Jakarta (ANTARA News) - Parlemen diharapkan tidak lagi mempersoalkan pemberian gelar Honoris Causa oleh Rektor Universitas Indonesia Gumilar Sumantri kepada Raja Arab Saudi Raja Abdullah dalam bidang kemanusiaan dan iptek di Jeddah, belum lama ini.
"DPR sebaiknya tidak persoalkan pemberian gelar doktor honoris causa yang diberikan pihak UI kepada Raja Saudi, Pangeran Abdullah," kata Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq, Jakarta, Kamis.
Menurutnya, pemberian gelar semacam ini hal yang biasa diberikan pihak universitas di berbagai negara kepada tokoh-tokoh tertentu atas pertimbangan-pertimbangan khusus.
"UI menurut saya justru menunjukkan komunikasi dan diplomasi yang baik kepada pihak kerajaan Saudi Arabia yang tentu saja bisa menarik sumber-sumber pendanaan negara tersebut untuk membantu pengembangan pendidikan di UI dan Indonesia pada umumnya," kata politisi PKS itu.
Ia menambahkan, mempersoalkan pemberian gelar ini justru dikhawatirkan akan kontra produktif.
"Jadi tak perlu dipersoalkan lagi karena hal itu tak bermanfaat," kata dia.
Sejumlah guru besar Universitas Indonesia (UI) menyatakan protes kerasnya atas pemberian gelar doctor kehormatan yang diberikan kepada Raja Arab Saudi, Abdullah.
Para Guru Besar itu memberikan keterangan pers di Gedung DPR pada Jumat siang, (26/8). Mereka menilai raja Arab Saudi belum layak mendapat penghargaan seperti itu dari universitas di Indonesia.
"Kami mencatatnya sebagai Black Sunday," kata Guru Besar Sosiologi UI Thamrin Amal Tamagola.
Sebab, pemberian gelar kehormatan itu dilakukan pada Ahad pekan lalu. Ia dan kerabatnya di lingkungan UI akan melakukan upaya internal agar bisa memproses penggugatan terhadap rektor UI atas tindakanya itu.
"Saya akan lawan. Ini soal bangsa. Tapi perlawanan akan dilakukan dengan cara terhormat. Ada tata caranya. Akan ada langkah internal meskipun ada rasa malu," katanya.
Menurutnya, pemberian gelar itu sama dengan pengkhianatan terhadap bangsa dan rakyat. Sebab, Arab Saudi sering terjadi pelanggaran HAM terhadap buruh migrant seperti penyiksaan, pelecehan seksual, pembunuhan, dan hukuman mati. Apalagi, pemberian gelar itu dilakukan di Arab, bukan di lingkungan kampus.
"Di UI bukan hanya diasah nalar tapi juga diasah nurani. Tapi dengan pemberian gelar itu, kelihatan sekali tidak ada nurani. Kita sangat menyesalkan lambang UI diperjualbelikan dan dipersembahkan sebagai upeti ke Raja. Kita merasa terhina dan terinjak-injak," katanya.
Guru Besar FE UI, Mayling Oey mengaku terkejut dan mempertanyakan tindakan rektor UI tersebut. Terlebih lagi, pemberian gelar itu mengatasnamakan warga UI.
"Tapi warga UI tidak ada yang tahu. Pemberian itu lebih pada bertindak sebagai pribadi. Lalu bagaimana pertanggungjawabannya terhadap warga UI," katanya.
Ia mengatakan, sebagai perempuan dirinya sangat terluka karena pemberian itu tidak melihat banyaknya TKW yang mendapatkan perlakuan yang tidak sepatutnya. "Bagaimana Arab Saudi memperlakukan TKI kita tetapi diberikan kehormatan atas nama kemanusiaan yang tidak manusiawi," katanya.
Anggota Komisi IX dari Fraksi PPP, Okky Asokawati menegaskan pihaknya akan memanggil rektor UI terkait masalah ini. "Kami akan coba mencari tahu apa yang melatari kenapa rektor UI bisa memberikan gelar itu," katanya.
Sejauh ini, ia melihat ada beberapa keanehan dari pemberian gelar tersebut. Contohnya, berdasarkan surat keputusan rektor, seharusnya pemberian gelar kehormatan dilakukan di lingkungan kampus, bukan ditempat lain. Pemberian gelar dibidang kemanusiaan dan iptek pun, lanjutnya, perlu dipertanyakan.(zul)
DPR tak lagi persoalan pemberian gelar kepada Raja Arab
1 September 2011 20:29 WIB
Mahfudz Siddiq. (facebook)
Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011
Tags: