Democracy Forum.
Sebagaimana disampaikan Presiden Republik Indonesia Jokowi, Indonesia terus memegang komitmennya untuk memajukan demokrasi dan HAM, baik pada level kawasan maupun global.
Untuk itu, Bali Democracy Forum menjadi forum antarpemerintah untuk berbagi perspektif mengenai demokrasi tanpa saling menyalahkan dan bertukar praktik terbaik dalam memperkokoh demokrasi dan mengelola tantangan dalam mewujudkan demokrasi.
Bali Democracy Forum merupakan forum kerja sama tahunan negara-negara demokrasi di Asia yang bertujuan untuk memperkuat kapasitas demokrasi dan institusi demokrasi melalui diskusi antarnegara.
Bagian dari solusi pandemi
Diplomasi Indonesia sebagai negara kekuatan menengah memiliki karakter utama menjembatani berbagai perbedaan dan menjadi bagian dari solusi.
Ganewati menuturkan Indonesia terus berusaha membangun koalisi untuk memperkuat paradigma kerja sama yang saling menguntungkan dan berkeadilan. Karakter dan peran tersebut semakin terlihat di tengah meningkatnya rivalitas dan sikap proteksionisme yang terjadi, bahkan selama pandemi COVID-19.
Indonesia sangat aktif mendukung upaya penanganan pandemi global dan secara konsisten memperjuangkan prinsip vaksin sebagai barang umum dengan akses setara, aman dan harga terjangkau.
Indonesia juga menginisiasi resolusi tentang penguatan ketahanan kesehatan global di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di tengah pandemi COVID-19 yang melanda dunia.
Tiga resolusi yang disahkan PBB tersebut adalah Global Solidarity to fight COVID-19; Global Health and Foreign Policy: Strengthening Health System Resilience through Affordable Healthcare for All; dan International cooperation to address challenges faced by seafarers as a result of the COVID-19 pandemic to support global supply chains.
Global Health and Foreign Policy: Strengthening Health System Resilience through Affordable Healthcare for All menekankan pentingnya layanan kesehatan yang mudah diakses dan terjangkau untuk memperkuat sistem ketahanan kesehatan global.
Inisiatif Indonesia itu adalah bentuk nyata tindak lanjut dari pernyataan Presiden RI Jokowi saat pidato di Sidang Majelis Umum Ke-75 PBB yang menekankan pentingnya kolaborasi dan kepemimpinan kolektif global dalam menangani pandemi.
Selain itu, dalam menunjukkan komitmen untuk lebih berkontribusi bagi perdamaian dan isu kemanusiaan dunia, sebelum akhir 2019, Indonesia telah meluncurkan Indonesian-AID, yaitu dana kerja sama pembangunan.
Indonesia terus berupaya menjadi bagian dari solusi dunia untuk merealisasikan langkah-langkah praktis dalam mendorong kehidupan dunia yang damai, adil, dan sejahtera untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat internasional.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022
Tags: