Mamit menjelaskan bila tanpa bantuan internasional, maka Indonesia akan kesulitan mengembangkan kendaraan listrik karena terkendala dana.
Ia pun tidak memungkiri jika transisi menuju pemanfaatan energi baru terbarukan masih memiliki banyak pekerjaan rumah. Namun, Indonesia bisa mendorong komitmen mempercepat transisi energi melalui kebijakan yang bersifat progresif melalui forum Presidensi G20.
"Indonesia mempunyai sumber energi yang cukup besar, terutama energi baru terbarukan yang sangat besar dan ini bisa kita optimalisasi,” kata Mamit.
Saat ini, Indonesia masih mengandalkan pembangkit listrik tenaga uap sekitar 65 sampai 70 persen dari sumber energinya, sehingga pemerintah perlu memikirkan secara dini upaya mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil.
Mamit menyampaikan bahwa Presidensi G20 bisa menjadi momentum untuk Indonesia mendapatkan dukungan pendanaan agar memperlancar rencana pemanfaatan energi baru terbarukan.
"Kita harus optimistis karena kebijakan pemerintah terkait energi baru terbarukan sangat masif, dengan kebijakan-kebijakan yang mengarah ke energi hijau saat ini. Begitu juga sedang digodok rancangan undang-undang energi baru terbarukan di mana ini pastinya akan memberikan kepastian hukum bagi investor untuk investasi energi baru terbarukan ke Indonesia,” jelasnya.
Pada 2020, angka bauran energi baru terbarukan tercapai sebesar 11,20 persen, gas bumi sebesar 19,16 persen, minyak bumi sebesar 31,60 persen, dan batu bara sebesar 38,04 persen.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian telah menyatakan menyiapkan strategi untuk menjadi pemain utama industri kendaraan listrik global dengan menetapkan peta jalan pengembangan kendaraan listrik di Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 27 Tahun 2020.
Pemerintah juga menargetkan dapat mengembangkan industri komponen utama kendaraan listrik mulai dari baterai, motor listrik, dan inverter.