Siaran pers yang diterima di Jakarta, Minggu (6/3), menyebutkan dalam webinar yang diselenggarakan BMKG, Prof. Danny Hilman Natawidjaja, dari BRIN dan Prof. Sri Widiyantoro dari ITB sepakat mendukung hasil identifikasi BMKG tersebut.
Dalam webinar tersebut, berdasarkan sebaran titik-titik gempa susulan, pola morfologi serta sebaran kluster titik-titik longsoran pada lereng yang terpotong patahan serta sebaran kluster tingkat kerusakan bangunan yang dipaparkan oleh Kepala Pusat Seismologi Teknik dan Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG, maka bisa dikatakan bahwa itu merupakan patahan baru.
"Namun memang perlu dilanjutkan dengan kajian yang lebih mendalam, terutama terkait dengan keberadaan dan sebaran surface rupture atau robekan permukaan tanah dan batuan sebagai indikasi adanya zona yg terpotong oleh patahan," ujar kedua pakar itu.
Terkait temuan sesar baru itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati memperingatkan pemerintah daerah setempat untuk mewaspadai kompleksitas sistem sesar aktif karena penataan ruang memiliki peran besar dalam upaya mitigasi bencana. "Penemuan sesar baru ini perlu ditindaklanjuti dengan penentuan batas zona bahaya yang tidak boleh dibangun pemukiman masyarakat ataupun bangunan vital tanpa menerapkan konstruksi bangunan tahan gempa demi alasan keamanan," ujarnya.
Dwikorita menjelaskan bahwa penataan ruang yang tepat akan mengurangi dampak bencana baik dari sisi kerugian materi maupun korban jiwa.
Dia menegaskan perlu penegakan hukum terkait implementasi rencana tata ruang wilayah dalam bentuk tidak menerbitkan izin di lokasi-lokasi yang memiliki tingkat kerawanan tinggi, serta menyiapkan peta bencana dan zonasi yang jelas di wilayah tersebut.
Berdasarkan hasil kajian peta sesar aktif di bagian utara Sumatera Barat yang dilakukan BMKG, sebelumnya hanya terdapat patahan di Angkola dan Sianok. Akan tetapi, setelah dikaji mendalam usai gempa Pasaman Barat, kini ditemukan sesar baru yang diberi nama Sesar Talamau.
Sesar baru itu diklasifikasikan sebagai sesar geser menganan (dextral strike-slip fault) yang menjadi ciri khas mekanisme sumber gempa Sesar Besar Sumatra.
Sesar itu berpotensi menimbulkan dampak gempa hingga skala intensitas VII-VIII MMI. Pada skala intensitas tersebut, maka gempa yang terjadi dapat merobohkan struktur bangunan atau rumah dengan tingkat kerusakan sedang hingga berat, sehingga apabila tidak diantisipasi dapat berakibat fatal bagi warga.
Dwikorita menegaskan dengan semakin bertambahnya segmen patahan aktif yang ditemukan di wilayah Sumatra Barat, maka sumber-sumber gempa yang perlu diwaspadai dan dimitigasi tidak hanya di zona Megathtust dan patahan Mentawai yang berada di laut saja.
"Teridentifikasinya sesar baru menjadi penanda pola patahan tektonik baru, karenanya perlu diwaspadai dan dimitigasi secara komprehensif karena selama ini zona tersebut dianggap relatif aman," ujarnya.
Lebih lanjut Dwikorita menuturkan bahwa relokasi masyarakat dapat menjadi opsi dalam mitigasi. Namun, lanjut dia, apabila hal tersebut sulit dilakukan maka masyarakat perlu terus diajari agar dapat lebih memahami konsekuensi jika mereka terus bertahan di lokasi rawan bencana tinggi.