Jakarta (ANTARA News) - O.C. Kaligis selaku pengacara tersangka kasus suap wisma atlet SEA Games di Palembang, Muhammad Nazaruddin, mengatakan sebaiknya Komisi III DPR untuk menghadirkan alat uji kebohongan (lie detector) dalam sidang Komisi Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Jika alat uji kebohongan itu dihadirkan, maka akan diketahui siapa yang sebenarnya berbohong," kata Kaligis di Jakarta, Sabtu.

Menurut dia, sebaiknya dihadirkan alat uji kebohongan untuk mengklarifikasi keterangan Nazaruddin dengan Abdullah Hehamahua, Ade Raharja, Johan Budi maupun Busyro Mukodas.

Pernyataan tersebut terkait pemeriksaan Nazaruddin tanggal 8 September 2011 oleh Komisi Etik KPK, dan masing-masing pihak memberikan sanggahan telah berbohong.

Kaligis mengatakan, kedudukan Abdullah sebagai Ketua Komisik Etik KPK tidak dalam kapasitas memberikan penilaian terhadap kebenaran pernyataan dari Nazaruddin.

Namun, ia mengemukakan, pada pemeriksaan tersebut diduga adanya agenda tersembunyi dari Abdullah untuk menyamarkan dan menyelamatkan oknum KPK, khususnya Chandra M. Hamzah dan Ketua KPK, Busyro Mukodas.

Kaligis mengutip kliennya bahwa pada waktu pertama memberikan keterangan dan pertemuan dengan Chandra di rumahnya, Chandra menyangkal, namun Ade Raharja dan juru bicara KPK, Johan Budi membenarkan pernyataan Nazaruddin tersebut, serta kemudian Chandra segera meralat.

Sedangkan, Benny K. Harman, Ketua Komisi III DPR, menurut Kaligis, membenarkan adanya pertemuan di rumah Chandra, dan pertemuan itu adalah untuk membicarakan perkara.

Kaligis mengatakan, sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) KPK bahwa tidak dibenarkan adanya pertemuan tersebut, dan atas dasar itu maka Chandra seharusnya dikenakan sanksi kode etik.

"Sikap Abdulah justru melindungi Chandra, yaitu dengan memberikan keterangan pers yang menyatakan Nazaruddin telah berbohong," katanya.

Abdullah, tambahnya, tidak berani menyebut secara langsung Benny K. Harman berbohong karena masih duduk di Komisi III DPR, dan tentunya khawatir tidak diloloskan dalam uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test)dalam pemilihan Ketua KPK.

Demikian pula Bibit Samad Rianto, menurut dia, mestinya tidak duduk sebagai anggota Komisi Etik karena sebelumnya telah mendapatkan deponering yang berbeda dengan putusan bebas.

Dalam putusan bebas, dia menjelaskan, sebagaimana dalam pasal 199 KUHAP, terhadap terdakwa dikenal pemulihan nama baik, namun dalam deponering tidak ada, sehingga Bibit tidak pantas duduk di Komisi Etik KPK.

Setiap Nazaruddin hendak memberikan keterangan yang benar, Kaligis menilai, maka Abdullah selalu menyangkal keterangan tersebut.

Namun, ia mengemukakan, ketika dalam pemeriksaan itu harus direkam anggota komisi lainnya, Nono Makarim setuju karena ada tujuh saksi lain yang ikut memeriksa, tapi Abdullah memprotes dengan alasan ruang pemeriksaan tidak ada video sehingga melanggar SOP KPK.

"Bagaimana dengan pertemuan Chandra dengan Anas Urbaningrum yang direkam?" kata Kaligis menambahkan. (*)